Pandangan
Tajam Terhadap Zikir Berjamaah
MUQADDIMAH
Segala
puji hanya milik Allah, yang telah melimpahkan kepada kita umat Islam berbagai
kemurahan dan kenikmatan-Nya. Dan kenikmatan terbesar yang telah Ia limpahkan
kepada umat ini ialah disempurnakannya agama ini, sehingga tidak lagi
membutuhkan tambahan, dan juga tidak perlu dikurangi, Allah berfirman:
Artinya:
“Pada hari ini, telah Aku sempurnakan untukmu agamamu,
dan telah aku cukupkan atasmu kenikmatan-Ku, dan Aku ridho Islam menjadi
agamamu”. (QS Al Maaidah: 3).
Ibnu
Katsir menerangkan ayat ini dengan perkataannya: “Disempurnakannya agama Islam
merupakan kenikmatan Allah ta’ala yang paling besar atas umat ini, karena Ia
telah menyempurnakan agama mereka, sehingga mereka tidak memerlukan lagi agama
lainnya, dan tidak pula perlu seorang nabi selain Nabi mereka sendiri. Oleh
karena itu Allah Ta’ala menjadikannya sebagai penutup para nabi, dan
mengutusnya kepada seluruh jin dan manusia. Dengan demikian tidak ada suatu
yang halal, melainkan yang beliau halalkan, tidak ada sesuatu yang haram,
melainkan sesuatu yang beliau haramkan, dan tidak ada agama melainkan ajaran
agama yang telah beliau syari’atkan. Setiap yang beliau kabarkan pasti benar
lagi jujur, tidak mengandung kedustaan sedikit pun, dan tidak akan menyelisihi
realita” (Tafsirul Qur’an
Al ‘Adlim oleh Ibnu Katsir As Syafi’i 2/12).
Ayat
ini, sebagaimana telah diketahui, diturunkan kepada Rasulullah
shollallahu’alaihiwasallam pada hari Arafah, pada Hajjatul Wada’. Imam Al
Bukhari meriwayatkan dari Thariq bin Syihab, ia mengisahkan: Orang-orang Yahudi
berkata kepada Umar bin Khattab rodhiallahu’anhu: Sesungguhnya kalian membaca
satu ayat, seandainya ayat itu turun pada kami kaum Yahudi, niscaya (hari
diturunkannya ayat itu) akan kami jadikan hari ‘Ied (perayaan). Maka Umar
berkata: “sungguh aku mengetahui kapan dan di mana ayat itu diturunkan, dan di
mana Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam berada di saat ayat itu diturunkan,
yaitu di padang arafah, dan kami juga sedang
berada di padang
arafah… yaitu firman Allah:
Artinya
: “Pada hari ini, telah
Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah aku cukupkan atasmu kenikmatan-Ku,
dan Aku ridho Islam menjadi agamamu”.( Riwayat Al Bukhori, 4/1683, hadits no:
4330 )
Pada
riwayat ini, dapat kita ketahui bahwa kesempurnaan agama Islam ini bukan hanya
diketahui dan disadari oleh kaum muslimin saja, bahkan orang-orang Yahudi pun
mengetahuinya, bukan hanya sebatas itu, bahkan mereka berangan-angan seandainya
ayat ini diturunkan kepada mereka, niscaya mereka akan merayakannya.
Sebagai
bukti lain bahwa orang-orang non-Islam menyadari akan kesempurnaan agama Islam,
ialah kisah berikut: Ada
sebagian orang musyrikin berkata kepada sahabat Salman Al Farisi
rodhiallahu’anhu: “Sungguh Nabi kalian telah mengajarkan kalian segala sesuatu,
hingga tata cara buang hajat. Maka sahabat Salman Al Farisi menimpalinya dengan
berkata: Benar, beliau sungguh telah melarang kami untuk menghadap ke arah
kiblat di saat buang air besar atau buang air kecil, dan beristinja menggunakan
tangan kanan, dan beristijmar (istinja dengan bebatuan) dengan kurang dari tiga
batu, atau beristijmar menggunakan kotoran binatang atau tulang-belulang.”
(Shohih Muslim, 1/223, hadits no: 261).
Bila
kesempurnaan agama Islam dalam segala aspek kehidupan telah diakui dan
diketahui oleh orang-orang non-Islam, maka betapa sengsara dan bodohnya bila
ada orang Islam yang masih merasa perlu untuk mencari alternatif lain dalam
beragama, yaitu dengan cara menambah, atau memodifikasi, atau menggabungkan,
atau dengan cara mengadopsi teori-teori dan ajaran-ajaran umat lain, baik yang
berasal dari negeri India, atau Mesir, atau Yunani atau Barat.
Tidaklah
ada kebaikan di dunia atau di akhirat, melainkan telah diajarkan dalam agama
Islam, dan tidaklah ada kejelekan melainkan, Islam telah memperingatkan umat
manusia darinya, Allah berfirman:
Artinya:
“Dan telah Kami turunkan kepadamu Al Kitab ( Al Quran)
untuk menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk serta rahmat dan kabar
gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. (QS An Nahl: 89).
Ibnu
Mas’ud berkata: “Telah dijelaskan kepada kita dalam Al Quran ini seluruh ilmu
dan segala sesuatu.” Dan Mujahid berkata: “Seluruh halal dan haram telah
dijelaskan.”
Setelah
Ibnu Katsir menyebutkan dua pendapat ini, beliau berkata: “Pendapat Ibnu Mas’ud
lebih umum dan menyeluruh, karena sesungguhnya Al Quran mencakup segala ilmu
yang berguna, yaitu berupa kisah-kisah umat terdahulu, dan yang akan datang.
Sebagaimana Al Quran juga mencakup segala ilmu tentang halal dan haram, dan
segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia, dalam urusan kehidupan dunia dan agama
mereka.” (Tafsirul Qur’anil ‘Adhim oleh Ibnu Katsir As Syafi’i 2/582).
Bila
Nabi shollallahu’alaihiwasallam telah mengajarkan kepada umatnya tata cara
buang air kecil dan besar, mustahil bila beliau shollallahu’alaihiwasallam
tidak mengajarkan kepada umatnya tata cara berdakwah, penegakan syariat Islam
di bumi, dan terlebih lebih tata cara beribadah kepada Allah. Sehingga tidak
ada alasan bagi siapa pun untuk merekayasa suatu metode atau amalan dalam
beribadah kepada Allah ta’ala.
Hanya
kebodohan terhadap ajaran Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan
sunnah-sunnahnyalah yang menjadikan sebagian orang merasa perlu untuk
merekayasa berbagai metode dalam beribadah kepada Allah ta’ala, sehingga ada
yang beribadah dengan dasar tradisi dan adat warisan nenek moyang, misalnya
tradisi wayangan dalam berdakwah, dan ada pula yang mengadopsi tata cara
peribadatan umat lain, misalnya beribadah dengan menyiksa diri, tidak makan,
tidak minum, tidak berbicara, berdiri di terik matahari, atau bertapa dan
nyepi.
“Ibnu ‘Abbas berkata: Tatkala Nabi
shollallahu’alaihiwasallam sedang berkhotbah, tiba-tiba beliau melihat seorang
lelaki yang berdiri. Maka Nabi shollallahu’alaihiwasallam bertanya tentangnya,
dan para sahabat menjawab: Dia adalah Abu Israil, ia bernazar untuk berdiri dan
tidak duduk, tidak berteduh, tidak berbicara, dan berpuasa. Maka Nabi
shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “perintahkanlah ia untuk berbicara,
berteduh, duduk, dan meneruskan puasanya”. (Riwayat Bukhori, 6/2465, hadits
no:6326)
Di
antara metode yang diadopsi dari umat lain ialah zikir berjama’ah dengan suara
nyaring, dan dikomandoi oleh satu orang. Oleh karenanya tatkala sahabat
Abdulloh bin Mas’ud melihat sebagian orang yang bergerombol sambil membaca
puji-pujian secara berjama’ah dan dipimpin oleh satu orang, beliau berkata:
“Sungguh demi Zat yang jiwaku berada di Tangan-Nya,
sesungguhnya kalian ini berada di atas satu dari dua perkara: menjalankan
ajaran yang lebih benar dibanding ajaran Nabi Muhammad, atau sedang membuka
pintu kesesatan“. (Riwayat Ad Darimi, dalam kitab As
Sunnan, 1/79, hadits no:204)
Saya
ingin mengajak para pembaca yang budiman untuk mengadakan studi banding antara
zikir berjama’ah dengan cara seperti ini dengan kegiatan orang-orang Nasrani
yang bernyanyi-nyanyi di gereja dengan dipimpin oleh seorang pendeta. Adakah perbedaan antara keduanya
selain perbedaan tempat dan bacaannya??
Zikir
atau membaca puji-pujian adalah salah satu ibadah paling agung. Setelah
mengingatkan kaum muslimin akan kenikmatan-Nya berupa diubahnya kiblat mereka
dari Bait Al Maqdis dan diutusnya Nabi Muhammad shollallahu’alaihiwasallam,
Allah ta’ala memerintahkan mereka agar berzikir kepada-Nya:
Artinya:
“Karena itu, ingatlah Aku niscaya Aku akan ingat
kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, serta janganlah kamu mengingkari
(kenikmatan)-Ku”. (Al Baqoroh: 152).
Pada
ayat ini terdapat suatu isyarat bahwa zikir adalah ibadah yang agung, karena
zikir merupakan perwujudan nyata akan rasa syukur kepada Allah ta’ala atas
kenikmatan besar ini, yaitu diubahnya kiblat kaum muslimin menjadi ke arah
Ka’bah, dan diutusnya Nabi Muhammad shollallahu’alaihiwasallam. Dan dalam ayat
lain, Allah berfirman:
Artinya:
“Dan laki-laki dan perempuan yang banyak berzikir
menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala
yang besar”. (QS Al Ahzab: 35).
Karena
itulah, kita sebagai seorang muslim meyakini bahwa Nabi
shollallahu’alaihiwasallam telah melaksanakan tugas menjelaskan ibadah ini
dengan sempurna. Dan mustahil ada kekurangan dalam penjelasan beliau tentang
ibadah ini, baik kekurangan yang berkaitan dengan macam, waktu, atau metode
pelaksanaannya.
Oleh
karena itu, kita dapatkan tidaklah ada suatu keadaan atau waktu yang kita
dianjurkan untuk berzikir secara khusus padanya, melainkan beliau telah
menjelaskan kepada umatnya. Beliau telah menjelaskan zikir tersebut lengkap
dengan tata caranya. Dimulai dari zikir semenjak kita bangun tidur, hingga kita
hendak tidur lagi. Bahkan tatkala kita terjaga di waktu malam, telah diajarkan
zikir-zikir yang sesuai dengannya. Bila kita membuka-buka kitab-kitab kumpulan
zikir Nabi shollallahu’alaihiwasallam yang ditulis oleh para ulama’, niscaya
kita dapatkan bahwa seluruh keadaan manusia dan perbuatannya, baik dalam sholat
atau di luar sholat, telah diajarkan zikir yang sesuai dengan keadaan itu.
Silakan para pembaca yang budiman membaca kitab Al Adzkar karya Imam Nawawi As
Syafi’i.
Realita
ini selain menjadi kenikmatan, juga menjadi tantangan bagi kita. Sejauh manakah
pengamalan kita terhadap sunnah-sunnah beliau shollallahu’alaihiwasallam dalam
berzikir kepada Allah?
Oleh
karenanya, tidak ada alasan lagi bagi siapa pun untuk merekayasa zikir yang
tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam. Mari kita
simak hadits berikut, dengan harapan agar kita mendapat pelajaran penting
tentang tata cara berzikir:
“Dari sahabat Al Bara’ bin ‘Azib, bahwa Rasulullah
shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Bila engkau akan berbaring tidur,
hendaknya engkau berwudhu’ layaknya engkau berwudhu untuk shalat. Kemudian
berbaringlah di atas sisi kananmu, lalu katakanlah: “Ya Allah, sesungguhnya aku
menyerahkan wajahku kepada-Mu, dan menyerahkan urusanku kepada-Mu. Dengan rasa
mengharap (kerahmatan-Mu) dan takut (akan siksa-Mu) aku menyandarkan punggungku
kepada-Mu. Tiada tempat perlindungan dan penyelamatan (dari siksa-Mu) melainkan
kepada-Mu. Aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan, dan Nabi-Mu
yang telah Engkau utus”. Dan jadikanlah bacaan (doa) ini sebagai akhir
perkataanmu, karena bila engkau mati pada malam itu, niscaya engkau mati dalam
keadaan menetapi fitrah (agama Islam)”. Al Bara’ bin ‘Azib berkata: “Maka aku
mengulang-ulang bacaan (doa) ini, untuk menghafalnya, dan mengatakan: Ø¡ku beriman kepada
Rasul-Mu yang telah Engkau utus”. Nabi pun bersabda: “Katakan: Aku beriman
kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utus”.( Riwayat Bukhori, 5/2326, hadits
no:5952, dan Muslim 4/2081, hadits no:2710).
Al
Bara’ bin ‘Azib salah mengucapkan doa ini di hadapan Rasulullah
shollallahu’alaihiwasallam. Yang seharusnya ia mengucapkan: “Aku beriman kepada
Nabi-Mu yang telah Engkau utus”, ia ucapkan: “Aku beriman kepada Rasul-Mu yang
telah Engkau utus”. Perbedaannya hanya kata “Nabi” dan kata “Rasul”, padahal
yang dimaksud dari keduanya sama, yaitu Nabi Muhammad
shollallahu’alaihiwasallam. Walau demikian Nabi shollallahu’alaihiwasallam
tidak membiarkan kesalahan ini terjadi, sehingga beliau
shollallahu’alaihiwasallam menegur sahabat Al Bara’ agar membenarkan ucapannya.
Hadits
ini menunjukkan kepada kita bahwa zikir kepada Allah adalah salah satu bentuk
ibadah, dan setiap ibadah diatur oleh sebuah kaidah penting, yaitu:
“Hukum
asal setiap ibadah ialah tauqif (harus ada tuntunannya dari Nabi
shollallahu’alaihiwasallam)”.
Ibnu
Taimiyyah berkata:
“Hukum
asal setiap ibadah ialah tauqif (harus ada tuntunannya dari Nabi
shollallahu’alaihiwasallam), sehingga tidak boleh dibuat ajaran melainkan yang
telah diajarkan oleh Allah ta’ala. Kalau tidak demikian niscaya kita akan
termasuk ke dalam firman Allah :
Artinya:
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan lain yang
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?!” (QS As Syura:
21).
Sedangkan
hukum asal setiap adat istiadat ialah diperbolehkan, sehingga tidak boleh ada
yang dilarang melainkan suatu hal yang telah diharamkan oleh Allah. Kalau tidak
demikian niscaya kita akan termasuk ke dalam firman Allah :
Artinya:
“Katakanlah: “terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang
diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan
(sebagiannya) halal”. (QS Yunus: 59) Majmu’ Fatawa, oleh Ibnu Taimiyyah 29/17
Bila
Nabi shollallahu’alaihiwasallam menegur kesalahan Al Bara’ bin ‘Azib
mengucapkan satu kata dalam zikir yang beliau ajarkan, maka bagaimana halnya
seandainya yang dilakukan oleh Bara’ bin ‘Azib ialah zikir hasil rekayasanya
sendiri?.
Al
Hafidz Ibnu Hajar As Syafi’i, berkata:
“Pendapat
yang paling tepat tentang hikmahnya Nabi shollallahu’alaihiwasallam membenarkan
ucapan orang yang mengatakan “Rasul” sebagai ganti kata “Nabi” adalah: Bahwa
bacaan-bacaan zikir adalah bersifat tauqifiyyah (harus ada tuntunannya), dan
bacaan-bacaan zikir itu memiliki keistimewaan dan rahasia-rahasia yang tidak
dapat diketahui dengan cara qiyas, sehingga wajib kita memelihara lafadz
(zikir) sebagaimana diriwayatkan”. (Fath Al Bari oleh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani
11/112).
Demikianlah
sepercik adab zikir kepada Allah, dan insya Allah di sela-sela tulisan saya
ini, pembaca akan mendapatkan kelanjutan pembahasan tentang adab-adab berzikir
yang diajarkan oleh Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan para sahabatnya.
Adapun
latar belakang ditulisnya buku ini, ialah tatkala bulan Ramadhan 1425 H, saya
melihat salah seorang sahabat saya membawa buku yang berjudul “ZIKIR BERJAMA’AH
SUNNAH ATAU BID’AH, karya K.H. Drs Ahmad Dimyathi Badruzzaman, M.A. ketika
melihatnya, saya tertarik untuk membaca dan mengetahui. Setelah memiliki
kesempatan untuk membuka-buka buku tulisan beliau ini, saya tercengang melihat
beberapa kesalahan dan kerancuan yang ada di dalamnya. Dan semenjak itulah saya
memberanikan diri untuk menuliskan kritikan-kritikan yang saya rasa perlu dan
penting untuk disampaikan. Akan tetapi karena berbagai kesibukan yang berkaitan
dengan studi saya, keinginan ini tidak segera terlaksana, hingga pertengahan
bulan Muharram 1426 H. Saat itulah saya meluangkan waktu, untuk mewujudkan
keinginan ini. Alhamdulillah keinginan saya itu telah terwujud. Semoga tulisan
ini bermanfaat bagi saya sendiri, dan juga bagi kaum muslimin di Indonesia, dan
semoga mendapatkan tanggapan positif dari bapak K.H. Drs. Ahmad Dimyathi
Badruzzaman M.A.
Dan
pada kesempatan ini, tak lupa saya ucapkan kepada seluruh rekan-rekan yang
telah ikut andil dalam terwujudnya keinginan saya ini, baik dengan memberikan
motivasi, saran, atau bantuan berupa meminjamkan bukunya kepada saya. Semoga
Allah membalas amalan mereka semua dengan yang lebih baik. Pada akhir
muqaddimah ini, saya ucapkan: Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan
kepada Nabi kita Muhammad shollallahu’alaihiwasallam, keluarga, sahabat, dan
seluruh pengikutnya hingga hari kiamat, Amiin.
AS SUNNAH
A. Definisi As Sunnah
Setelah
saya mengkaji ulang bab ini, saya merasa ada beberapa permasalahan yang perlu
ditinjau kembali, berikut ini penjelasannya:
Permasalahan pertama:
Penulis
(yaitu K.H. Ahmad Dimyathi -ed) pada bab ini telah melakukan kerancuan dalam
mendefinisikan kata As Sunnah, sehingga mencampur adukkan antara definisi As
sunnah ditinjau dari segi etimologi (bahasa) dengan makna As Sunnah ditinjau
dari segi terminologi (istilah). Agar duduk permasalahannya menjadi jelas bagi
kita semua, berikut akan saya sebutkan makna As Sunnah dengan ringkas:
Ditinjau
dari segi etimologi, kata As Sunnah bermakna: At Thoriqoh, atau As Siroh, yang
artinya: jalan/ metode atau sejarah hidup/ perilaku, sebagaimana yang
dinyatakan oleh Ar Razy dan lainnya. [Mukhtar Al Shihah, oleh Muhammad bin Abi
Baker Al Razi hal: 133, Al Qamus Al Muhith, oleh Al Fairuz Abady, 2:1586].
Sedangkan
bila ditinjau dari segi terminologi, maka kata As Sunnah memiliki tiga arti dan
penggunaan. [Lihat Irsyad Al Fuhul, oleh Muhammad bin Ali As Syaukany,
1/155-156, dan Mauqif Ahl As Sunnah Min Ahl Al Ahwa’ wa Al Bida’, oleh DR.
Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaily 1/33-35].
1. As
Sunnah dengan makna: mandub, atau mustahab, yang artinya, sebagaimana yang
disebutkan oleh penulis:
“Suatu pekerjaan yang pelakunya
terpuji dan orang yang meninggalkannya tidak tercela” atau “Sesuatu yang
diperintahkan secara tidak tegas untuk dikerjakan”.
[Lihat: Al Mustasyfa oleh Al Ghozaly, 1/215, Raudhot An Nadlir, oleh Ibnu
Qudamah 1/94, dan Nihayat As Sul, oleh Al Isnawy, 1/77].
Dan yang biasa menggunakan kata As Sunnah
dengan pengertian semacam ini ialah ulama’ fiqih dan ushul fiqih, sehingga
sering kita mendengar atau membaca ungkapan: “hukum permasalahan ini ialah
sunnah” atau “permasalahan ini hukumnya sunnah”.
2. As
Sunnah dengan pengertian: segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
shollallahu’alaihiwasallam, baik ucapan, perbuatan, penetapan atau lainnya.
Dengan pengertian ini, kata As Sunnah semakna dengan kata Al Hadits. Sebagai
contoh penggunaan kata As Sunnah dengan makna ini, ucapan para ulama’: Dalil
haramnya khamer ialah: Al Kitab (Al Qur’an), As Sunnah, dan Ijma’ (kesepakatan
ulama’).
3. As
Sunnah dengan pengertian: lawan dari kata bid’ah, sehingga sering kita
mendengar ucapan ulama’: amalan ini sesuai dengan As Sunnah, bahkan penulis
sendiri telah menggunakan kata As Sunnah dengan pengertian semacam ini, yaitu
tatkala ia memberikan judul bukunya: “ZIKIR BERJAMA’AH, SUNNAH ATAU BID’AH”.
Sehingga kata As Sunnah dengan pengertian ini mencakup seluruh ajaran Nabi
shollallahu’alaihiwasallam, atau dengan kata lain, As Sunnah ialah sinonim dari
kata Islam. Penggunaan kata As Sunnah dengan pengertian semacam ini selaras
dengan hadits berikut:
“Dari sahabat Anas bin Malik rodhiallahu’anhu, ia
berkata: ada tiga orang yang menemui istri-istri Nabi
shollallahu’alaihiwasallam, mereka bertanya tentang amalan ibadah Nabi
shollallahu’alaihiwasallam. Dan tatkala mereka telah diberitahu, seakan-akan
mereka menganggapnya sedikit, kemudian mereka balik berkata: Siapakah kita bila
dibanding dengan Nabi shollallahu’alaihiwasallam, Allah telah mengampuni
dosa-dosa beliau, baik yang telah lampau atau yang akan datang. Salah seorang
dari mereka berkata: Kalau saya, maka saya akan sholat malam selama-lamanya.
Yang lain berkata: Saya akan berpuasa sepanjang tahun dan tidak akan berbuka
(berhenti berpuasa). Yang lain lagi berkata: Saya akan meninggalkan wanita, dan
tidak akan menikah selama-lamanya. Kemudian Rasulullah
shollallahu’alaihiwasallam datang, lantas bersabda: kaliankah yang berkata
demikian-demikian? Ketahuilah, sungguh demi Allah, sesungguhnya saya adalah
orang yang paling takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya diantara kalian,
akan tetapi saya berpuasa dan juga berbuka, sholat (malam) dan juga tidur, dan
saya juga menikahi wanita. Maka barang siapa yang membenci sunnahku (ajaranku),
maka ia tidak termasuk golonganku”.(Riwayat Al Bukhari, 5/1949, hadits no:
4776, dan Muslim, 2/1020, hadits no: 1401).
As
Syathiby Al Maliki (w. 790 H) -rahimahullah- berkata: “Dan kata As Sunnah juga
digunakan sebagai lawan kata dari bid’ah, sehingga dikatakan: Orang itu beramal
sesuai dengan As Sunnah, bila ia beramal sesuai dengan yang diamalkan oleh Nabi
shollallahu’alaihiwasallam, baik amalan itu disebutkan dalam Al Qur’an atau
tidak. Dan juga dikatakan: Orang itu mengamalkan bid’ah, bila ia melakukan
sebaliknya”. [Al Muwafaqoot oleh As Syathiby 4/3].
Ibnu
Hazm -rahimahullah- (w. 456 H) berkata: “Ahlus Sunnah yang akan kami sebutkan
ialah Ahlul Haq (penganut kebenaran), sedangkan selain mereka ialah Ahlul Bid’ah,
karena mereka (Ahlus Sunnah) ialah para sahabat -radliallahu ‘anhum-, dan
setiap orang yang menempuh metode mereka, dari para tabi’in, kemudian Ashabul
Hadits (penganut hadits), dan setiap orang yang meneladani mereka dari kalangan
ahli fiqih pada setiap zaman hingga hari ini, dan juga seluruh orang awam yang
mencontoh mereka dibelahan bumi bagian timur dan barat, semoga Allah senantiasa
merahmati mereka”. [Al Fishol fi Al Milal wa Al Ahwa’ wa An Nihal, oleh Ibnu
Hazem 2/90].
Penggunaan
kata As Sunnah dengan pengertian semacam ini ada semenjak bermunculan dan
menebarnya berbagai macam bid’ah, yaitu setelah berlalunya tiga genersi pertama
dari umat Islam.
Sebagai
bukti bahwa Ustadz KH. Drs. Ahmad Dimyathi Badruzzaman, M.A, telah mencampur
adukkan antara pengertian As Sunnah ditinjau dari segi bahasa dan ditinjau dari
segi istilah, adalah hal-hal berikut:
1. Pada
halaman 5, setelah menyebutkan makna As Sunnah secara kebahasaan, yang berarti:
perilaku seseorang, baik atau buruk, beliau mengatakan: “Dikalangan ulama ahli
fiqih (fuqaha’) ada suatu ungkapan yang populer dengan istilah: “ini hukumnya
sunah/sunat” atau “ini hukumnya makruh”. Tentu saja sunah/sunat dalam istilah
mereka bukan berarti perilaku, akan tetapi sinonim (mutaradif) dengan istilah
yang lain, yaitu mandub, mustahab dan tathawu’, …….”
Ini adalah kerancuan pemahaman, sebab kata
As Sunnah dengan makna/definisi semacam ini, ialah salah satu dari definisi As
Sunnah secara terminologi, bukan secara etimologi (bahasa), sehingga seharusnya
beliau mencantumkan makna dan penggunaan semacam ini pada pembahasan As Sunnah
ditinjau dari segi terminologi, agar tidak menimbulkan kerancuan pemahaman pada
pembaca, dan kesan bahwa penggunaan kata As Sunnah semacam ini termasuk
penggunaan secara bahasa.
2. Kemudian
pada halaman yang sama, beliau berkata: “Dan pada akhir-akhir ini muncul
ungkapan “Sunnah” sebagai lawan dari “Syi’ah”. Misalnya tentang adanya imbauan
perlunya dialog Sunnah-Syi’ah. Bahkan ada sebuah buku yang diberi judul “Dialog
Sunnah-Syi’ah…….”.
Inipun kerancuan perkataan dari beliau
tentang kata “As Sunnah”, sebab yang dimaksudkan dari kata As Sunnah disini
ialah makna ketiga, dengan demikian penggunaan semacam ini bukanlah hal baru,
sebagaimana terkesan dalam ucapan beliau ini. Bahkan beliau sendiri pada
kelanjutan perkataannya, yaitu pada hal: 6 mengakui -baik beliau sadari atau
tidak- akan hal ini, yaitu pada ucapan beliau: “Kata”Sunnah” dalam ungkapan
terakhir ini sebenarnya merupakan kependekan dari Ahlus Sunnah atau lengkapnya,
Ahlus Sunnah wal Jama’ah”.
Ibnu Katsir, seorang ahli tafsir dan
sejarah dalam bukunya: Al Bidayah wan Nihayah, menyebutkan berbagai peperangan
yang terjadi antara Ahlus Sunnah melawan Syi’ah. Sebagai contoh, peperangan
yang terjadi pada tahun: 420, 421, 422, 425, 439 H. Bahkan jatuhnya ibu kota Khilafah Abbasiyah
ke tangan orang-orang Tartar pada thn: 656 H, disebabkan pengkhianatan yang
dilakukan oleh orang Syi’ah, yang bernama: Muhammad bin Al ‘Alqamy, sebagaimana
yang dikisahkan oleh Ibnu Katsir dalam bukunya ini 13/213-215.
Bahkan pada halaman yang sama, beliau
mengatakan bahwa Ahl as Sunnah wa al Jama’ah”, adalah mazhab yang didirikan
oleh Abu Hasan Al Asy’ari (w. 324) dan Abu Manshur Al Maturidi (w.333), dengan
demikian penggunaan kata As Sunnah sebagai lawan dari Syi’ah sudah ada semenjak
dahulu kala, dan menurut beliau, ada semenjak abad ke-4 hijriah, yaitu semenjak
didirikannya mazhab Asy’ariyah dan Maturidiyah, karena kedua mazhab ini tentu
tidak sama dengan mazhab Syi’ah. Hal ini membuktikan bahwa ucapan beliau: “Dan
pada akhir-akhir ini muncul ungkapan “Sunnah” sebagai lawan dari “Syi’ah”,
salah atau tidak sesuai dengan realita.
Permasalahan kedua:
Kesalahan
yang ada pada bab ini, yang saya rasa lebih fatal ialah penafsiran terhadap
sebutan “Ahl as Sunnah wa al Jama’ah”, dimana beliau pada hal: 6 berkata: “Ahl
as Sunnah wa al Jama’ah, yaitu faham/ fatwa-fatwa yang diajarkan oleh Imam Abu
Hasan al Asy’ari (w.324 H) dan Abu Manshur al Maturidi (w. 333), dimana kedua
tokoh ini dipandang sebagai pendiri Mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah”. Kemudian
beliau menukil perkataan Sayyid Murtadha al Zabidi al Yamani, yang menafsirkan
Ahl as Sunnah wa al Jama’ah” dengan kedua golongan ini.
Ini
adalah kesalahan besar dan fatal yang ada pada buku ini. Dan sebelum
membuktikan kesalahan ini, saya ingin bertanya kepada bapak Kyai sebagai
berikut:
-
Menurut hemat bapak Kyai, apakah Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, para
sahabatnya, dan seluruh kaum muslimin yang hidup sebelum kedua orang ini (al
Asy’ari dan al Maturidi), bermazhabkan dengan mazhab Ahl as Sunnah wa al
Jama’ah, yang menurut penafsiran bapak ialah mazhab Asy’ari atau maturidi?
Dengan kata lain, apakah Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dan sahabatnya
ialah orang Asy’ari atau Maturidi?
Untuk
membuktikan kesalahan ini, saya akan sebutkan beberapa hadits Nabi
shollallahu’alaihiwasallam, yang menjelaskan realita perkembangan perjalanan
umat Islam:
Hadits pertama:
Artinya:
“Dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri rodhiallahu’anhu,
beliau berkata: Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Sunguh-sungguh
kamu akan mengikuti/mencontoh tradisi orang-orang sebelum kalian, sejengkal
sama sejengkal, dan sehasta demi sehasta, hingga seandainya mereka masuk
kedalam lubang dhob (Dhob ialah binatang yang hidup di negeri arab, bentuknya
serupa dengan biawak, akan tetapi dlob hanya memakan rerumputan, tidak pernah
minum air, ia hanya minum air embun.-pen), niscaya kamu akan meniru/mencontoh
mereka. Kamipun bertanya: Apakah (yang engkau maksud adalah) kaum Yahudi dan
Nasrani? Beliau menjawab: Siapa lagi? (Muttafaqun ‘Alaih).
Hadits kedua:
Artinya:
“Dari sahabat Abdillah bin ‘Amr rodhiallahu’anhu, ia
berkata: Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: Niscaya umatku akan
ditimpa oleh apa yang telah menimpa Bani Israil, layaknya terompah dibanding
dengan terompah (sama persis), hingga seandainya ada dari mereka orang yang
menzinai ibunya dihadapan khalayak ramai, niscaya akan ada di umatku orang yang
melakukannya. Dan sesungguhnya Bani Israil telah terpecah menjadi 72 (tujuh
puluh dua) golongan, dan umatku akan terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga)
golongan. Seluruh golongan akan masuk neraka, kecuali satu golongan. Para sahabatpun bertanya: Wahai Rasulullah. siapakah satu
golongan itu? Beliau menjawab: (golongan yang menjalankan) ajaran
yang aku dan para sahabatku amalkan“. (Riwayat At
Tirmizy, 5/26, hadits no: 2641, dan Al Hakim 1/218, hadits no: 444).
Inilah
karakteristik golongan selamat, yaitu golongan yang berpegang teguh dengan
ajaran agama Islam yang diajarkan, didakwahkan dan diamalkan oleh Nabi
shollallahu’alaihiwasallam beserta sahabatnya.
Tatkala
Nabi shollallahu’alaihiwasallam ditanya tentang siapakah golongan yang selamat
dari neraka, beliau menjawab dengan menyebutkan kriteria (sifat)nya, bukan
dengan menyebutkan nama orang. Ini merupakan isyarat bahwa yang menjadi ukuran
dan barometer dalam menilai suatu golongan ialah: dengan melihat karakteristik,
dan perilakunya, yaitu, sejauh manakah golongan tersebut menjalankan dan
mencontoh ajaran dan amalan yang diterapkan oleh Nabi
shollallahu’alaihiwasallam dan para sahabatnya, bukan dengan tokoh tertentu dari golongan itu, siapapun
orangnya. Apalagi bila orang tersebut hidup jauh dari masa
kenabian, semacam Abu Hasan Al Asy’ari dan Abu Manshur Al Maturidi, yang
keduanya hidup pada abad keempat hijriah.
As
Syathiby Al Maliky berkata: “Singkat kata, bahwa sahabat-sahabat beliau
shollallahu’alaihiwasallam senantiasa meneladaninya dan menjalankan
petunjuknya, dan sungguh mereka telah mendapatkan sanjungan dalam Al Qur’an Al
Karim, sebagaimana suritauladan mereka yaitu Nabi Muhammad
shollallahu’alaihiwasallam telah mendapatkan sanjungan. Dan sesungguhnya
perangai beliau shollallahu’alaihiwasallam ialah Al Qur’an (Beliau
mengisyaratkan kepada perkataan ‘Aisyah -radliallahu ‘Anha-: “Adalah akhlaq
Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam ialah Al Qur’an”. (Riwayat Ahmad 6/91,
dan Al Bukhari dalam kitab Khalqu Af’aalil Ibad hal: 87), Allah Ta’ala
berfirman:
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti
agung”. (QS. Al Qalam 4).
Dengan
demikian Al Qur’anlah yang sebenarnya menjadi pedoman, sedangkan As-Sunnah
berfungsi menjabarkannya, sehingga orang yang menjalankan As Sunnah, berarti ia
telah menjalankan Al Qur’an. Dan para sahabat ialah orang yang paling banyak
menjalankannya, sehingga setiap orang yang meneladani mereka, niscaya ia
tergolong ke dalam golongan selamat, yang akan masuk surga, -atas kemurahan
Allah- inilah makna sabda Nabi shollallahu’alaihiwasallam:
“(golongan yang menjalankan) ajaran yang aku dan para
sahabatku amalkan”.
Al
Qur’an dan As Sunnah merupakan jalan lurus, sedangkan (dalil-dalil) yang lain
berupa ijma’ (kesepakatan ulama’) dan lainnya adalah cabang dari keduanya.
Inilah kriteria ajaran yang diamalkan oleh Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan
para sahabatnya, dan ini pulalah makna hadits ini dalam riwayat lain:
“Mereka itu ialah Al Jama’ah”
Dikarenakan
tatkala Nabi shollallahu’alaihiwasallam menyabdakan hadits ini, (kabar
terjadinya perpecahan umat Islam) Al Jama’ah memiliki kriteria ini”. [Al
I’itishom, oleh As Syathiby 2/443].
Oleh
karenanya, agama Islam hanya memiliki dua sumber hukum, yaitu Al Qur’an dan As
Sunnah. Sedangkan selain kedua sumber hukum ini, bila bertentangan dengannya
ditinggalkan. Inilah sebabnya mengapa para ulama’ dan imam senantiasa berwasiat
kepada murid-murid dan pengikutnya agar senantiasa meninggal kan pendapatnya, bila dikemudian hari
terbukti bertentangan dengan hadits, sebagai contoh:
Imam
Malik bin Anas -pendiri mazhab maliki- berkata:
“Setiap
manusia dapat diikuti perkataan (pendapat)nya, dan juga dapat ditinggalkan,
kecuali penghuni kuburan ini shollallahu’alaihiwasallam (yaitu Nabi
shollallahu’alaihiwasallam)”. [Siyar A’alam An Nubala’ oleh Az Zahaby 8/93].
Imam
As Syafi’i, berkata:
“Bila
ada hadits yang shahih, maka campakkanlah pendapatku ke dinding/pagar”. [Ibid
10/35].
Inilah
karakteristik utama golongan selamat, yang dalam hadits lain disebut dengan Al
Jama’ah:
Hadits ketiga:
Artinya:
“Dari sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan rodhiallahu’anhu
dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam, beliau bersabda: “Dan (pemeluk) agama ini
akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan
akan masuk neraka, dan (hanya) satu golongan yang masuk surga, yaitu Al
Jama’ah”. (HRS Ahmad 4/102, Abu Dawud 4/198, hadits no: 4597, Ibnu Abi ‘Ashim
1/7, hadits no: 2, dan Al Hakim 1/218, hadits no: 443, dan dishohihkan oleh Al
Albani).
Dan yang dimaksud dengan Al Jama’ah ialah,
sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Syamah As Syafi’i (w. 665 H): “Acapkali
datang perintah untuk berpegang teguh dengan Al Jama’ah, maka yang dimaksudkan
ialah: senantiasa berpegang teguh dengan kebenaran dan para pengikutnya,
walaupun orang yang berpegang teguh dengan kebenaran sedikit jumlahnya, dan
orang yang menyelisihinya berjumlah banyak. Hal ini karena kebenaran ialah
ajaran yang diamalkan oleh Al Jama’ah generasi pertama semenjak Nabi
shollallahu’alaihiwasallam dan para sahabatnya -radliallahu ‘anhum-, dan tidak
dipertimbangkan banyaknya jumlah penganut kebatilan yang ada setelah mereka”.
[Al Ba’its ‘Ala Ingkari Al Bida’ wa Al Hawadits, oleh Abu Syamah As Syafi’i,
hal: 34].
Pernyataan
beliau ini selaras dengan apa yang dinyatakan oleh As Syathiby pada ucapannya
yang telah saya sebutkan di atas.
Ibnu
Abil ‘Izzi Al Hanafi (w. 792 H) berkata: “Dan Al Jama’ah ialah jama’ah kaum
muslimin, dan mereka itu ialah para sahabat, dan seluruh orang yang meneladani
mereka hingga hari qiyamat”. [Syarah Al Aqidah At Thohawiyyah, oleh Ibnu Abil
‘Izz Al Hanafi hal: 374].
Subhanallah!
Tiga orang ulama’ yang saling berjauhan, tidak pernah saling bertemu, dan
berbeda mazhab (*) sepakat dalam menafsirkan Al Jama’ah, bahwa mereka ialah
para sahabat Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan seluruh orang yang meneladani
mereka, terlepas dari perbedaan mazhab fiqih atau daerah, atau organisasi dan
guru.
(*) Abu Syamah bertempat tinggal di
Baitul Maqdis Palestina, wafat pada thn: 665 H, dan bermazhabkan Syafi’i, As
Syathiby bertempat tinggal di Andalus, wafat thn: 790 H, dan bermazhabkan
Maliki, sedangkan Ibnu Abil ‘Izzi hidup di Damasqus, kemudian pindah ke Mesir,
wafat pada thn: 792 H, dan bermazhabkan Hanafi. Kesepakatan pendapat ini bukan
karena faktor kebetulan, akan tetapi karena ketiganya berbicara atas dasar ilmu
yang bersumberkan dari sumber yang murni, yaitu Al Qur’an dan Hadits Nabi
shollallahu’alaihiwasallam. Perbedaan mazhab ketiganya tidak menjadikan
masing-masing dari mereka mengklaim bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah ialah
mazhabnya sendiri, hendaknya hal ini menjadi peringatan dan pelajaran bagi
orang yang menginginkan keselamatan bagi dirinya, baik di dunia ataupun di
akhirat.
Al
Jama’ah ini dikemudian hari lebih dikenal dengan sebutan Ahlus Sunnah wal Jama’ah,
yang artinya para penganut as sunnah dan persatuan. Dikatakan Ahlus Sunnah
karena mereka benar-benar menerapkan As Sunnah dengan pemahaman ketiga, yang
mencakup seluruh ajaran agama Islam yang murni. Dan Ahlul Jama’ah, karena
mereka senantiasa menjaga persatuan yang dibangun diatas kebenaran.
Setelah
jelas bagi kita, bahwa yang dimaksud dengan Ahl As Sunnah wa Al Jama’ah ialah
Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, para sahabatnya dan seluruh orang yang
meneladani mereka, maka menjadi jelaslah bahwa siapa saja yang menafsirkan Ahl
As Sunnah wa Al Jama’ah dengan golongan tertentu atau mazhab tertentu,
penafsirannya tidak sesuai dengan fakta dan bertentangan dengan dalil. Bagaimana
tidak, Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam sendiri tatkala dikonfirmasikan
tentang maksud beliau dengan Al Jama’ah, beliau menjawab: (mereka ialah
golongan yang menjalankan) ajaran yang aku dan para sahabatku amalkan”.
Dengan
demikian tidak ada alasan lagi bagi siapapun untuk menafsirkan Al Jama’ah
dengan penafsiran yang lain, baik dengan mazhab Asy’ari dan Maturidi,
sebagaimana yang dilakukan oleh Al Murtadha Az Zabidi, dan diikuti oleh Bapak
KH. Drs. Ahmad Dinyathi Badruzzaman MA, atau dengan mazhab lain.
Agar
menjadi lebih jelas kesalahan
orang yang menafsirkan Ahl As Sunnah wa Al Jama’ah dengan mazhab Asy’ari dan
Maturidi, saya akan menukilkan sebagian aqidah (idiologi) mazhab Asy’ari:
1. Dalam
aqidah Asy’ari, dinyatakan, bahwa Al Qur’an yang ada dihadapan kita ini,
bukanlah kalamullah, akan tetapi berupa tulisan, dan huruf yang mengungkapkan
akan makna kalamullah, tulisan dan huruf itu Allah ciptakan pada diri malaikat
Jibril, atau Rasulull atau Al Lauhul Mahfuz, sedangkan kalamullah yang sebenarnya
ialah suatu makna yang ada pada diri Allah. Dan makna ini tidak berubah-ubah,
dan tidak berbeda-beda, yang beda hanyalah obyek, waktu dan bahasanya, sehingga
bila obyeknya ialah perbuatan buruk, maka ia dikatakan larangan, dan bila
berupa perbuatan baik, maka ia disebut perintah, dan bila berupa kisah, ia
disebut berita dst. Sehingga konsekwensinya seluruh Al Qur’an dari surat Al Fatihah s/d surat
An Nas sama semua, arti atau maknanya tidak berbeda, yang beda hanyalah sisi
pandang manusia, bila dikaitkan dengan perbuatan zina, maka ayat itu menjadi
larangan dari perbuatan zina, dan bila dikaitkan dengan ibadah sholat, maka
ayat itu pula menjadi perintah mendirikan sholat. Dan bila diwaktu Nabi Musa
‘alaihissalam dinamakan At Taurat, dan bila di zaman nabi ‘Isa ‘alaihissalam
dinamakan Injil, dan bila di zaman Nabi Muhammad shollallahu’alaihiwasallam
dinamakan Al Qur’an, yang beda hanyalah waktu dan bahasanya. [Lihat kitab: Al
Musamarah bi Syarhil Musayarah, oleh Al Kamal Ibnu Abi Syarif Al Maqdisy (W 906
H), hal: 74-77. Kitab
ini ialah kitab yang menerangkan aqidah-aqidah mazhab Asy’ari, jadi nukilan ini
ialah nukilan langsung dari kitab mereka, dan bukan melalui perantaraan orang
lain].
Tentu ini adalah aqidah yang
membingungkan, menyesatkan, membodohi umat serta bertentangan dengan realita
dan akal sehat.
2. Contoh
kedua dari aqidah Asy’ari: Akal manusia adalah sumber utama bagi syari’at
Islam, sehingga setiap dalil, baik Al Qur’an atau Al hadits yang dianggap
bertentangan dengan akal, harus diselaraskan dengan akal pikiran manusia, bila
tidak mungkin, maka harus ditolak. [Ibid hal: 33].
Ibnu
Al Qayyim Al Hambali (w. 751 H) setelah menyebutkan empat prinsip mazhab ahlul
bid’ah yang diantaranya ialah mendahulukan akal dibanding dalil: “Inilah
keempat taghut yang dijadikan oleh ahlul bid’ah sebagai prinsip bagi mazhab
mereka, dan telah menjajah agama Islam. Inilah yang menghapuskan
batasan-batasan agama Islam, menyirnakan rambu-rambunya, menumbangkan
pondasinya, menggugurkan kehormatan dalil dari dalam kalbu, dan membukakan
pintu bagi setiap orang munafiq dan musyrik untuk melecehkannya. Sehingga
tidaklah ada orang yang menghujatnya dengan dalil dari kitab Allah dan Sunnah
Rasul-Nya, melainkan ia akan segera berkilah dan berlindung dengan salah satu
dari thoghut-thoghut ini, dan menjadikannya sebagai perisai guna merintangi
jalan Allah”. [As Showa’iq Al Munazzalah ‘Ala At Tho’ifah Al Jahmiyah Al
Mu’atthilah, oleh Ibnu Al Qayyim Al jauziyah Al Hambali 2/379-380].
Apakah setelah in semua, kita masih akan bersikukuh mengatakan
bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah relevan dengan mazhab Asy’ari dan Maturidi?
Mungkin
ada dari pembaca yang bertanya: Mengapa ulama’ semacam Sayid Murtadha Az
Zabidi, mengklaim bahwa yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah ialah Al Asy’ariyah
dan Al Maturidiyah?
Untuk
mengetahui jawabannya, mari kita simak dan renungkan bersama ucapan sahabat
Abdullah bin Mas’ud berikut ini:
Artinya:
“Hendaknya kamu menuntut ilmu sebelum ilmu itu
diangkat, dan diangkatnya ilmu dengan matinya para ulama’. Hendaknya kamu menuntut
ilmu, karena kamu tidak tahu kapan ia dibutuhkan, atau dibutuhkan pendapatnya.
Sesungguhnya kalian akan menemui beberapa kaum yang mengaku-aku bahwa mereka
menyeru kamu kepada kitab Allah (Al Qur’an) padahal ia telah mencampakkannya
dibalik punggungnya. Maka hendaknya kamu menuntut ilmu, dan hati-hatilah kamu
dari amalan bid’ah, berlebih-lebihan, dan sikap ekstrim, dan hendaknya pula
kamu senantiasa mengikuti ajaran yama lama”. [Riwayat Ad Darimi 1/66, no:143,
As Sunnah oleh Muhammad bin Nasher Al Marwazy As Syafi’i hal 29, no: 185, dan
Mujmal Ushul I’itiqad Ahlus Sunnah oleh Al Lalaka’i As Syafi’i 1/87, no:108].
Sayid
Murtadha Az Zabidi ialah orang yang bermazhabkan Asy’ari, sehingga ia merasa
perlu untuk mengklaim bahwa Ahlus Sunnah ialah kelompoknya atau golongannya
saja. Hal ini menjadikannya lalai bahwa Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam,
sahabatnya, dan seluruh kaum muslimin yang hidup sebelum masa Abu Hasan Al
Asy’ari tidak bermazhabkan dengan mazhab ini. Fanatik golonganlah yang
menjadikannya lalai atau menutup mata dari fakta sejarah ini, dan hal
inipulalah -menurut hemat saya- yang menimpa bapak Kyai KH. Drs. Ahmad Dimyathi
Badruzzaman. Semoga Allah senantiasa melindungi kita dari kesesatan setelah
kita mendapat petunjuk, dan kehinaan setelah mendapat kemuliaan.
Sebagai
bantahan terbesar terhadap klaim bapak Dimyathi, ialah ucapan Imam Abu Al Hasan
Al Asy’ari berikut ini:
“Bila
ada yang berkata kepada saya: Engkau telah mengingkari keyakinan orang
Mu’tazilah, Al Qadariyyah, Al Jahmiyyah, Al Haruriyyah (khowarij) Al Rafidhah
(Syi’ah), Al Murji’ah, maka katakanlah kepada kami apa aqidah yang engkau anut
dan keyakinan yang engkau yakini? Maka jawabannya ialah: aqidah yang saya
yakini ialah: senantiasa komitmen dengan kitab Tuhan-ku Azza wa Jalla, dan
dengan sunnah Nabi Muhammad shollallahu’alaihiwasallam, dan yang diriwayatkan
dari para sahabat, tabi’in dan para imam ahlil hadits, dan saya dengan aqidah
ini senantiasa berpegang teguh, dan dengan menganut setiap aqidah yang diyakini
oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal -semoga Allah membahagiakannya,
meninggikan derajatnya, dan membalas jasanya dengan yang lebih besar- dan
menentang setiap yang menyelisihinya. Karena beliau (Ahmad bin Hambal) ialah
seorang imam yang agung, pemimpin yang sempurna, yang dengannya Allah
menjelaskan kebenaran, menyingkap kesesatan, menerangi jalan, dan memadamkan
bid’ah setiap ahli bid’ah, penyelewengan setiap orang yang menyeleweng, dan
keraguan setiap orang yang dilanda keraguan. Semoga Allah senantiasa
merahmatinya, dialah seorang imam yang terkemuka, dan sahabat yang agung nan
mulia”. [Al Ibanah ‘An Ushulid Diyanah. Oleh Abu Hasan Al ‘Asy’ari 14-15].
Inilah
aqidah Abu Al Hasan Al Asy’ari yang beliau anut dan ajarkan pada akhir
hayatnya, yaitu aqidah yang dianut oleh Imam Ahmad bin Hambal.
Beliau
memang pernah menganut aqidah Kullabiyah yang lebih dikenal dengan sebutan
Aqidah Asy’ariyyah. Namun setelah jelas bagi beliau sisi kesalahan aqidah ini,
beliau pun meninggalkannya, dan kembali ke aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sebagaimanan
yang beliau jelaskan dalam kitabnya Al Ibanah ‘An Ushulid Diyanah dan
Maqalaatul Islamiyyin.
BENARKAH ULAMA’ TASAWUF BERPEDOMAN KEPADA SUNNAH?
Pada
pembahasan ini, hal: 16 bapak Kyai Dimyathi berkata: “Sementara ini ada orang
yang berkata bahwa ulama’ fiqih dan ulama tasawuf itu dalam menetapkan suatu
hukum dan ibadahnya hanyalah hasil ijtihad (rekayasa) mereka tanpa didasari
sunnah Nabi shollallahu’alaihiwasallam. Perkataan semacam itu, menurut hemat
kami, jelas tidak bisa dipertanggung jawabkan validitasnya”.
Kalau
yang bapak Kyai maksudkan ialah ulama’ fiqih, maka saya mendukung ucapan bapak
Kyai, akan tetapi bila yang bapak maksud ialah ulama’ tasawuf juga, apalagi
ulama’ tasawuf mutaakhirin (sufi dengan pemahaman yang sekarang ada dimasyarakat),
maka saya balik berkata: menurut keyakinan saya, jelas ucapan bapak Kyai ini
tidak dapat dipertanggung jawabkan validitasnya, dan bahkan bertentangan dengan
realita.
Pada
pembahasan ini, bapak Kyai hanya menukilkan perkataan-perkataan para tokoh
tasawuf yang ada pada masa dahulu, yang pemahaman tasawuf kala itu hanya
sebatas zuhud dalam urusan dunia, dan tekun beribadah. Beliau hanya menyebutkan
ucapan Al Junaid (w. 297 H), Dzun Nun (w. 245 H), Ibrahim bin Adham (w. 161 H)
Abu Sa’id Al Kharraz (w. 277 H), Abu Yazid Al Busthomi (w. 261 H), Al Muhasibi
(w. 243), Al Sirri Al Saqathi (w. 257 H).
Adapun
tokoh-tokoh sufi pada zaman ini, -saya rasa bapak Kyai lebih banyak tahu
dibanding saya tentang mereka- kebanyakannya ialah orang-orang kaya, rumahnya
megah, kendaraannya bagus, hartanya melimpah dst.
Yang
menjadi pertanyaan saya: apakah bapak Kyai tidak mengenal tokoh sufi kecuali
mereka? atau, Apakah sufi tidak memiliki tokoh selain mereka? Ataukah ada batu
di balik udang dari dilupakannya tokoh-tokoh sufi selain mereka?
Bukankah
bapak kenal bahwa diantara tokoh sufi besar yang diagung-agungkan oleh banyak
orang ialah : Ibnu Arabi, Al Hallaj, At Tijani? Mengapa bapak Kyai tidak berani
menukil dari mereka? Apakah benar ada batu dibalik udang?
DR.
Gholib Al Awaji -seorang pakar dalam ilmu firoq (sekte-sekte) yang ada di umat
Islam- setelah menyebutkan perbedaan ulama’ dalam menentukan awal munculnya
tasawuf, ia berkesimpulan: “Dari perbedaan pendapat ini, saya berkesim pulan
bahwa tasawuf pertama kali muncul setelah diturunkannya agama Islam dalam
bentuk zuhud, semangat tinggi dalam berusaha meraih kehidupan akhirat, dan
mengekang jiwa sedapat mungkin dari mencintai kehidupan dunia, dan berjalanlah
segalanya sesuai dengan pemahaman ini. Pada kemudian hari -sebagaimana layaknya
prinsip dan gagasan lain- tasawuf mengalami pengembangan, dan disusupi oleh
berbagai gagasan, dengan tujuan pematangan ide dan kemudian menyajikannya
kepada masyarakat dalam bentuknya yang telah sempurna, tanpa memperdulikan
apakah pengembangan itu selaras dengan kebenaran atau sebaliknya malah menjauh
darinya”. [Firoq Mu’ashiroh, oleh DR Gholib bin Ali Al ‘Awaji
2/734].
Dari
kesimpulan DR Gholib Al Awaji di atas kita mengetahui bahwa tasawuf yang ada
pada zaman ini tidak lagi sejalan dengan tasawuf yang ada pada zaman dahulu
awal kali muncul. Oleh karena itu kita dapatkan sebagian ulama’ menyebut bahwa
tasawuf yang ada pada zaman orang-orang yang dinukil perkataannya oleh bapak
Kyai Dimyathi dengan sebutan sufiyah al haqo’iq. [Lihat Majmu’ Fawa, oleh Ibnu
Taimiyyah 11/19].
Walau
demikian, ternyata didapatkan beberapa penyelewengan pada ucapan dan perilaku
kebanyakan mereka, sebagai contoh:
Bisyr
Al Hafi berkata:
Artinya:
“Tidak
akan pernah berbahagia orang yang terbiasa dengan paha-paha wanita (istri-istrinya)”.
[Siyar A’alam An Nubala’ oleh Az Zahabi 10/472].
Bandingkanlah
ucapan Bisyr ini dengan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik
rodhiallahu’anhu tentang kisah ketiga orang yang mendatangi rumah istri-istri
Nabi shollallahu’alaihiwasallam, dan telah saya sebutkan pada bab I.
Malik
bin Dinar berkata:
Artinya:
“Seseorang
tidak akan dapat mencapai kedudukan ash shiddiqin hingga ia meninggalkan
istrinya, seakan-akan ia seorang janda, dan menyendiri ditempat-tempat
persembunyian anjing”. [Lihat Hilyah Al Ulama’ oleh Abu Nu’aim 2/359].
Bandingkan
ucapan Malik bin Dinar ini dengan hadits berikut:
Artinya:
“Dari sahabat Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah
shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Dinar yang engkau nafkahkan dijalan Allah
(untuk membiayai jihad), dinar yang engkau nafkahkan guna memerdekakan budak,
dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau
nafkahkan kepada keluargamu, yang paling besar pahalanya ialah dinar yang
engkau nafkahkan kepada keluargamu”. (Riwayat Muslim 2/692, hadits no: 995).
Abu
Sulaiman Ad Daraani berkata:
Artinya:
“Dari
Abu Sulaiman Ad Darani berkata: Apabila seseorang menuntut hadits (Nabi
shollallahu’alaihiwasallam), atau bepergian guna mengais rezeki, atau menikah,
berarti ia telah condong kepada kehidupan dunia”. [Talbis Iblis oleh Ibnu Jauzi
359].
As
Sya’rani mengkisahkan dari Al Junaid, bahwa ia berkata:
Artinya:
Seorang
murid yang benar-benar tulus, ia tidak butuh kepada ilmu para ulama’, bila
Allah menghendaki kebaikan padanya, niscaya ia akan dipertemukan dengan
orang-oang sufi dan dijauhkan dari para qurra’ (ahli qira’at yaitu para
ulama’). [Thabaqat Al Kubra oleh As Sya’rani 1/84, dengan perantaraan kitab:
Dirasaat fi Al Tasawwuf oleh DR. Ihsan Ilahi Dzahir 122].
Inilah
salah satu penyebab kenapa sufi zaman sekarang tersesat dari kebenaran dan
menyeleweng dari syariat Nabi Muhammad shollallahu’alaihiwasallam, mereka
menjauhi ilmu dan para ahlinya, bahkan menganggap belajar menuntut ilmu hadits
sebagai perbuatan dosa, oleh karenanya dahulu Bisyr Al Hafi merasa perlu untuk
beristighfar kepada Allah, karena ia pernah melangkahkan kakinya dalam
perjalanan menuntut hadits-hadits Nabi shollallahu’alaihiwasallam. [Lihat Siyar
A’alam An Nubala’ oleh Az Zahabi 10/470, 472].
Adapun
sufi yang ada setelah generasi sufiyatul haqa’iq berlalu, dan digantkan oleh
sufi jenis baru, yaitu yang sekarang ada dimasyarakat, dan diantara tariqatnya
telah diakui secara resmi oleh sebagian ormas Islam di Indonesia dan diberi
julukan sebagai thariqah mu’tabarah, telah jauh menyimpang dari ajaran dan
prinsip sufiytull haqa’iq. Tidak lagi seperti yang disebutkan dalam
ucapan-ucapan para tokoh yang disebut namanya oleh bapak Kyai Dimyathi. Untuk
sekedar membuktikan kepada para pembaca, saya akan menukilkan sebagian ucapan
beberapa tokoh mereka:
Ibnu
Arabi (seorang tokoh sufi sesat -ed) dalam bukunya Al Futuhat Al Makkiyah
berkata:
“Hamba adalah tuhan, dan tuhan adalah
hamba
duhai gerangan, siapakah yang diberi
tugas?
Bila kau katakan hamba, maka ia adalah
tuhan
atau kau katakan : tuhan, maka mana mungkin tuhan
diberi tugas!?. [Lihat Firoq Mu’ashiroh, oleh DR Gholib bin Ali Al ‘Awaji 2/745].
Di
bukunya: Al Fushus, Ibnu Arabi berkata: “Segala sesuatu yang kita temui, maka
itulah keberadaan Al Haq (Allah) yang berwujud pada makhluq. Bila dilihat dari
hakikatnya maka ia adalah perwujudan Allah, dan bila dilihat dari perbedaan
bentuk, maka itu adalah perwujudan makhluq-makhluq, sebagaimana tidak akan
berubah nama bayangan hanya karena perbedaan bentuk, demikian juga tidak akan sirna
sebutan Al Haq (Allah) hanya karena keaneka ragaman bentuk alam semesta. Bila
dilihat dari keesaan bayangan, maka dia adalah Al Haq (Allah), karena Dia
adalah Yang Maha Esa, dan bila dilihat dari segi perbedaan bentuk, maka itu
adalah alam semesta, renungkanlah apa yang telah aku jelaskan kepadamu ini”.
[Fushus Al Hikam oleh Muhammad bin Ali bin Muhammad ibnu Arabi Al Andalusi,
hal: 77-79, dengan perantaraan dari kitab Taqdis Al Asykhash Fi Al Fikri Al
Shufi oleh DR Muhammad Ahmad Lauh 1/532].
Abu
Hamid Al Ghazali, tokoh tasawuf kelas satu di mata pengikut tariqat masa kini
berkata dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin: “Bagian tauhid keempat ialah: bila ia
tidak menyaksikan di alam semesta ini selain satu dzat yang esa, dan ini
merupakan penyaksian para shiddiqin, dan diistilahkan oleh orang sufi dengan
sebutan: Al Fana’ Fit Tuhid (telah melebur dalam tauhid/pengesaan) ….. Bila
anda bertanya: bagaimana mungkin seseorang tidak melihat melainkan hanya satu
saja, sedangkan ia melihat langit, bumi, dan segala benda yang ia rasakan, dan
itu banyak sekali?, dan bagaimana suatu yang banyak menjadi hanya satu?
Ketahuilah bahwa ini adalah puncak ilmu mukasyafat, dan rahasia ilmu ini tidak boleh untuk
dituliskan dalam suatu kitab, karena orang-orang yang telah
sampai pada tingkatan ma’rifah berkata: membocorkan rahasia ketuhanan itu
adalah kufur. Ditambah lagi ilmu ini tidak ada hubungannya dengan ilmu
mu’amalah (interaksi) . Benar, menyebutkan satu hal yang dapat mengusir rasa
keherananmu boleh-boleh saja, yaitu: bahwa sesuatu dapat saja berjumlah banyak
dengan satu pertimbangan, dan menjadi satu dengan pertimbangan lain. Yang
demikian ini sebagaimana manusia dikatakan banyak bila dilihat dari segi roh,
jasad, kaki, tangan, urat-urat, tulang belulang, dan perutnya, dan pada saat
yang sama dengan pertimbangan lain kita katakan: dia adalah satu manusia….
Demikilah
halnya segala sesuatu yang ada di alam semesta, yang berupa Al Kholiq
(Pencipta) dan Makhluq, memiliki pertimbangan dan sisi pandang yang beraneka
ragam dan berbeda-beda. Dipandang dari satu sisi semuanya ialah satu / esa, dan
dari sisi pandang lain berjumlah banyak…. Penyaksian yang tidak nampak
melainkan Yang Maha Esa dan Benar kadang kala bersifat kontinyu, dan kadang
kala hanya sepintas, bak kilat yang menyambar, dan inilah yang sering terjadi,
sedangkan yang bersifat kontinyu itu jarang didapatkan”. [Ihya’ Ulum Ad Dien,
oleh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghozali As Syafi’i, bab: Haqiqah Al
Tauhid Allazi Huwa Aslu Al tauhid, 4/241-242].
Pada
halaman lain, Al Ghozali membagi pandangan terhadap At Tauhid kepada dua
bagian, dan ia berkata tentang bagian pertama: “Pandangan terhadap tauhid jenis
pertama, yaitu pandangan tauhid yang murni, dengan pandangan ini, anda pasti
akan dikenalkan bahwa ialah yang bersyukur dan disyukuri, dan dialah yang
mencintai dan dicintai, ini adalah pandangan orang yang meyakini bahwa tidaklah
ada di alam semesta ini melainkan Ia (Allah)”. [Ibid, bab: Bayan Thariq Kasyf
Al Ghitha’ ‘An Al Syukr Fi haqqi Allah Ta’ala, 4/83.
Demikianlah
data yang kita dapatkan dengan jelas dan gamblang pada karya-karya Al Ghazali,
namun sebagian ulama’ menyebutkan bahwa beliau pada akhir hayatnya menyatakan
bertaubat dari segala penyelewengan aqidah ini, sebagaimana yang disebutkan
oleh Syeikh Abdul Qadir As Sindy dalam kitabnya At Tasawwuf Fi Mizanil Bahts
Wat Tahqiq 325-326].
Abu
Yazid Al Busthami (tokoh sufi sesat -ed) berkata:
Artinya:
“Aku
telah menggulung amalan ibadah seluruh penghuni tujuh langit dan tujuh bumi,
kemudian aku masukkan ke dalam satu bantal, dan aku jadikan dibawah pipiku”.
[Hilyah Al Auliya’, oleh Abu Nu’aim 10/36].
Bukankah
bapak Kyai Haji Drs. Ahmad Dimyathi Badruzzaman yang terhormat mengakui dan
mengetahui bahwa kedua orang ini adalah tokoh tasawuf, dan bahkan suritauladan
ahl al tariqot? Bukankah bapak Kyai memiliki kitab Ihya’ Ulumuddin?! Silahkan
baca sendiri, dan buktikan sendiri, agar
bapak Kyai yakin dan tidak ragu lagi bahwa ucapan bapak Kyai di atas
bertentangan dengan realita dan fakta.
Apakah
sekarang masih ada keraguan bahwa tasawuf ala mutakhirin, yaitu tasawuf yang
ada pada zaman ini, adalah kelompok yang telah menyeleweng dari ajaran Al
Qur’an dan As Sunnah, dan mengatakan bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan
adalah manusia?! Yang menurut bahasa jawa, sering disebut: manunggaling Gusti
ing kawulo (menyatunya Tuhan dengan manusia).
Sebagai
hasil dari keyakinan wihdatul wujud semacam ini, mari kita simak beberapa kisah
berikut:
Syeikhul
Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tatkala dikatakan kepada At Tilmisani:
Sesungguhnya Al Qur’an bertentangan dengan kitab kalian Al Fushus. Ia menjawab:
Seluruh isi Al Qur’an ialah kesyirikan, sesungguhnya tauhid hanya ada pada
ucapan kami. Maka dikatakakan lagi kepadanya: Kalau kalian mengatakan bahwa
seluruh yang ada adalah hanya satu (esa), mengapa seorang istri halal untuk
disetubuhi, sedangkan saudara wanita haram? Maka ia menjawab: Menurut kami
semuanya halal (untuk disetubuhi), akan tetapi mereka orang-orang yang telah
terhalangi dari penyaksian keesaan seluruh alam, mengatakan: Saudara wanita itu
haram, maka kamipun ikut-ikut mengatakan haram”. [Majmu’ Fatawa oleh Ibnu
Taimiyyah 13/186].
Abu
Yazid Al Busthami berkata:
Artinya:
“Aku
heran kepada orang yang telah mengenal Allah, mengapa ia tetap beribadah
kepada-Nya?!”. [Hilyah Al Auliya’, oleh Abu Nu’aim 10/37].
Salah
seorang sufi besar, yaitu As Sya’roni, tatkala menyebutkan biografi Syamsuddin
Al Hanafi, berkata: “Suatu saat ada seorang istri seorang pangeran yang masuk
kerumah syeikh ini, maka ia mendapatkan syeikh sedang dipijit oleh beberapa
wanita, maka istri pangeran inipun merasa keheranan, kemudian syeikh ini
memandanginya dan berkata: Sekarang pandanglah! Maka Istri pangeran itupun
memandang dan menyaksikan bahwa wanita-wanita tukang pijet itu ternyata
wajahnya berupa tulang belulang, dari mulut mereka mengalir nanah, seakan-akan
baru mayat hidup yang baru keluar dari kuburan. Kemudian Syeikh Syamsuddin
berkata: Sesungguhnya aku bila memandang wanita lain, maka seperti inilah yang
nampak olehku, kemudian ia melanjutkan perkataannya: Sesungguhnya pada tubuhmu
ada tiga tanda (tompel/toh): satu di bawah ketiak, satu di pangkal pahamu, dan
satu lagi di dadamu. Istri pangeran itupun menjawab: Benar, bahkan demi Allah
suamiku saja hingga saat ini tidak mengetahui ketiga tanda ini”. [At Thobaqot
Al Kubro, oleh Asy Sya’roni 2/85, dengan perantaraan kitab: Taqdis Al Asykhash
FI Al Fikr Al Sufi oleh Muhammad Ahmad Lauh 2/304].
Menyimak
kisah ini, saya menjadi teringat dengan skandal seks seorang tokoh sufi besar,
dan seorang yang telah dinobatkan menjadi seorang wali oleh banyak kyai dan ahl
thariqat di negri kita tercinta Indonesia, yaitu skandal Abdurrahman Wahid,
atau yang lebih terkenal dengan sebutan Gus Dur. Bukankah umat Islam di seluruh
indonesia
telah membaca dan mendengar skandal ini? Akan tetapi apakah komentar sebagian
kyai dan masyarakat tentangnya? Ada
dari mereka yang mengatakan, bahwa Gus Dur ialah seorang wali, ada lagi yang
mengatakan dia itu dijaga oleh malaikat, dst. [Baca berbagai komentar beberapa
tokoh masyarakat tentang skandal ini, di buku: “Bila Kyai Dipertuhankan..” oleh
bapak Hartono Ahmad jaiz & Abduh Zulfidar Akaha, hal: 262 dst.]. Saya rasa
bapak Kyai Dimyathi dan para pembaca yang budiman lebih tahu tentang insiden
ini dibanding saya, sehingga tidak perlu saya berpanjang lebar menuturkannya.
Dan
di halaman lain As Sya’roni menuturkan kisah wali lain, yaitu Syeikh Ibrahim Al
‘Uryan, bahwa orang ini bila naik mimbar dan berceramah ia senantiasa dalam
keadaan telanjang bulat. [At Thobaqot Al Kubro, oleh Asy Sya’roni 2/124].
Berhubungan
dengan kisah ini, saya pernah mendengar penuturan salah seorang kawan saya
sendiri, dan kisah ini ialah kisah yang ia alami secara langsung: Kawan saya
ini berasal dari salah satu pondok pesantren di kota Jombang Jawa Timur. Pada suatu hari ia
diajak oleh bibiknya untuk berkunjung ke daerah Nganjuk-Jawa Timur), guna
mengunjungi seorang wali. Setibanya di rumah wali itu, ia dipersilahkan masuk
keruang tamu laki-laki, sedangkan bibinya dipersilakan masuk ke ruang tamu
wanita. Sepulang dari rumah wali itu, bibinya berkata: Wah, tadi di ruang
wanita, saya menyaksikan beberapa wali, diantaranya: ada wali laki-laki yang
keluar menemui kita dengan telanjang bulat dan tidak sehelai benangpun menempel
di badannya. Setelah berada di tengah-tengah ruangan wali telanjang itu
disodori sebatang rokok oleh sebagian pelayannya, maka iapun mulai mengisap
rokok, dan baru beberapa isapan, rokoknya itu dicampakkan ke lantai. Melihat
puntung rokok wali telanjang yang telah tergeletak di lantai itu, ibu-ibu yang
sedang berada diruangan tumu itu berebut memungutnya, dan setelah seorang ibu
berhasil mendapatkannya ia buru-buru memerintahkan anaknya yang masih ingusan,
yang kala itu bersamanya untuk ganti mengisap puntung rokok itu, dengan alasan:
agar mendapatkan keberkahan sang wali, dan menjadi anak yang pandai.
Tatkala
kawan saya mendengar kisah ini langsung dari penuturan bibiknya, ia bertekad
untuk tidak ikut-ikut lagi dalam acara-acara yang diadakan oleh orang-orang
sufi. Dan semenjak itu pulalah ia mulai menyadari kesesatan tariqat sufi, dan
Alhamdulillah yang telah mengaruniai sahabat saya ini hidayah, sehingga dapat
dengan mudah mencampakkan belenggu tariqat sufi dari lehernya.
Dan
pada halaman lain As Sya’roni mengkisahkan kisah Syeikh Ali Wuhaisy, bahwa oang
ini bertempat tinggal di rumah bordil, dan setiap ada orang yang selesai
berbuat zina, dan hendak meninggalkan lokasi itu, ia berkata kepadanya: Tunggu
sejenak hingga aku selesai memberikan syafaat untukmu sebelum engkau
meninggalkan tempat ini. Dan diantara yang ia kisahkan tentang orang sufi ini:
bahwa setiap kali ada seorang pemuka agama setempat sedang menunggang keledai,
ia memerintahkannya untuk segera turun, lalu berkata kepadanya: “Peganglah
kepala keledaimu, agar aku dapat melampiaskan birahiku padanya”. [Ibid
2/129-130].
Kisah-kisah
kotor dan menjijikkan, justru dianggap oleh As Sya’roni sebagai tanda kewalian,
dan kebanggaan seseorang. Kalau bukan karena terpaksa ingin membuktikan siapa
sebenarnya orang-orang sufi, niscaya saya tidak sampai hati untuk
mencantumkannya dalam tulisan ini, na’uzubillah minal khuzlan.
Dan
diantara hasil idiologi wihdatul wujud yang dianut oleh kaum sufi (ahl tariqat)
ialah terjalinnya keserasian dan obral akidah antar umat beragama, sehingga
tidak ada lagi orang yang dijuluki kafir dan muslim, semuanya adalah saudara,
hasil najis ini sering disebut dengan kata”wihdatul adyan” (persatuan umat
beragama).
Sebagai
buktinya simaklah penuturan salah seorang dedengkot sufi, yaitu Ibnu Arabi:
Artinya:
“Dan
seorang yang telah berhasil mencapai kesempurnaan tingkatan ma’rifah, niscaya
ia akan dapat melihat bahwa setiap yang disembah itu adalah tempat penampakan
Al Haq (Allah) yang disanalah Ia disembah. Oleh karenanya mereka menyebutnya
Tuhan (Ilah), bersama sebutannya yang khusus, yaitu: bebatuan, pepohonan,
binatang, manusia, bintang atau malaikat”. [Fushush Al Hikam Oleh Ibnu Arabi
195, melalui perantaraan kitab Taqdis Al Asykhash Fi Al Fikr Al Sufi, oleh
Muhammad Ahmad Lauh, 1/563].
Oleh
karena itu, janganlah heran bila orang-orang yang mengakui dan menganut at
thariqah al mu’tabarah dengan ringan hati untuk masuk keluar gereja, dan
mengadakan doa bersama, dan bahkan dibaptis oleh pastur. [Bagi anda yang ingin
membaca sebagian bukti hal ini, silahkan baca buku: Bila Kyai dipertuhankan,
oleh bapak Hartono Ahmad Jaiz dan Abduh Zulfidar Akaha 159].
Setelah
menyimak beberapi kisah yang dituliskan oleh As Sya’roni ini, apakah bapak Kyai
masih bersikukuh mengatakan bahwa tokoh-tokoh sufi berpegang teguh dengan Al
Qur’an dan As Sunnah?!
Apakah
bapak Kyai juga mengatakan bahwa ucapan Ibnu Arabi, Al Ghozali, dan As Sya’roni
tidak valid dan bernuansa su’uzhan kepada ulama yang mulia?
BID’AH
A. Definisi bid’ah
Pada
pembahasan ini, setelah bapak Kyai menyebutkan definisi bid’ah ditinjau dari
segi etimologi beliau menyebutkan definisi bid’ah ditinjau dari segi
terminologi, yaitu dengan menyebutkan dua definisi yang beliau anggap tepat,
definisi pertama: definisi Sulthanul ‘Ulama’ Izzuddin bin Abd Al Salam (w. 660
H) dan definisi kedua adalah: definisi Abu Sa’id Al Khadimi.
Yang
menjadi kritikan saya ialah:
Kritikan pertama:
Bapak
Kyai nampaknya terburu-buru, baik dalam menukil atau menyimpulkan, karena bila
bapak Kyai sedikit jeli dan sabar, niscaya beliau akan mendapatkan bahwa pada
kedua definisi yang beliau sebutkan ada pertentangan. Yang demikian itu karena
Izzuddin bin Abd Al Salam mendefinisikan bid’ah dengan ucapannya:
“Bid’ah ialah suatu amalan yang tidak dikenal pada
zaman Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam”. [Qawa’id Al Ahkam
fi Mashalih Al Anam, oleh Izzuddin bin Abd Al Salam, hal: 2/172].
Kemudian
Izzuddin bin Abd Al Salam membagi bid’ah menjadi lima, yaitu bid’ah wajib, sunnah, mubah,
makruh dan haram, dan memberikan contoh bagi masing-masing bagian. Dan diantara
yang beliau contohkan bagi bid’ah yang makruh ialah bid’ah menghiasi masjid,
melebarkan lengan baju, dan diantara bid’ah yang mubah ialah bersenang-senang
dengan berbagai macam makanan, minuman, yang lezat pakaian dan rumah yang
indah, dst. Sehingga menurut definisi Izzuddin ini, bid’ah bisa berupa urusan
adat istiadat.
Sedangkan
Abu Sa’id Al Khadimi mendefinisikan bid’ah dengan perkataan nya:
“Bid’ah ialah tambahan atau pengurangan dalam amaliah
agama yang keduanya terjadi sesudah masa sahabat Nabi
shollallahu’alaihiwasallam, dengan tidak ada izin dari Syari’ (Allah dan
Rasul-Nya) tidak dengan perkataan, tidak juga dengan perbuatan, tidak juga
dengan cara terus terang juga tidak dengan isyarat. Maka bid’ah itu sama sekali
tidak mencakup urusan adat, akan tetapi hanya mencakup sebagian urusan akidah dan
sebagian bentuk amalan ibadah”. [Sebagaimana yang dinukilkan oleh KH. Drs.
Muhammad Dimyathi Badruzzaman dalam bukunya hal: 30].
Demikian, jelaslah bentuk pertentangan antara kedua
definisi ini.
Dan
demikianlah kenyataannya, para ulama’ memang berbeda pendapat, apakah bid’ah
dapat berupa adat-istiadat, atau hanya dalam urusan aqidah dan ibadah saja.
Dan
menurut hemat saya pendapat yang paling moderat dalam hal ini, dan lebih tepat
ialah pendapat yang disampaikan oleh As Syathibi Al Maliki, setelah memaparkan
kedua pendapat di atas beserta argumentasi masing-masing pendapat, beliau
berkata:
“Telah tetap dalam prinsip-prinsip syari’at bahwa
setiap urusan adat-istiadat pasti ada kaitannya dengan peribadatan, karena
setiap hal yang tidak dipahami maknanya secara terperinci, baik hal yang
diperintahkan atau yang dilarang, maka itulah yang dimaksud dengan sebutan
ta’abbudi (peribadatan). Dan setiap yang dapat dipahami maknanya, diketahui
kemaslahatan dan mafsadahnya, maka itulah yang dimaksud dengan sebutan
adat-istiadat. Sehingga bersuci, sholat, puasa, dan haji, seluruhnya dikatakan
ta’abbudi, dan transaksi jual, pernikahan, transaksi beli, perceraian, sewa
menyewa, pidana, seluruhnya disebut adat istiadat, karena hukum-hukumnya dapat
dipahamai maknanya, dan pasti ada kaitannya dengan peribadatan, karena semuanya
dalam ajaran syari’at pasti dibatasi dengan beberapa hal, yang tidak ada
pilihan (untuk meninggalkannya) bagi siapapun, baik berupa perintah, atau
pilihan, dan pilihan dalam urusan peribadatan termasuk keharusan, sebagaimana
halnya perintah, seperti yang telah dijelaskan dalam kitab Al Muwafaqat. Dan
bila demikian ini keadaannya, maka telah jelaslah bahwa kedua hal ini
(peribadatan dan adat-istadat) sama-sama ada unsur ta’abbud (ibadah)nya.
Sehingga bila bid’ah diada-adakan dari sisi pandang ini, maka dibenarkan bahwa
bid’ah itu dapat mencakup urusan adat-istiadat, sebagaimna halnya dalam urusan
peribadatan. Bila tidak dari sisi ini, maka bid’ah tidak mencakup urusan adat”.
[Al I’itishom oleh As Syathibi 2/329].
Sehingga
tatkala bapak Kyai menyimpulkan pada hal: 31 dengan berkata: Dari uraian di
atas yang saling melengkapi itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dinamakan
bid’ah …… Namun bid’ah itu tidak ada korelasinya sama sekali dengan urusan adat
istiadat (keduniaan), tetapi khusus hanya menyangkut urusan akidah dan ibadah”,
saya menjadi tidak tahu dan bingung sambil bertanya: Dari manakah kesimpulan
ini bapak Kyai peroleh?
Menurut
hemat saya ini adalah kesimpulan mentah dan tidak ilmiah, karena tidak didasari
oleh fakta dari data ilmiah yang beliau tulis sendiri. Subhanallah!
Kritikan kedua:
Yang
dilakukan oleh bapak Kyai Dimyathi pada bab ini, ialah manipulasi terjemahan
yang beliau lakukan terhadap perkataan Izzuddin bin Abd Al Salam. Tatkala
mendefinisikan bid’ah Izzuddin berkata:
“Bid’ah ialah suatu amalan yang tidak dikenal pada
zaman Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam”.
Akan
tetapi bapak Kyai menerjemahkannya (lihat buku beliau hal: 30) sebagai berikut:
“Bid’ah itu adalah suatu amaliah keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah
shollallahu’alaihiwasallam”.
Saya
tidak tahu, apakah tambahan kata (keagamaan) beliau sengaja atau tidak, akan
tetapi yang jelas bagi saya bahwa ini adalah tambahan yang tidak sesuai dengan
aslinya, bahkan bertentangan dengan maksud Izzuddin bin Abd As Salam, yaitu
–sebagaimana yang telah dijelaskan di atas- tidak adanya perbedaan antara
amaliah ibadah dengan adat istiadat, bid’ah dapat mencakup keduanya. Semoga
Allah merahmati “amanah ilmiah” (baca: obyektifitas), yang telah dikuburkan
dalam-dalam oleh banyak orang.
B. Klasifikasi Bid’ah
Pada
pembahasan ini, yaitu hal: 35, bapak Kyai menyebutkan bahwa banyak ulama’
kenamaan yang telah membagi bid’ah itu ke dalam dua bagian, yakni bid’ah
hasanah/mahmudah (baik/terpuji) dan bid’ah sayyi’ah/dhalalah/ madzmumah/qabihah
(bid’ah buruk, sesat/tercela/jelek)”, kemudian beliau menyebutkan beberapa
ulama’ yang seakan-akan mendukung pendapat beliau ini.
Sebelum
saya meluruskan pemahaman terhadap perkataan ulama’-ulama’ yang telah
dinukilkan oleh bapak Kyai, saya akan awali dengan menyebutkan hadits-hadits
yang mencela bid’ah, agar menjadi pedoman dan tolok ukur dalam menilai suatu
pendapat:
Hadits pertama:
“Dari sahabat Jabir bin Abdillah rodhiallahu’anhu
bahwasannya Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Amma ba’du: sesungguhnya
sebaik-baik perkataan ialah kitab Allah (Al Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk
ialah petunjuk Nabi Muhammad shollallahu’alaihiwasallam, dan sejelek-jelek
urusan ialah urusan yang diada-adakan, dan setiap bid’ah ialah sesat”. (Riwayat
Muslim, 2/592, hadits no: 867).
Hadits kedua:
“Dari sahabat ‘Irbadh bin As Sariyyah rodhiallahu’anhu
ia berkata: Pada suatu hari Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam shalat
berjamaah bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami, lalu beliau
memberi kami nasehat dengan nasehat yang sangat mengesan, sehingga air mata
berlinang, dan hati tergetar. Kemudian ada seorang sahabat yang berkata: Wahai
Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat seorang yang hendak berpisah, maka
apakah yang akan engkau wasiatkan (pesankan) kepada kami? Beliau menjawab: Aku
berpesan kepada kalian agar senantiasa bertaqwa kepada Allah, dan senantiasa
setia mendengar dan taat ( pada pemimpin/penguasa , walaupun ia adalah seorang
budak ethiopia,
karena barang siapa yang berumur panjang setelah aku wafat, niscaya ia akan
menemui banyak perselisihan. Maka hendaknya kalian berpegang teguh dengan
sunnahku dan sunnah Khulafa’ Ar rasyidin yang telah mendapat petunjuk lagi
bijak. Berpegang eratlah kalian dengannya, dan gigitlah dengan geraham kalian.
Jauhilah oleh kalian urusan-urusan yang diada-adakan, karena setiap
urusan yang diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap bid’ah ialah sesat“.
(Riwayat Ahmad 4/126, Abu Dawud, 4/200, hadits no: 4607, At Tirmizy 5/44,
hadits no: 2676, Ibnu Majah 1/15, hadits no:42, Al Hakim 1/37, hadits no: 4,
dll).
Pada
kedua hadits ini dan juga hadits-hadits lain yang serupa, ada dalil nyata dan
jelas nan tegas bahwa setiap urusan yang diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap
bid’ah ialah sesat.
Rasulullah
shollallahu’alaihiwasallam dalam hadits ini bersabda: setiap
bid’ah ialah sesat, dalam ilmu ushul fiqih, metode ungkapan ini
dikatagorikan kedalam metode-metode yang menunjukkan akan keumuman, bahkan
sebagian ulama’ menyatakan bahwa metode ini adalah metode paling kuat guna
menunjukkan akan keumuman, dan tidak ada kata lain yang lebih kuat dalam
menunjukkan akan keumuman dibanding kata ini . [Baca Al Mustasyfa oleh Abu Hamid Muhammad
bin Muhammad Al Ghozali 3/220, dan Irsyadul Fuhul oleh Muhammad Ali As Syaukani
1/430-432].
Dengan
demikian dari kedua hadits ini, kita mendapatkan keyakinan bahwa setiap yang
dinamakan bid’ah adalah sesat, demikianlah yang ditegaskan dan disabdakan oleh
Nabi Muhammad shollallahu’alaihiwasallam. Sehingga tidak ada alasan bagi siapapun di kemudian
hari untuk mengatakan, bahwa ada bid’ah yang hasanah atau baik.
Keumuman hadits ini didukung oleh sabda Nabi shollallahu’alaihiwasallam dalam
hadits lain:
“Dari
‘Aisyah, ia berkata: Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Barang
siapa yang mengada-adakan dalam urusan kami ini sesuatu yang bukan bagian
darinya, niscaya akan ditolak”. (Riwayat Bukhori 2/959, hadits no: 2550, dan
Muslim 3/1343, hadits no: 1718).
Sebagai
seorang muslim yang bernar-benar beriman bahwa Nabi Muhammad
shollallahu’alaihiwasallam adalah utusan Allah, dia akan senantiasa bersikap
sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan:
Artinya:
“Dan tidaklah patut bagi seorang mukmin dan tidak pula
bagi seorang mukminah bila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, untuk mengambil pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah ia telah sesat, dengan
kesesatan yang nyata”. (Al Ahzab 36).
Ibnu
Katsir berkata: “Ayat ini bersifat umum, sehingga mencakup segala urusan, yaitu
bila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan suatu urusan dengan suatu keputusan,
maka tidak dibenarkan bagi siapapun untuk menyelisihinya atau memutuskan atau
berpendapat atau berkata lain”. [Tafsir Al Qur’an Al Azhim, oleh Ibnu Katsir
3/490].
Layak
dan beradabkah setelah Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda bahwa setiap
bid’ah ialah sesat, kemudian kita, atau yang lain walaupun itu Imam Syafi’i
mengatakan, bahwa ada bid’ah yang hasanah?
Terlebih-lebih
orang semacam Imam Syafi’i, yang telah berkata:
“Barang
siapa yang menganggap baik sesuatu, berarti ia telah membuat syari’at”. [Lihat
Al Risalah oleh Imam As Syafi’i, 25, dan Al Mustasyfa oleh Al Ghozali 2/467].
Masuk
akalkah orang yang berkata demikian, mengatakan dan menyelisihi Nabi
shollallahu’alaihiwasallam dalam mendefinisikan bid’ah?
Bila
demikian keadaannya, lalu bagaimana
klarifikasi ucapan beliau?
Untuk
menjawab pertanyaan ini, mari kita cermati kembali perkataan Imam As Syafi’i:
“Bid’ah
itu ada dua macam: yaitu yang mahmudah (terpuji) dan madzmumah (tercela). Maka
setiap bid’ah yang selaras dengan As Sunnah, maka itu adalah bid’ah yang
terpuji, dan yang tidak selaras dengan As Sunnah, maka itu adalah bid’ah yang
tercela”. [Lihat Hilyatul Auliya’ oleh Abu Nu’aim 9/113, dan Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al
‘Asqalani 13/253].
Bila
kita cermati dan pahami dengan seksama, maka akan jelas bagi kita bahwa yang
dimaksud oleh Imam Syafi’i dari kata “Bid’ah”
ialah bid’ah secara etimologi (bahasa) yang berarti at thariqoh (jalan/metode)
bukan secara terminologi (istilah dalam syari’at). Ini didukung
dengan penjelasan beliau sendiri, tatkala beliau menegaskan bahwa yang dimaksud
dengan bid’ah mahmudah ialah bid’ah yang selaras dengan As Sunnah. Sehingga
mustahil dalam istilah syari’at Islam sesuatu yang selaras dengan As Sunnah
disebut bid’ah, karena definisi bid’ah ialah sesuatu yang diada-adakan dan
tidak ada dasarnya/ tidak diizinkan oleh Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) baik
berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, tidak juga secara langsung atau
isyarat.
Bapak
Kyai sendiri pada halaman: 31 telah menyimpulkan: “Ringkasnya, segala sesuatu yang
terjadi dalam agama yang belum pernah ada di zaman Nabi
shollallahu’alaihiwasallam, dan tidak pula di zaman para sahabatnya, yang tidak
bersumber dari syara’, baik dengan dalil yang tegas maupun dengan isyarat, dari
Al Qur’an dan Sunnah Rasulllah shollallahu’alaihiwasallam, maka hal itu menurut
syari’at dinamakan dengan bid’ah”.
Sedangkan
ucapan As Syafi’i: “bid’ah yang tidak selaras dengan As Sunnah, maka itu adalah
bid’ah madzmumah”, maka yang dimaksud dari kata bid’ah pada penggalan perkataan
beliau ini ialah bid’ah secara istilah dalam syari’at, karena demikianlah
kenyataannya, setiap bid’ah pasti tidak memiliki dasar dan landasan dalam
syari’at, sehingga karena sebab ini, bid’ah itu dicela.
Dengan
demikian sesuatu yang selaras dengan As Sunnah, tidak disebut bid’ah dalam
istilah syari’at, akan tetapi mungkin disebut bid’ah secara bahasa.
Pemahaman
seperti ini nyata sekali bila kita merujuk kepada perkataan As Syafi’i yang
lain:
“Perkara
yang diada-adakan itu terbagi menjadi dua macam: (pertama) Perkara yang
diada-adakan yang bertentangan dengan Al Qur’an, atau as sunnah, atau
kesepakatan ulama’ (ijma’), maka ini adalah bid’ah dholalah (sesat), dan
(kedua): kebaikan yang diada-adakan yang tidak bertentangan dengan salah satu
dari dasar-dasar tersebut, maka ini adalah muhdatsah (suatu hal
baru/diada-adakan) yang tidak tercela”. [Ibid, dan Jami’ Al Ulum wa Al Hikam,
oleh Ibnu Rajab Al Hambali 267].
Tentu
menafsirkan perkataan Imam Syafi’i, dengan perkataan beliau sendiri lebih
obyektif dan tepat, dari pada mereka-reka sendiri maksud perkataan beliau.
Dan
pemahaman ini jugalah yang disimpulkan oleh para ulama’ yang menjabarkan
perkataan beliau, diantaranya Ibnu Hajar Al Asqalani, beliau berkata:
“Dan
yang dimaksud dengannya (Al Muhdatsah/perkara yang diada-adakan) ialah setiap
perkara yang diada-adakan dan tidak ada dasarnya dalam syari’at, dan dalam
istilah syari’at disebut bid’ah. Dan setiap perkara yang memiliki dasar dalam
syari’at, tidak disebut bid’ah. Dengan demikian bid’ah dalam pengertian syariat
pasti tercela. Beda halnya dengan pengertian bahasa karena setiap hal yang
diada-adakan tanpa ada contoh sebelumnya disebut bid’ah, baik hal itu terpuji
atau tercela”. [Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al Asqalani 13/253, dan hendaknya
dibaca pula penjelasan Imam Ibnu Rajab Al Hambali dalam kitabnya Jami’ Al Ulum
wa Al Hikam, 267].
Pemahaman
terhadap perkataan Imam Syafi’i sangat jelas sekali, bagi orang yang hatinya
bersih dan terhindar dari noda fanatik golongan atau bid’ah. Dan seandainya
yang dimaksud dari kata bid’ah mahmudah ialah pengertian bid’ah secara istilah,
bukan secara pengertian bahasa, maka perkataan beliau ini tidak dapat dijadikan
dalil untuk menentang sabda Nabi shollallahu’alaihiwasallam yang jelas-jelas
memvonis bahwa setiap bid’ah ialah sesat, Terlebih-lebih beliau telah berwasiat
kepada setiap orang muslim agar mencampakkan pendapatnya, bila ternyata
terbukti bertentangan dengan sabda Nabi shollallahu’alaihiwasallam.
Konfirmasi
pemahaman terhadap ucapan Imam Syafi’i ini juga berlaku pada setiap ucapan
ulama’ lain yang senada dengan ucapan beliau, seperti ucapan Imam An Nawawi,
dan Abd Al Haqq Al Dahlawi dll yang telah dinukil oleh bapak Kyai Dimyathi.
[Untuk lebih jelasnya, silahkan baca kitab Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah,
oleh DR. Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili 1/112-117].
Adapun
kisah dan ucapan Umar bin Khatthab rodhiallahu’anhu yang diriwayatkan oleh Imam
Malik, Bukhori dll, yaitu:
“Dari Abdurrahman bin Abd Al Qari, ia mengisahkan: Pada
suatu malam hari di bulan Ramadhon, aku keluar rumah bersama Umar bin Al
Khatthab rodhiallahu’anhu menuju ke masjid, didapatkan orang-orang sedang
shalat tarawih dengan berpencar-pencar. Ada yang sholat sendirian, dan ada yang
yang sholat berjamaah dengan beberapa orang. Maka Umar berkata: Saya rasa
seandainya saya menyatukan mereka shalat dengan diimami oleh satu orang,
niscaya lebih baik. Kemudian ia bertekad dan menyatukan mereka sholat
dibelakang Ubai bin Ka’ab. Kemudian di lain malam aku keluar rumah bersamanya, (*)
sedangkan orang-orang sedang shalat tarawih bersama imam mereka (yaitu Ubay bin
Ka’ab). Maka Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah ialah ini, dan (sholat) yang
mereka lakukan setelah tidur terlebih dahulu itu lebih baik dari yang mereka
lakukan sekarang” yang beliau maksud ialah sholat di akhir malam, dan kala itu orang-orang
lebih memilih untuk sholat pada awal malam”. (Riwayat Bukhari 2/707, hadits no:
1906, Malik 1/114, hadits no: 250, Al Baihaqi 2/493).
(*) Ini mengisyaratkan bahwa sahabat
Umar bin Al Khattab rodhiallahu’anhu tidak ikut shalat pada awal malam berjamaah
bersama mereka, akan tetapi beliau lebih memilih untuk shalat pada akhir malam,
sebagaimana yang beliau jelaskan bahwa shalat pada akhir malam itu lebih baik,
dibanding shalat pada awal malam.
Untuk
mendudukkan hukum sholat tarawih secara berjama’ah dan apakah relevan bila
disebut sebagai amalan bid’ah secara istilah dalam syari’at, maka perlu
diketahui bahwa:
Shalat
tarawih, dan menjalankannya dengan berjamaah bukanlah hasil rekayasa Umar bin
Al Khatthab rodhiallahu’anhu, sehingga dikatakan sebagai suatu amalan bid’ah
hasanah, akan tetapi kedua hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah
shollallahu’alaihiwasallam beserta sahabatnya. Marilah kita simak hadits
berikut:
“Dari sahabat ‘Aisyah –radhiallahu ‘anha- bahwasannya
Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam pada suatu malam menjalankan sholat di
masjid, maka ada beberapa orang yang mengikuti shalat beliau, kemudian pada
malam selanjutnya beliau shalat lagi, dan orang-orang yang mengikuti shalat
beliau-pun bertambah banyak. Kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau
keempat, dan beliau shollallahu’alaihiwasallam tidak keluar menemui mereka,
pada pagi harinya beliau bersabda: Sungguh aku telah mengetahui apa yang kalian
lakukan (yaitu berkumpul menanti shalat berjamaah) dan tidaklah ada yang
menghalangiku untuk keluar menemui kalian, melainkan karena aku khawatir bila
(shalat tarawih) diwajibkan atas kalian” (*) dan itu
terjadi pada bulan Ramadhan. (Riwayat Al Bukhari 1/380, hadits no: 1077, dan
Muslim 1/524, hadits no: 761).
(*) Alasan Rasulullah
shollallahu’alaihiwasallam ini membuktikan kepada kita betapa sayangnya beliau
kepada umatnya, sampai-sampai beliau kawatir bila beliau terus menerus shalat
tarawih dengan berjamaah, akan diturunkan wahyu yang mewajibkan shalat tarawih.
Semoga salawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada beliau, keluarga dan
seluruh sahabatnya, amiin.
As
Syathibi berkata: “Perhatikanlah hadits ini dengan seksama! Ppada hadits ini
ada petunjuk bahwa shalat tarawih adalah sunnah, karena berjamaahnya Rasulullah
shollallahu’alaihiwasallam bersama para sahabat pada beberapa hari merupakan
dalil dibenarkannya shalat tarawih berjamaah di masjid. Adapun keengganan
beliau setelah hari itu untuk keluar rumah, disebabkan oleh rasa khawatir akan
diwajibkannya shalat tarawih, bukan berarti beliau tidak mau lagi untuk
berjamaah shalat tarawih selama-lamanya. Hal ini karena masa itu ialah masa
diturunkannya wahyu dan syari’at, sehingga sangat dimungkinkan bila banyak
orang yang berjamaah shalat tarawih, akan diturunkan wahyu kepada Rasulullah
yang mewajibkan shalat tarawih. Dan tatkala alasan ini telah tiada dengan
wafatnya Nabi shollallahu’alaihiwasallam, maka permasalahan shalat tarawih
berjamaah kembali kepada hukum asal, yaitu telah tetapnya syari’at
dibolehkannya shalat tarawih berjama’ah.
Dan
Abu Bakar rodhiallahu’anhu tidak menjalankan hal ini, karena adanya dua
kemungkinan: Mungkin karena beliau berpendapat bahwa shalat pada akhir malam
dan membiarkan orang-orang shalat sendiri-sendiri itu lebih utama dibanding
menyatukan mereka shalat dibelakang seorang imam pada awal malam. Alasan ini
diungkapkan oleh At Tharthusi. Atau karena pendeknya masa khilafah beliau
rodhiallahu’anhu, sehingga tidak sempat memikirkan hal semacam ini, ditambah
lagi beliau disibukkan oleh urusan orang-orang yang murtad dari agama Islam,
dan urusan lainnya yang jauh lebih penting dibanding shalat tarawih.
Dan
tatkala kaum muslimin telah tenang pada zaman khilafah Umar bin Al Khatthab
rodhiallahu’anhu, dan beliau mendapatkan orang-orang terpencar-pencar di dalam
masjid –sebagaimana yang dikisahkan dalam riwayat diatas- beliau berkata:
Seandainya saya satukan mereka shalat dibelakang seorang imam, niscaya itu
lebih baik. Dan tatkala keinginannya ini telah terlaksana, beliau mengingatkan
bahwa bila mereka menjalan kan
shalat tarawih pada akhir malam, itu lebih baik”. [Al I’itishom, oleh As
Syathibi, 1/140].
Dengan
demikian telah terbukti bahwa yang dimaksud dari kata “bid’ah” dalam ucapan
sahabat Umar bin Al Khatthab ialah bid’ah
dengan pengertian bahasa, yaitu yang bermaknakan: metode atau
jalan, dan bukan bid’ah secara pengertian istilah syari’at. Sehingga ucapan
sahabat Umar ini tidak dapat dijadikan dalil guna mengatakan bahwa bid’ah itu
ada dua: bid’ah hasanah dan bid’ah madzmumah. Karena amalan shalat tarawih, dan
pelaksanaan shalat tarawih berjamaah di masjid, telah dicontohkan oleh Nabi
shollallahu’alaihiwasallam.
Adapun
ucapan bapak Kyai Dimyathi pada hal: 40 : “Dari
hadits yang tidak diragukan kesahihannya ini, begitu jelas dan tegas bahwa
shalat tarawih berjama’ah secara terus menerus sebulan penuh dalam bulan
ramadhan itu adalah perbuatan bid’ah, karena tidak dikenal pada zaman Nabi
shollallahu’alaihiwasallam”, adalah ucapan yang gegabah dan tidak berdasarkan realita dan
data ilmiah. Untuk membuktikan ini, akan saya bahas satu demi
satu ucapan bapak Kyai ini:
A.
Shalat
tarawih berjama’ah secara terus menerus, adalah sunnah hukumnya, ini
dikarenakan yang menjadikan Nabi shollallahu’alaihiwasallam tidak meneruskan
shalat tarawih berjamaah pada hari ketiga dan keempat dan juga seterusnya ialah
rasa khawatir beliau akan diturunkannya wahyu yang mewajibkan shalat tarawih,
sehingga akan memberatkan umatnya. Bukan karena beliau tidak mau lagi atau
tidak mengizinkan lagi hal itu. Oleh karena dalam teks hadits ini, Nabi
shollallahu’alaihiwasallam tidak berwasiat kepada para sahabatnya agar tidak
mengulang di kemudian hari perbuatan menjalankan shalat tarawih dengan
berjamaah. Ini menunjukkan bahwa hukum disunnahkannya shalat tarawih dengan
berjama’ah tidak dihapuskan. Ulama’ ushul fiqih menegaskan bahwa penghapusan
(nasekh) suatu hukum harus dengan dalil yang tegas dan jelas, bukan dengan
dalil yang tidak tegas dan jelas, apalagi hanya sekedar ucapan seorang ulama’
atau praduga. [lihat Al Mustashfa oleh Al Ghazali 2/89, Irsyadul Fuhul oleh As
Syaukani 2/79]. Tentu bapak Kyai memahami hal ini dengan baik, sehingga tidak
perlu saya berpanjang lebar membahas masalah ini.
B.
Shalat
tarawih berjama’ah telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad
shollallahu’alaihiwasallam dan pelaksanaannya secara terus menerus selama bulan
Ramadhon telah di contohkan dan dilakukan semenjak kholifah rasyid Umar bin Al
Khottab rodhiallahu’anhu, sehingga amalan ini tidak dapat dikatakan bid’ah,
karena definisi bid’ah -sebagaimana yang bapak Kyai sebutkan sendiri- ialah suatu
amalan agama yang tidak dikenal di zaman Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan
juga tidak pada zaman sahabatnya. Terlebih-lebih amalan ini yang
memerintahkannya ialah Umar bin Al Khatthab rodhiallahu’anhu, kemudian
diamalkan oleh khulafa’ setelah beliau. Dan tidak lupa beliau ialah salah
seorang al khulafa’ ar rasyidin, yang kita diperintahkan untuk meneladani
mereka, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits sahabat ‘Irbadh bin Sariyah
rodhiallahu’anhu.
“Maka hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnahku
dan sunnah Khulafa’ Ar Rasyidin yang telah mendapat petunjuk lagi bijak.
Berpegang eratlah kalian dengannya, dan gigitlah dengan geraham kalian.
Jauhilah oleh kalian urusan-urusan yang diada-adakan, karena setiap urusan yang
diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap bid’ah ialah sesat”.
Dengan
demikian bapak Kyai telah bertentangan dengan kesimpulannya sendiri tentang
definisi bid’ah, dan yang lebih parah lagi ialah: beliau telah mengatakan
bid’ah suatu amalan yang diajarkan dan dijalankan oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam
dan Khalifah Umar bin Al Khatthab rodhiallahu’anhu.
Dan
pada kesempatan kali ini saya harap bapak Kyai: merenungkan kembali perkataan bapak
bahwa amalan Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan al khulafa’ ar rasyidin adalah
amalan bid’ah.
Sebagai
saran saya kepada bapak Kyai, bacalah kembali tulisan bapak sendiri pada hal:
73-77, yaitu suatu pembahasan dengan judul: “KONSEKWENSI MEMVONIS BID’AH KEPADA
AMALIAH YANG SEBENARNYA SUNNAH”.
Agar
menjadi jelas sejauh mana kekeliruan bapak Kyai Dimyathi, baca kembali hadits
diatas. Bila sudah, bukankah Nabi shollallahu’alaihiwasallam telah menyatakan
dengan jelas bahwa amalan-amalan Al Khulafa’ Al Rasyidin adalah sunnah?? Akan tetapi bapak Kyai malah
mengatakan bahwa amalan mereka adalah bid’ah.
Tarawih
berjamaah selama bulan Ramadhan adalah suatu amalan sunnah yang telah
disepakati oleh seluruh sahabat semenjak zaman Umar bin Al Khatthab, dan tidak
ada seorang ulama’pun yang mengingkarinya, apalagi memvonisnya sebagai amalan
bid’ah, [Diantara ulama’ yang telah menyebutkan kesepakatan tentang sunnahnya
shalat tarawih dengan berjamaah selama satu bulan, ialah Imam Abu Al Abbas Ibnu
Suraij As Syafi’i, Abu Ishaq Al Marwazy As Syafi’i, dan As Syathibi Al Maliki.
Lihat Al Majmu’ Syarah Muhazzab oleh Imam An Nawawi 4/38 dan Al I’ithishom oleh
As Syathibi 1/141], kecuali bapak Kyai Ahmad Dimyathi Badruzzaman sendiri.
Adapun
hadits kedua yang dijadikan dalil oleh bapak Kyai guna meresmikan pembagian
bid’ah kepada dua: bid’ah dhalalah dan bida’ah hasanah, yaitu:
“Dari Katsir bin Abdillah bin Amr bin ‘Auf Al Muzani,
dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda
kepada Bilal bin Al Harits: Ketahuilah. Bilalpun menjawab: Apakah yang harus
saya ketahui, wahai Rasulullah? Rasulullah bersabda lagi: Ketahuilah, wahai
Bilal! Bilalpun menjawab: Apa yang harus saya ketahui, wahai Rasulullah? Beliau
bersabda: (ketahuilah) Bahwa barang siapa yang menghidupkan salah satu sunnahku
yang telah ditinggalkan (dilalaikan) setelah kematianku, maka baginya pahala
seperti pahala seluruh orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi sedikitpun
pahala mereka. Dan barang siapa yang mengada-adakan bid’ah dhalalah (sesat),
yang tidak diridhai Allah dan Rasul-Nya, maka baginya dosa seperti dosa seluruh
orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi sedikitpun dosa mereka”. (Riwayat
At Tirmizy, 5/45, hadits no:2677, Ibnu Majah 1/76, 209, Al Bazzar, 8/314,
hadits no: 3385, At Thabrani dalam kitab Al Mu’jam Al Kabir 17/16/ hadits no:
10, dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitabnya As Sunnah 1/23, hadits no: 42).
Hadits
ini dengan riwayat yang demikian ini, yaitu dengan lafadz :
“dan barang siapa mengada-adakan suatu bid’ah”
adalah
hadits yang lemah sekali, karena hadits ini diriwayatkan oleh Katsir bin
Abdillah Al Muzani, dia adalah seorang yang lemah riwayatnya, bahkan sebagian
ulama’ mengatakan bahwa dia adalah pendusta, sehingga riwayatnya diindikasi
sebagai hadits dhaif bahkan diduga sebagai hadits palsu. Diantara yang
menjelaskan jati diri perawi ini: [Silahkan baca keterangan ulama’ ahl al
hadits tentang orang ini di: Al Kamil fi Dhu’afa’ Al Rijal, oleh Ibnu ‘Adi
6/57, no:1599, Al ‘Ilal Al Mutanahiyah, oleh Ibnu Al Jauzi 1/142, no:206, Mizan
Al I’itidal fi Naqd Al Rijal oleh Az Zahabi 5/492, no:6949, Tahzib Al Tahzib oleh
Ibnu Hajar Al Asqalani, 8/377, no: 753].
1. Imam
As Syafi’i, berkata tentangnya: “Dia adalah salah seorang tonggak kedustaan”.
2. Imam
Ahmad bin Hambal, berkata tentangnya: “Hadits-hadits orang ini adalah mungkar,
dan tidak ada artinya”, dan beliau (Ahmad bin Hambal) menghapus seluruh hadits
riwayat Katsir Al Muzani dari kitabnya Al Musnad, dan tidak pernah
meriwayatkannya lagi”.
3. Imam
Yahya bin Ma’in berkata: “Hadits-hadits Katsir bin Abdillah Al Muzani tidak ada
artinya, dan tidak layak untuk ditulis”.
4. Imam
An Nasa’i berkata: “Ia adalah orang yang haditsnya harus ditinggalkan”.
5. Imam
Ibnu Hibban berkata: “Katsir bin Abdillah Al Muzani meriwayatkan dari ayahnya,
dari kakeknya satu buku yang berisi hadits-hadits palsu, sehingga tidak halal
untuk mencantumkan riwayatnya dalam suatu kitab”. Dan masih banyak lagi
kesaksian ulama’ ahl al hadits tetang perawi ini, yang semuanya menunjukkan
bahwa hadits-hadits yang ia riwayatkan lemah dan tidak dapat dijadikan dasar
suatu hukum.
Al
Munziri setelah menyebutkan hadits ini dalam kitabnya At targhib wa At Tarhib
dan menyebutkan bahwa Imam At Tirmizy berkata: “Ini adalah hadits hasan”,
beliau (Al Munziri) berkomentar: “Akan tetapi Katsir bin Abdillah adalah matruk
(harus ditinggalkan riwayatnya), lagi lemah”. [At Targhib wa At Tarhib, oleh Al
Munziri 1/47].
Imam Az Zahabi setelah menyebutkan berbagai
komentar ulama’ ahl al hadits tentang Katsir bin Abdillah Al Muzani, beliau
berkata: “Adapun At Tirmizi, maka ia meriwayatkan hadits orang ini, diantaranya
hadits: “Perdamaian antara kaum muslimin itu dibenarkan”, kemudia ia (At
Tirmizi) memvonis shahih hadits riwayatnya ini. Oleh sebab inilah para ulama’
tidak dapat menerima setiap vonis shahih yang At Tirmizi nyatakan”. [Mizan Al
I’itidal fi Naqd Al Rijal, oleh Az Zhabai 5/493].
Diantara
ulama’ ahl hadits yang memvonis dhaif (lemah) hadits ini ialah Al Mubarakfuri
dalam kitabnya Tuhfah Al Ahwazi Bi Syarh Jami’ At Tirmizi, [Lihat Tuhfah Al
Ahwazi 7/444] dan Syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, seorang pakar ilmu
hadits abad 20 H, beliau berkata: “Sanad hadits ini lemah sekali, (karena)
Katsir bin Abdillah, yaitu Ibnu Amer bin ‘Auf ialah orang yang matruk (harus
ditinggalkan riwayatnya), sebagaimana yang ditegaskan oleh Al hafidz Al Munziri
dalam kitabnya At Targhib”. [Dlilal Al Jannah Fi Takhrij Al Sunnah, oleh
Muhammad Nashiruddin Al Albani 1/23].
Ringkas
kata, hadits dengan riwayat ini, yaitu dengan lafadz ialah lemah, sehingga tidak dapat
dijadikan sandaran atau dalil bagi suatu kesimpulan hukum syari’at.
Dan
bilapun (baca: seandainya -ed) hadits ini kita anggap dianggap shahih, maka
tidak juga dapat dijadikan dalil untuk membenarkan klaim bapak Drs. Dimyathi,
ada bid’ah hasanah, hal ini dikarenakan beberapa hal berikut:
1. Sabda
Nabi shollallahu’alaihiwasallam ini “Membuat bid’ah dhalalah” merupakan
kelanjutan dari sabda beliau “barang siapa yang menghidupkan sunnahku”,
sehingga dengan jelas bahwa yang dimaksud dengan bid’ah dhalalah ialah amalan
yang merupakan lawan dari sunnah.
2. Apakah
yang menjadi standar dalam menyatakan bahwa suatu amalan itu baik/ hasanah atau
sesat/dhalalah? Apakah akal dan hawa nafsu setiap orang? Ataukah adat istiadat?
Ataukah yang lainnya? Tentu kita tidak akan menemukan standar yang dapat
disetujui oleh seluruh kaum muslimin, selain Al Qur’an dan As Sunnah. Sehingga dengan
demikian klaim bapak ini bila ditinjau dari sisi ni, justru akan membuka pintu
bid’ah bagi setiap orang. Dan bila hal ini telah terjadi, maka hancur dan
runtuhlah syari’at islam. Padahal prinsip dan aqidah setiap muslim yang tidak
boleh goyah dan bergeming barang sedikitpun ialah setiap yang selaras dengan Al Qur’an
dan As Sunnah ialah baik, dan setiap yang menyelisihi keduanya ialah sesat.
Ditambahlagi bila kita mencermati apa yang akan saya sebutkan berikut ini:
Kandungan
makna hadits ini diriwayatkan oleh perawi lain dengan lafadz yang berbeda,
seperti berikut :
“Dari Munzir bin Jarir dari ayahnya, ia berkata: Pada
suatu pagi, kami berada di sisi Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam ,
kemudian datanglah segerombol orang yang tidak beralaskan kaki, telanjang dada,
hanya mengenakan selembar kain wol atau baju yang mereka lubangi tengahnya
(sebagai penutup aurat mereka) dan dengan menenteng sebilah pedang, kebanyakan
mereka dari kabilah Mudhar, bahkan semuanya dari Mudhar. Melihat yang demikian
itu, raut wajah Nabi shollallahu’alaihiwasallam berubah, karena beliau
menyaksikan kemiskinan yang mereka alami. Kemudian beliau masuk rumah lalu
keluar lagi, dan memerintahkan Bilal agar segera mengumandangkan Azan dan
Iqamat, lalu beliau shalat, kemudian berkhutbah dan berkata: ………Hendaknya kamu
bersedekah dengan sebagian dinarnya, sebagian dirhamnya, sebagian bajunya,
seberapa takar gandumnya, seberapa takar kurmanya, hingga beliau bersabda:
walau dengan setengah buah kurmanya. Kemudian datanglah seorang Anshar dengan
membawa seikat korma, yang tangannya hampir-hampir tidak kuasa membawanya,
bahkan benar-benar tidak kuasa membawanya, (karena keberatan). Kemudian para
sahabat berbondong-bondong dengan sedekahnya, hingga akhirnya terkumpullah dua
onggok makanan dan pakaian, sehingga saya melihat wajah Rasulullah
shollallahu’alaihiwasallam berseri-seri seakan-akan berkilau bak berlapiskan
emas. Lalu Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: Barang siapa yang
memulai mengamalkan suatu metode/amalan baik dalam agama Islam, maka baginya
pahala amalannya itu, dan pahala seluruh orang yang menirunya, tanpa sedikitpun
mengurangi pahala mereka. Dan barang siapa memulai mengajarkan/ mengamalkan
amalan buruk dalam agama Islam, maka baginya dosa amalannya itu dan amalan seluruh
orang yang menirunya, tanpa sedikitpun mengurangi dosa mereka”. (Riwayat
Muslim, 2/704, hadits no: 1017).
Dalam
hadits yang shahih ini, Nabi shollallahu’alaihiwasallam menggunakan ungkapan yang artinya memulai mengamalkan suatu sunnah
/ ajaran. Berbeda dengan lafadz hadits yang disebutkan oleh bapak Kyai,
walaupun makna dan maksudnya sama.
Akan
tetapi yang menjadi pertanyaan saya: Mengapa
bapak Kyai enggan menyebutkan lafdz hadits yang shahih ini, dan lebih
mengutamakan lafadz hadits yang jelas-jelas lemah itu?
Mungkin
jawabannya ialah: karena pada lafadz hadits yang lemah itu ada ungkapan yang ia
duga akan mendukung kesimpulannya. Sedangkan pada hadits yang shahih ini,
beliau sadari tidak ada ucapan yang dapat ia jadikan dalil. Karena kata dalam bahasa arab artinya ialah thariqah/metode/jalan.
Al
Mubarakfuri, seorang ulama’ yang mensyarah kitab Sunan At Tirmizi menafsirkan
kata sunnah hasanah dalam hadits ini dengan berkata: “thariqah/ metode/ jalan
yang selaras dengan prinsip-prinsip agama”, dan menafsirkan kata “Sunnah
sayyi’ah” dengan berkata: “suatu thariqah/metode/jalan yag tidak diridhoi, dan
tidak selaras dengan prinsip-prinsip agama”. [Tuhfah Al Ahwazi Bi Syarah Jami’
At Tirmizi, oleh Muhammad bin Abdurrahman Al Mubarokfuri 7/438].
Diantara
yang menguatkan penafsiran Al Mubarakfuri ialah sabab wurud/sebab disabdakannya
hadits ini, yaitu kisah seorang lelaki Anshar yang bersedekah dengan seikat
kurma. Sehingga pada kisah ini tidak ada satu amalan yang tidak pernah
diajarkan oleh syari’at, apalagi sampai dikatakan bahwa sahabat ini mengajarkan
amalan baru atau sesuatu yang belum pernah diajarkan oleh Nabi
shollallahu’alaihiwasallam, yang ia lakukan pada kejadian itu hanyalah bersegera dalam bersedekah.
Bila
permasalahan ini telah jelas, maka pembahasan selanjutnya ialah berkaitan
dengan pembagian sebagian ulama’ terhadap bid’ah kepada lima bagian, sesuai
dengan macam-macam hukum syar’i, yaitu bid’ah wajib, sunnah, mubah, makruh dan
haram, sebagaimana yang dilakukan oleh Izzuddin bin Abd Al Salam, dan diikuti
oleh An Nawawi, Al Qarafi, Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, dan Jalaluddin Al Suyuthi,
dll. [Lihat Qawaid Al Ahkam fi Mashalih Al Anam, oleh Izzuddin bin Abd Al
Salam, 2/172-174, Tahzib Al Asma’ wa Al Lughat, oleh An Nawawi, 3/22, Fathul
Bari oleh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani 13/254, dan Tanwir Al Hawalik Syarah
Muwattha’ Imam Malik, Oleh As Suyuthi 1/105, Mauqif Ahl As Sunnah Min Ahl Al
Ahwa’ Wa Al Bida’ oleh DR Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili 1/106].
As
Syathibi setelah menyebutkan pembagian ini, ia mengutarakan sangga hannya
dengan berkata: “Pembagian bid’ah seperti ini adalah suatu hal yang
diada-adakan, tidak ada dasarnya dari dalil-dalil syari’at. Bahkan pada
pembagian ini terjadi kontradiksi, karena hakikat bid’ah ialah sesuatu yang
tidak didukung oleh dalil syari’at, baik berupa dalil-dalil dari Al Qur’an dan
Hadits, atau berupa qaidah-qaidah umum dalam syari’at. Sebab seandainya ada
dalil dalam syari’at yang menunjukkan akan wajib, atau sunnah, atau mubahnya
sesuatu, niscaya tidak akan disebut bid’ah, dan amalan itu akan dikatagorikan kedalam
keumuman amalan-amalan yang diperintahkan atau diberikan pilihan antara
melakukannya dan meninggalkannya. Sehingga menggabungkan antara vonis bid’ah
terhadap amalan ini dengan adanya dalil-dalil yang menunjukkan akan wajib, atau
sunnah atau mubahnya amalan itu ialah penggabungan antara dua hal yang saling
bertentangan. Kesimpulan dari pembahasan di atas, telah jelas bahwa bid’ah
tidak dapat dibagi seperti pembagian ini, akan tetapi bid’ah pasti termasuk
kedalam hal-hal yang dilarang, baik hukumnya makruh atau haram “. [Al
I’ithishom oleh As Syathibi 1/138].
Dengan
penjelasan dari As Syathibi ini, telah jelaslah bahwa pembagian bid’ah menjadi
lima bagian, wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram adalah satu hal yang tidak
berdasarkan dalil, bahkan bertentangan dengan dalil-dalil yang nyata-nyata
memvonis bahwa setiap bid’ah ialah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di
neraka, dan juga bertentangan dengan definisi bid’ah ditinjau dari segi
terminologi.
Bila
ada yang bertanya: lalu apa sebenarnya yang menjadikan sebagian ulama’ seperti
Izzuddin bin Abd Al Salam melakukan hal ini?
Untuk
mengetahui jawaban pertanyaan ini, kita harus membaca dan merenungkan kembali
ucapan dan contoh-contoh yang disebutkan oleh mereka. Dan bila kita cermati,
ternyata contoh-contoh yang disebutkan oleh Izzuddin bin Abd Al Salam dalam
bagian bid’ah wajib, sunnah dan mubah, niscaya kita dapatkan semuanya tercakup
dalam keumuman kaidah-kaidah syari’at, walaupun tidak termaktub dalam ayat atau
hadits tertentu.
Sebagai
contoh: Izzuddin bin Abd Al Salam mencontohkan bid’ah yang wajib dengan:
mempelajari ilmu nahwu, guna memahami firman-firman Allah dan sabda-sabda
Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, kemudian beliau mengemukakan alasannya
dengan berkata: “Karena memelihara keutuhan syari’at adalah wajib hukumnya, dan
menjaga keutuhan syari’at tidak mungkin dilakukan kecuali dengan mengetahui
ilmu nahwu. Dan segala perkara yang suatu kewajiban tidak dapat terlaksana
melainkan dengannya, maka perkara itu wajib hukumnya”. [Qawa’id Al Ahkam Fi
Mashalih Al Anam, oleh Izzuddin bin Abd Al Salam 2/173].
Untuk
lebih jelasnya mari kita simak dan renungkan bersama ucapan beliau berikut ini:
“Bid’ah
ialah perbuatan/ amalan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah
shollallahu’alaihiwasallam, dan bid’ah itu terbagi menjadi: bid’ah wajib,
haram, sunnah, makruh, dan bid’ah mubah. Dan metode untuk membedakannya ialah
dengan cara menimbang bid’ah itu dengan kaidah-kaidah syari’at, bila bid’ah itu selaras dengan
kaidah-kaidah wajib, maka itu wajib hukumnya, bila bid’ah itu selaras dengan
kaidah-kaidah haram, maka itu haram hukumnya, bila bid’ah itu selaras dengan
kaidah-kaidah sunnah, maka itu sunnah hukumnya, bila bid’ah itu selaras dengan
kaidah-kaidah mubah, maka itu mubah hukumnya“. [Ibid].
Dengan
demikian jelaslah kesalah pahaman banyak orang yang mengklaim bahwa bid’ah itu
ada yang wajib, sunnah dan mubah.
Sehingga
yang dimaksud dari kata bid’ah, dalam ucapan “bid’ah wajib, sunnah dan mubah”
ialah bid’ah secara pengertiaan bahasa, bukan secara pengertian istilah dalam
syari’at. [Bagi yang ingin mendapatkan penjelasan lebih banyak, silahkan baca
buku jami’ Al ‘Ulum Wa Al Hikam, oleh Ibnu Rajab Al Hambali 266, Tuhfah Al
Ahwazi oleh Al Mubarakfuri 7/439-441, dan ‘Aun Al Ma’bud Oleh Syamsu Al Haq Al
‘Adzim ‘Abadi 12/235].
Berangkat
dari kesimpulan ini, saya akan mengajak pembaca untuk melan jutkan diskusi ini,
dengan berpindah kepada permasalahan lain, yaitu meninjau kesimpulan bapak Kyai Dimyathi yang
lain, yang tertulis pada hal: 49.
Pada
halaman ini beliau berkata:
“Oleh
karena itulah, maka pengertian hadits: (setiap bid’ah itu sesat), setelah
ditakhshish (dikecualikan) menjadi: Setiap bid’ah itu sesat: kecuali dalam
urusan dunia. Hal ini berdasarkan hadis sahih riwayat Imam Muslim dari Anas bin
Malik rodhiallahu’anhu, Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam telah bersabda:
“Kalian yang lebih tahu (dari pada saya) tentang urusan
dunia kalian”. (HR. Muslim, 4.1846, hadits no: 2366).
Yang
menjadi tanggapan saya:
Ternyata
bapak Kyai benar-benar telah melalaikan definisi dan kesimpulannya tentang
pengertian bid’ah. Pada hal: 31, : “Namun
bid’ah itu tidak ada korelasinya sama sekali dengan urusan adat istiadat
(keduniaan), tetapi khusus hanya menyangkut urusan akidah dan ibadah”.
Bila
bapak kyai telah berkesimpulan demikian, mengapa bapak merasa bahwa hadits
sahabat Anas bin Malik rodhiallahu’anhu bertentangan dengan hadits “setiap
bid’ah itu sesat”, sehingga bapak merasa perlu untuk mengecualikan urusan dunia
dari keumuman hadits “setiap bid’ah itu sesat”??!. Ini salah satu bukti bahwa
bapak Kyai Dimyathi sering dalam karya tulisnya ini melakukan pertentangan
dengan diri sendiri, Subhanallah.
Yang
lebih mengherankan lagi ialah, setelah beliau mengecualikan hadits ini dari
keumuman hadits “setiap bid’ah itu sesat”, pada halaman yang sama beliau
berkata: “memang tentang urusan dunia, contohnya membuat rumah yang baik,
kendaraan yang bagus, pesawat yang canggih dan yang lainnya, itu semua tidak
termasuk bid’ah, karena bersifat duniawi”. Ucapan beliau ini lebih ganjil, pada
awal pembicaraan dikatakan bahwa: hadits Anas dianggap sebagai dalil
pengecualian, kemudian pada akhir pembicaraan dikatakan bahwa: antara hadits
Anas dan hadits bid’ah tidak ada pertentangan, sehingga tidak perlu diadakan
pengecualian. Subhanallah!?
Untuk
mengetahui sisi keganjilan ini, kita perlu untuk menyimak ayat berikut:
Artinya:
“Kalau seandainya Al Qur’an itu datang dari sisi selain
Allah, niscaya mereka menda patkan pertentangan yang banyak di dalamnya”. (An
Nisa’ 82).
Para
ulama’ berdasarkan ayat ini menyatakan bahwa syari’at-syari’at agama Islam,
baik yang bersumber dari Al Qur’an atau dari As Sunnah, tidak ada
pertentangannya, dan bila didapatkan dua dalil yang sekilas nampak saling
bertentangan, pasti keduanya dapat diselaraskan, yaitu dengan cara pengecualian
(takhshish), penggabungan, nasikh dan mansukh, atau tarjih dll.
Karena
pada permasalahan ini bapak Kyai menyebutkan takhshish,
maka akan saya sebutkan definisi takhshish,
agar menjadi jelas pertentangan yang ada pada perkataan beliau:
Al
Isnawi As Syafi’i berkata: “Takhshish ialah mengeluarkan/ mengecualikan
sebagian hal yang sebelumnya tercakup dalam suatu ungkapan”. [Nihayah As Sul fi
Syarhi Minhaj Al Ushul, oleh Abdur rahim Al Isnawi As Syafi’i, 2/374, dan
Irsyadul Fuhu, oleh Muhammad bin Ali As Syaukani 1/507-510].
Dari
definisi takhshish ini, kita memahami bahwa suatu hal yang tidak tercakup oleh
suatu ungkapan tidak perlu di takhshish, sebagai contoh: urusan dunia, karena
tidak tercakup oleh definisi bid’ah, maka tidak perlu ditakhshish/ dikecualikan.
Sehingga perkataan bapak Kyai ini sama halnya dengan perkataan saya: “Saya
makan semua makanan yang ada di meja makan, kecuali sendok, garpu, dan piring”.
Tentu orang yang mendengar perkataan saya ini akan mengatakan, Ya memang,
karena sendok, garpu dan piring bukan makanan!.
Oleh
karena itu para ulama’ ahli Ushul Fiqih, telah menjabarkan dengan jelas
definisi dan syarat-syarat pengecualian (takhshish), dan saya rasa bapak Kyai
pernah mempelajari, membaca dan bahkan mengetahuinya dengan baik.
Kemudian
pada hal: 50, bapak Kyai berkata: “Kecuali yang dilakukan oleh Khulafa’ Al
Rasyidin. Hal ini berdasarkan hadis Nabi shollallahu’alaihiwasallam:
Artinya:
“Maka wajib bagimu memegang sunnahku dan sunnah
Khulafa’ Al Rasyidin yang diberi hidayah”. ( H.R Abu Dawud)”.
Yang
menjadi kritikan saya:
Betapa
bapak Kyai benar-benar telah melupakan definisi bid’ah, sehingga segala hal
yang dilakukan oleh sahabat Nabi shollallahu’alaihiwasallam, bahkan oleh Al
Khulafa’ Al Rasyidin pun tak luput dari vonis bid’ah. Bahkan yang lebih
mengherankan lagi, beliau berdalilkan dengan hadits ini, yang padanya Nabi
shollallahu’alaihiwasallam jelas-jelas telah menyatakan bahwa ijtihad Al
Khulafa’ Al Rasyidin adalah sunnah,
dan bukan bid’ah. Akan tetapi kerancuan
pemahaman bapak Kyai-lah yang menjadikannya memvonis bid’ah
amalan mereka.
Mungkin
ada yang berkata: bukankah bapak Kyai Dimyathi, walaupun memvonis bid’ah amalan
mereka, beliau mengkatagorikannya ke dalam bid’ah hasanah?
Saya
katakan: Benar, akan tetapi vonis ini nyata-nyata bertentangan dengan sabda
Nabi shollallahu’alaihiwasallam, dan juga bertentangan dengan definisi bid’ah,
sehingga tidak dapat diterima.
Pendek
kata: hadits Anas bin Malik ini tidak bertentangan dengan hadits “setiap bid’ah ialah sesat”,
sehingga tidak perlu dikecualikan dari keumumannya. Sehingga saya katakan:
bahwa pembukuan Al Qur’an yang dilakukan oleh Kholifah Abu Bakar
rodhiallahu’anhu, kemudian oleh Khalifah Utsman bin Affan rodhiallahu’anhu,
azan ke dua pada hari jum’at, shalat tarawih berturut-turut selama sebulan
penuh ialah sunnah, bukan bid’ah.
Kemudian
pada halaman yang sama, yaitu hal: 50, beliau mengatakan: “Kecuali bid’ah hasil ijtihad
imam-imam mujtahid. Hal ini berdasarkan hadits berikut:
Artinya:
“Dari Mu’adz bin Jabal, bahwasanya Rasulullah
shollallahu’alaihiwasallam ketika mengutusnya ke Yaman, bertanya kepadanya:
Bagaimana caranya kamu memutuskan perkara yang diajukan terhadapmu? Mu’adz
menjawab: Saya akan memutuskannya sesuai dengan yang tertera dalam Kitabullah
(al Qur’an). Rasulullah bertanya lagi: Kalau kamu tidak menemukannya dalam
kitabullah? ….dst”. (HR. Imam Abu Dawud dan Imam Tirmidzi).
Bahkan
dalam hadits riwayat Imam Tirmidzi dari Abu Hurairah rodhiallahu’anhu
Rasulullah telah bersabda:
Artinya:
“Apabila seorang ahli hukum memutuskan hukum dengan
hasil ijtihadnya, dan ternyata tepat ijtihadnya itu, maka baginya dua pahala.
Dan apabila memutuskan hukum (dengan hasil ijtihadnya) ternyata keliru, maka
baginya mendapat satu pahala”. (HR. Imam Tirmizi).
Yang
menjadi koreksi saya dari penggalan perkataan bapak Kyai ini ialah sebagai
berikut:
A.
Al
Hafidz Ibnu hajar Al ‘Asqalani telah menjelaskan kedudukan hadits pertama
menurut pandangan ulama’ ahli hadits, beliau berkata: Imam At Tirmizi berkata:
“Hadits ini tidaklah kami ketahui melainkan dari jalur para perawi ini, dan sanadnya (rentetan
perawinya) tidak berkesinambungan”. Imam Al Bukhori berkata dalam kitabnya At
Tarikh: “Al Harits bin Amr (salah seorang perowi yang meriwayatkan hadits ini)
dari murid-murid Mu’adz, dan darinya (Al Harits bin Amr)-lah Abu ‘Aun
meriwayatkan, ialah hadits yang tidak shahih, dan tidak diketahui melainkan
dengan sanad ini”. Ad Daraquthni berkata dalam kitabnya Al ‘Ilal: “Hadits ini
diriwayatkan oleh Syu’bah, dari Abu ‘Aun, demikian ini. Dan diriwayatkan oleh
Ibnu Mahdi dan banyak orang lagi, darinya (Abu ‘Aun) juga dengan cara mursal
(tanpa menyebutkan perawi yang meriwayatkan dari sahabat Mu’adz), dan riwayat
yang mursal lebih benar”. …….Ibnu Hazem berkata: “Hadits ini tidak shahih,
karena Al Harits (bin Amer) tidak dikenal, dan guru-gurunya juga tidak dikenal.
Sebagian orang beranggapan bahwa hadits ini mutawatir
(hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi) dan ini adalah kedustaan, bahkan
hadits ini lawannya dari hadits mutawatir (yaitu hadits ahad), karena ia tidak
ada yang meriwayatkannya melainkan Abu ‘Aun dari Al Harits, maka mana mungkin
hadits ini dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir?!”. Abdul Haq (Al Isybili)
berkata: “Hadits ini tidak diriwayatkan dengan sanad yang berkesinambungan, dan
tidak didapatkan dengan sanad yang shahih”. Ibnul Jauzi berkata dalam kitabnya Al ‘Ilal Al Mutanahiyah“”
Hadits ini tidak shahih, walaupun para ahli fiqih mencantumkannya dalam
karya-karya mereka dan menjadikannya sebagai dalil, dan kandungannya adalah
benar”. [Talkhish Al Habir Fi Takhrij Ahadits Al Rafi’i Al Kabir, Oleh Ibnu
Hajar Al ‘Asqalani 4/182, hadits no: 2075].
Bila
telah jelas bahwa hadits ini lemah,
maka tidak dapat dijadikan dalil untuk mengecualikan sebagian kandungan hadits
“setiap bid’ah itu sesat”.
B.
Bila
kita cermati lebih mendalam, ternyata kita dapatkan tidak ada sedikitpun dalam
hadits ini yang menunjukkan bahwa kesalahan ijtihad ulama’ tidak dapat divonis
bid’ah. Oleh sebab itu, saya merasa heran dari bagian hadits yang mana, bapak
Kyai Dimtyathi pada hal: 52 berkesimpulan: “hasil-hasil ijtihad para imam
mujtahid itu tidak boleh dikatakan sebagai bid’ah dhalalah, sekalipun
hasil-hasil ijtihad mereka itu belum dikenal pada masa Nabi
shollallahu’alaihiwasallam”.
C.
Kesimpulan
ini bertentangan dengan kisah berikut:
Artinya:
“Hazil bin Syarahbil berkata: Abu Musa (Al ‘Asy’ari
rodhiallahu’anhu) ditanya tentang (pembagian warisan seseorang yang mati
meninggalkan) seorang anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki
(ibnatu ibn) dan saudara wanita, maka ia menjawab: Anak perempuan mendapatkan
separuh (1/2) dari harta warisan, dan saudara perempuan mendapatkan separuh
pula (sedangkan cucu perempuan tidak mendapat kan apa-apa), dan silahkan engkau
mendatangi Ibnu Mas’ud, niscaya ia akan mengikuti pendapatku. Maka Ibnu Mas’ud
ditanya, dan dikabari tentang pendapat Abu Musa (Al ‘Asy’ari) maka ia menjawab:
Bila demikian, sungguh aku telah tersesat dan aku tidak
termasuk orang yang mendapat petunjuk, aku akan putuskan
permasalahan ini sesuai dengan keputusan Nabi shollallahu’alaihiwasallam: Anak
perempuan mendapat separuh (1/2), dan cucu perempuan mendapat seperenam (1/6)
sebagai penggenap bagian dua pertiga (2/3), dan sisanya untuk saudara
perempuan. Kemudian kami mendatangi Abu Musa, dan kami kabarkan kepadanya
pendapat Ibnu Mas’ud, maka ia berkata: Jangan lagi kalian bertanya kepadaku,
selama orang ini (Ibnu Mas’ud) masih hidup”. [Riwayat Bukhori, 6/2477, hadits
no: 6355].
Sahabat
Ibnu Mas’ud rodhiallahu’anhu telah memvonis bahwa bila ia mengikuti pendapat
Abu Musa Al ‘Asy’ari rodhiallahu’anhu, ia telah tersesat dan tidak mendapat
petunjuk, karena pendapat Abu Musa ternyata berseberangan dengan keputusan Nabi
shollallahu’alaihiwasallam.
Bukankah
sahabat Ibnu Mas’ud telah menyebut bahwa pendapat Abu Musa dengan sebutan
dhalal (sesat), sehingga ucapan beliau ini bertentangan dengan kesimpulan bapak
Kyai Dimyathi.
D.
Kesimpulan
bapak Kyai Dimyathi ini juga bertentangan dengan keterangan banyak ulama’, yang
jelas-jelas berwasiat agar kita meninggalkan pendapatnya yang bertentangan
dengan hadits-hadits Nabi shollallahu’alaihiwasallam, sebagaimana yang bapak
Kyai nukilkan sebagiannya pada hal: 16-22.
E.
Bila
kita menuruti kesimpulan bapak Kyai ini, terlebih-lebih ucapannya pada hal: 52,
yang bunyinya: “Berijtihad bagi imam mujtahid sudah diberi izin oleh Nabi
shollallahu’alaihiwasallam. Karena itu, hasil-hasil ijtihadnya harus diterima
dan tidak boleh dikatakan sebagai bid’ah dhalalah, kalaupun dikatakan bid’ah,
itu namanya bid’ah hasanah”. Niscaya kita akan keluar dari agama Islam atau
dengan kata lain akan meninggalkan seluruh ajaran agama Islam. Yang demikian
ini karena tidaklah ada seorang ulama’pun, melainkan ia memiliki beberapa
pendapat yang menyelisihi dalil.
Ibnu
Taimiyyah berkata: “Dan banyak dari para mujtahidin zaman dahulu dan sekarang
mengatakan atau melakukan suatu bid’ah, sedangkan mereka tidak menyadari bahwa
itu adalah bid’ah, karena ia mengamalkan hadits-hadits lemah yang mereka anggap
shahih, atau ayat-ayat yang mereka pahami lain dari maknanya, atau karena
mereka berpendapat tertentu, padahal dalam masalah itu ada dalil-dalil yang
belum ia ketahui”. [Majmu’ Fatawa oleh Ibnu Taimiyyah 19/191].
Sebagai
contoh:
Sahabat
Umar bin Al Khatthab rodhiallahu’anhu tatkala mendengar berita wafatnya Nabi
shollallahu’alaihiwasallam, beliau tidak percaya, dan mengatakan: “Sesungguhnya
Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam belum wafat, akan tetapi Allah
memanggilnya sebagaimana Dia telah memanggil Nabi Musa, kemudian ia
meninggalkan kaumnya selama empat puluh hari. Dan sungguh demi Allah, aku
berharap agar Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam hidup kembali dan memotong
kaki dan lisan orang-orang munafiq yang menyangka bahwa Rasulullah
shollallahu’alaihiwasallam telah meninggal”. [Riwayat Abdurrazzaq Al Shan’ani
dalam kitab: Al Mushannaf 5/433].
Sahabat
Ibnu Abbas rodhiallahu’anhu pernah berfatwa membolehkan nikah mut’ah, dan
kemudian ia menarik kembali fatwa tersebut, setelah terbukti baginya dengan
hadits-hadits yang shahih, bahwa nikah mut’ah telah dihapuskan. [Lihat Kitab Al
Mughni oleh Ibnu Qudamah 10/48].
Sahabat
Abu Dzar Al Ghifari rodhiallahu’anhu berpendapat bahwa setiap muslim harus
mensedekahkan seluruh hartanya yang berlebih dari kebutuhannya, dan tidak boleh
menabungnya. Bila ia tetap menabungnya, maka harta ini dianggap sebagai harta
timbunan, dan niscaya ia akan di azab dengannya pada hari qiyamat, sebagaimana
disebutkan dalam ayat 35 surat
Al Baqarah. Tentu ini pendapat yang menyelisihi kebenaran, bahkan ditentang
oleh sahabat-sahabat yang lain. [Lihat Tafsir At Thobary 10/121 dst].
Al
Mujahid pernah menafsirkan ayat:
Artinya:
“Agar Tuhan-mu mengangkatmu ke tempat yang terpuji”.
(QS Al Isra’ 79).
Bahwa
yang dimaksud dengan tempat terpuji adalah: Nabi akan didudukkan disebelah
Allah Ta’ala di atas Arsy-Nya. [Lihat Tafsir At Thobary 15/145, dan At Tamhid
oleh Ibnu Abdil Bar 7/157-158]. Tentu ini adalah pendapat yang menyesilihi
hadits Nabi shollallahu’alaihiwasallam, karena yang dimaksud dengan Al Maqam Al Mahmud ialah
syafa’at Nabi shollallahu’alaihiwasallam kepada seluruh umat di padang mahsyar.
[Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhori dalam kitab Shahihnya, 4/1748,
hadits no: 4441].
Imam
Abu Hanifah –rahimahullah- menganut pendapat murji’ah.
Imam
Malik bin Anas –rahimahullah- berfatwa bahwa dua penjual dan pembeli bila telah
mengadakan transaksi jual beli, maka keduanya tidak ada hak untuk membatalkan
transaksi, walau keduanya masih berada dalam satu majlis. Fatwa ini
bertentangan dengan hadits yang ia riwayatkan sendiri sebagaimana berikut:
“Imam
Malik meriwayatkan dari Nafi’ dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah
shollallahu’alaihiwasallam: Penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak
pilih (*) atas yang lainnya selama keduanya belum berpisah, kecuali transaksi
jual beli yang disyaratkan untuk ditentukan masa pemilihannya (bai’ul khiyar)”.
(Bukhori 2/743, hadits no: 2005, dan Muslim 3/1163, hadits no: 1531).
(*)
Yaitu wewenang untuk meneruskan/ mensahkan transaksi jual-beli itu atau
membatalkannya.
Tatkala
Imam As Syafi’i, mengetahui pendapat gurunya ini, beliau berkata: “Aku tidak
tahu, apakah Malik menuduh dirinya sendiri, atau Nafi’? Dan aku merasa segan
untuk mengatakan bahwa ia menuduh Ibnu Umar”. [Lihat Al Mughni oleh Ibnu
Qudamah Al Hambali 6/11].
Imam
Syafi’i adalah salah satu murid Imam Malik, akan tetapi hal ini tidak
menjadikannya menerima setiap hasil ijtihad gurunya, bahkan beliau menentang
keras pendapat gurunya ini, sehingga beliau mengucapkan perkataannya di atas.
Beda halnya dengan yang diajarkan oleh bapak Kyai Dimyathi dalam ucapannya: “Berijtihad bagi imam mujtahid sudah
diberi izin oleh Nabi shollallahu’alaihiwasallam. Karena itu, hasil-hasil
ijtihadnya harus
diterima dan tidak boleh dikatakan sebagai bid’ah dhalalah, kalaupun dikatakan bid’ah, itu
namanya bid’ah hasanah”.
Abdur
Razzaq As Shan’ani –rahimahullah- terpengaruh dengan pendapat syi’ah, dan masih
banyak lagi contoh-contoh serupa.
Bila
kita mengikuti setiap pendapat atau ijtihad ulama’, tanpa memper dulikan apakah
pendapat itu selaras dengan dalil atau tidak, niscaya kita akan tersesat.
Imam
Az Zahabi berkata: “Orang yang mencari-cari keringanan pada setiap mazhab, dan
kesalahan para ulama’ ijtihad, berarti agamanya telah menipis (hampir sirna),
sebagaimanan dikatakan oleh Al Auza’i atau lainnya: “Barang siapa mengikuti
pendapat ulama’ Mekkah dalam hal nikah mut’ah, pendapat ulama’ kota Kufah dalam
hal nabiiz
(Kurma atau lainnya yang direndam ke dalam air, kemudian didiamkan selama
beberapa hingga terfermentasi, dan bila diminum dalam jumlah banyak akan
memabukkan), pendapat ulama’ kota Madinah dalam hal lagu, dan pendapat ulama’
daerah Syam dalam hal ‘ishmah (terlindung dari kesalahan) para khalifah
(pendapat syi’ah), niscaya ia telah menyatukan seluruh kejelekan”. Demikian
orang yang dalam hal perdagangan dan transaksi riba mengikuti pendapat ulama’
yang membolehkan hiyal (rekayasa/ akal-akalan), dalam hal perceraian dan (*) nikah tahlil
mengikuti pendapat ulama’ yang membolehkannya, dan demikian seterusnya, maka ia
telah terancam keluar dari agama”.
(*)
Nikah tahlil ialah: bila wanita telah diceraikan oleh suaminya tiga kali, maka
suaminya itu tidak boleh ruju’ kembali, kecuali bila wanita itu telah menikah
dengan lelaki lain kemudian ia dicerai, dan telah berlalu masa ‘idahnya, maka
suami pertama itu boleh menikahi lagi wanita ini. Bila suami kedua itu
menikahinya hanya dengan tujuan agar wanita ini dapat dinikahi lagi oleh suami
pertamanya, maka nikah ini dinamakan dengan nikah tahlil, dan lelaki kedua ini
dijuluki domba sewaan.
Bahkan
mengikuti kesalahan ulama’ ialah salah satu sebab terjadinya bid’ah dan
perpecahan di tengah-tengah umat Islam. Agar fakta ini menjadi jelas, mari kita
simak penuturan sahabat Abdullah bin Abbas rodhiallahu’anhu, kepada sahabat
Umar bin Al Khatthab rodhiallahu’anhu:
“Pada
suatu hari Umar bin Al Khatthab rodhiallahu’anhu sedang merenung, kemudian ia
memanggil Ibnu Abbas dan bertanya kepadanya: Bagaimana umat ini dapat
berselisih, padahal nabinya satu, kitab sucinya satu dan qiblatnya juga satu?
Maka Ibnu Abbas menjawab: Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Al Qur’an
diturunkan kepada kita, kemudian kita membacanya, dan kita mengetahui berkenaan
dengan apa ayat-ayat Al Qur’an itu diturunkan. Dan sesungguhnya setelah zaman
kita nanti, akan ada orang-orang yang membaca Al Qur’an dan tidak mengetahui
berkenaan dengan apa ayat-ayat Al Qur’an itu diturunkan, sehingga masing-masing
kelompok akan memiliki penafsiran sendiri-sendiri tentangnya. Dan bila setiap
kelompok telah memiliki penafsiran sendiri-sendiri, niscaya mereka akan
berselisih. Dan bila mereka telah berselisih, niscaya mereka akan saling
berperang. Maka Umar menariknya dengan kuat dan memarahinya, lalu Ibnu Abbas
berpaling dan pergi. Kemudian selang beberapa saat, Umar memanggilnya lagi dan
ia telah memahami (menyetujui) jawabannya, kemudian ia berkata: Ulangilah
sekali lagi jawabanmu itu”. [Riwayat Sa’id bin manshur dalam kitabnya As Sunnan
1/176, no: 42].
Beliau
juga berkata:
“Umar
berkata kepada Ziyad: Apa engkau tahu apakah yang meruntuhkan agama Islam?
Yaitu kelalaian seorang ulama’, orang munafiq yang berdebat dengan Al Qur’an
dan para pemimpin yang menyesatkan”. (Sunan Ad Darimi 1/166).
Abdullah
bin Mubarak berkata:
“Apakah
ada orang yang merusak ajaran agama selain para raja, ulama’ dan ahl ibadah
yang jahat”. [Lihat Siyar A’alam An Nubala’ oleh Az Zahabi 12/213].
Oleh
karena itu setiap ulama’ senantiasa berwasiat kepada para pengikutnya untuk
tidak mengikuti pendapatnya yang menyelisihi dalil. Walaupun kita meninggalkan
dan menentang kesalahan ijtihad itu, bukan berarti kita memusuhi atau mencela
mereka. Sikap kita kepada mereka ialah seperti yang dicontohkan oleh Ibnu Abdil
Bar Al Maliki setelah menyebutkan pendapat Mujahid di atas, ia berkata:
“Tidaklah
ada seorang ulama’pun kecualli pendapatnya bisa diterima dan bisa ditolak, kecuali
Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam. Dan Mujahid, walaupun dia adalah salah
seorang ulama’ yang diakui akan kepandaiannya dalam hal ilmu tafsir Al Qur’an,
akan tetapi ia memiliki dua pendapat yang ditinggalkan dan dijauhi oleh para
ulama’, salah satunya adalah ini”. [Lihat At Tamhid, oleh Ibnu Abdil Bar
7/157].
Mungkin
ada yang bertanya: Bukankah Nabi shollallahu’alaihiwasallam telah menjanjikan
satu pahala bagi seorang mujtahid (ulama’) yang ternyata ijtihadnya salah?
Maka
jawabannya: Benar beliau shollallahu’alaihiwasallam menjanjikan itu baginya,
akan tetapi Nabi shollallahu’alaihiwasallam tidak pernah menjanjikan pahala itu
bagi orang yeng mengikuti kesalahan itu, padahal ia tahu bahwa ijtihad itu
salah dan menyelisihi kebenaran. Dengan demikian seorang mujtahid tidak berdosa
karena ternyata terbukti dikemudian hari bahwa ijtihadnya itu salah, akan
tetapi yang berdoa ialah orang yang fanatis dengan ijtihad salah itu, dan tetap
mengamalkannya walau telah terbukti baginya kesalahannya. Inilah sebabnya
mengapa para ulama’ ahli ijtihad senantiasa berpesan kepada setiap orang agar
meninggalkan hasil ijtihadnya, bila dikemudian hari terbukti bahwa ijtihadnya
salah dan bertentangan dengan dalil.
F.
Adapun
hadits kedua, yaitu hadits:
Artinya:
“Apabila seorang ahli hukum menghakimi dengan hasil
ijtihadnya, dan ternyata benar ijtihadnya itu, maka baginya dua pahala. Dan
apabila ia menghakimi (dengan hasil ijtihadnya) dan ternyata salah, maka
baginya satu pahala” (HR. Imam Tirmizi)”, maka hadits ini
sebenarnya menghujat bapak Kyai sendiri, sebab dalam hadits ini Nabi
shollallahu’alaihiwasallam dengan jelas menyatakan: “ternyata salah”. Sehingga
sangat mengherankan bila bapak Kyai kemudian berdalil dengan hadits ini, dan
kemudian menyimpulkan bahwa setiap hasil ijtihad seorang ulama’ harus di
terima.
Saya
ingin bertanya: Apakah masuk diakal, kalau Nabi shollallahu’alaihiwasallam
memerintahkan ummatnya untuk mengikuti kesalahan seorang ulama’, padahal beliau
shollallahu’alaihiwasallam sendiri telah memvonisnya sebagai kesalahan??
Bukankah kesalahan itu lebih layak untuk dikatagorikan ke dalam kesesatan dari
pada kebaikan?
Bila
hal ini telah terang dan gamblang bagi kita semua, mari kita melangkah maju dan
mengoreksi perkataan bapak Kyai Dimyathi yang lainnya.
Pada
halaman: 52, beliau berkata: “Adapun yang mengatakan hadits :”Kullu bid’atin
dhalalah” itu sudah ditakhshish (dikecualikan), bukanlah sembarangan orang,
akan tetapi para pakar hadits kenamaan….dst”. Kemudian beliau menukilkan
perkataan Imam An Nawawi, Ibnu ‘Allan As Shiddiqi, dan Al Shan’ani:
Yang
ingin saya katakan di sini:
A.
Bahwa
ulama’ yang mengatakan bahwa setiap bid’ah ialah sesat, jauh lebih pakar dan
lebih alim dibanding ulama’ yang bapak sebutkan, diantaranya, sahabat Ibnu Umar
rodhiallahu’anhu, beliau berkata:
“Setiap bid’ah itu ialah sesat, walaupun orang-orang
menganggapnya baik”. (Riwayat Al Lalaka’i, dalam kitabnya: Syarah Ushul
I’itiqad Ahli As Sunnah 1/92).
“Sahabat Mu’adz bin Jabal berkata: Sungguh setelah
zaman kalian nanti, akan terjadi berbagai fitnah, harta benda akan melimpah, Al
Qur’an akan banyak dibaca orang, hingga dihafal oleh orang mukmin, orang
munafiq, laki, wanita, muda, tua, budak dan juga orang merdeka (non budak). Dan
sebentar lagi akan ada orang yang berkata: “Mengapa orang-orang (masyarakat)
enggan mengikutiku, padahal aku telah membaca Al Qur’an?! Sungguh mereka tidak
akan mengikutiku, hingga aku mencetuskan (mengadakan) untuk mereka hal baru
selain Al Qur’an. Jauhilah oleh kalian hal yang ia ada-adakan, karena yang ia
ada-adakan itu adalah dhalalah (kesesatan)”. (Riwayat Abu Dawud
4/202, no: 4611).
Ayyub
As Sukhtiyani berkata:
“Tidaklah
seorang pelaku bid’ah semakin rajin menjalankan bid’ahnya, melainkan ia akan
semakin jauh dari Allah”. (Riwayat Abu Nu’aim Al Asbahani dalam kitabnya Hilyatul
Auliya’ 3/9).
Mu’adz
bin Jabal ataupun Ayyub tidak membedakan antara bid’ah hasanah dengan bid’ah
dhalalah, semuanya dikecam dan dikatakan sesat dan menjauhkan pelakunya dari
Allah.
Imam
Malik bin Anas menjelaskan, alasan mengapa setiap bid’ah itu adalah sesat,
beliau berkata:
“Barang
siapa pada zaman sekarang mengada-adakan pada ummat ini sesuatu yang tidak
diajarkan oleh pendahulunya (Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan sahabatnya),
berarti ia telah beranggapan bahwa Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam telah
mengkhianati kerasulannya, karena Allah Ta’ala berfirman: “Diharamkan bagimu
bangkai, darah ………pada
hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam menjadi agamamu. Maka barang siapa
yang terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha penyayang” (Al Maidah: 3) sehingga segala
yang tidak menjadi ajaran agama kala itu (zaman Nabi shollallahu’alaihiwasallam
dan sahabatnya) maka hari ini juga tidak akan menjadi ajaran agama”. (Riwayat
Ibnu Hazem dalam kitabnya Al Ihkam 6/225).
Inilah
hakikat bid’ah. Pada hakikatnya bid’ah adalah sanggahan terhadap kesempurnaan
agama Islam yang telah ditetapkan Allah pada surat Al Maidah ayat 3, dan merupakan tuduhan
terhadap Nabi shollallahu’alaihiwasallam yang mendapatkan amanat menyampaikan
risalah ini telah berkhianat. Seorang yang melakukan bid’ah Seakan-akan ia
berkata: Bahwa agama Islam ini belum sempurna, sehingga perlu ditambahkan
amalan saya ini, atau Nabi shollallahu’alaihiwasallam telah berkhianat,
sehingga amalan baik yang saya amalkan tidak beliau ajarkan kepada umatnya. Na’uuzubillah min zalika.
B.
Kembali
saya katakan bahwa bapak Kyai pada halaman ini agak terburu-buru, karena
seandainya bapak Kyai mencermati ucapan An Nawawi, dan yang lainnya, niscaya
bapak Kyai akan mendapatkan bahwa maksud mereka dengan ) “bersifat
umum dan sudah ditakhshish/ dikecualikan”, ialah bahwa bid’ah itu
ada yang bid’ah wajib, ada yang sunnah, dan ada yang mubah dst, sebagaimana
pembagian yang dilakukan oleh Izzuddin bin Abdissalam [Silahkan rujuk kembali
ucapan An Nawawi dalam kitabnya: Syarah Shahih Muslim 6/154-155, dan Ucapan Al
Shan’ani pada kitabnya: Subul Al Salam 2/49].
Bila
demikian keadaannya, maka ini menunjukkan bahwa yang mereka maksud ialah bid’ah
ditinjau dari sisi bahasa, bukan secara pengertian syari’at. Karena bila yang
dimaksudkan dengan kata bid’ah di sini adalah pengertian secara syari’at, maka
akan terjadi pertentangan, sebagaimana yang telah saya jelaskan, tatkala saya
membahas perkataan Izzuddin bin Abd Al Salaam, orang pertama yang yang dikenal
membagi bid’ah menjadi lima bagian, wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
Sebelum
saudara-saudaraku membaca uraian yang panjang lebar ini, kami ingin bertanya, “sudahkah ikhwah membaca dengan
cermat 3 edisi sebelumnya?”, “apakah
ikhwah sudah memahaminya?”. Jika ikhwah belum membaca 3 edisi
sebelumnya, maka kami sarankan untuk membacanya terlebih dahulu dan menunda
membaca tulisan ini sebelum memahami 3 tulisan tersebut.
Dalam
menjelaskan bantahan-bantahan ilmiahnya, ustadz seringkali menerapkan kaidah
bahasa arab dan ushul fiqh, dan ini tentu saja agak membingungkan bagi
saudaraku yang belum pernah mempelajarinya. Akan tetapi, dari sinilah dapat
diambil pelajaran, bahwa selama ini kita termakan dan hanyut di dalam berbagai
syubhat, dikarenakan bodohnya diri kita terhadap ilmu agama dan jauhnya diri
kita dari pemahaman yang benar.
Semoga
dengan tulisan ini, saudara-saudaraku terpacu semangatnya untuk menuntut ilmu agama
secara ilmiah dengan metode dan pemahaman yang benar, yaitu pemahaman para
sahabat rodiallahu’anhum sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah
shollallahu’alaihiwasallam.
[*] Baru-baru ini telah terbit buku
berjudul “Syaikh
Al-Albani Dihujat”, buah pena ustadz Abu Ubaidah -hafidhohullah- dengan
muroja’ah oleh ust. Abdur Rahman At-Tamimi, ust. Aunur Rofiq, ust. Abdul Hakim
Abdat, dan ust Mubarok Ba Mu’allim -hafidhohumullah-.
Buku tersebut merupakan buku bantahan terhadap buku “Hadis-hadis Palsu Seputar Ramadhan”,
karya Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub MA. yang dengan kejinya menghujat dan
membodoh-bodohi Syaikh Al-Albani -rohimahullah-.
Ajaibnya, sang penulis (Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub MA) juga merupakan salah
seorang anggota dewan Majlis Az-Zikra milik Arifin Ilham (sama seperti Kyai
Dimyathi Badruzzaman yang bukunya sedang dibantah ini). Sungguh tepat ungkapan
Syaikh Al-Albani yang dikutip oleh Ustadz Abu Ubaidah pada kata pengantar
bukunya: “burung-burung
itu biasanya berkumpul dengan sesama jenisnya”. [Tahrim Alat Tharb
hal. 32]. Bagi saudara-saudaraku yang terlanjur membaca buku Prof. KH. Ali
Mustafa Yaqub MA. tersebut, sebaiknya juga membaca buku “Syaikh Al-Albani Dihujat”
yang merupakan buku bantahan terhadap buku tersebut, agar saudaraku dapat
mengambil faidah dan mengetahui realita yang sesungguhnya. Hanya kepada Allah
lah kita meminta pertolongan…
ZIKIR BERJAMA’AH
A. Ayat-ayat al qur’an yang dianggap mensyariatkan
zikir berjamaah.
Pada
sub pembahasan ini, bapak Kyai menyebutkan tiga ayat Al Qur’an yang beliau
klaim bahwa ketiga ayat ini mengisyaratkan kepada disyari’atkannya zikir
berjama’ah, ayat-ayat itu ialah:
1. Ayat pertama:
“Wahai orang-orang yang beriman, berzikirlah kalian
(dengan menyebut nama) Allah zikir yang banyak”. (Al Ahzab: 41).
Kemudian
bapak Kyai berkata: “Ayat-ayat yang senada dengan ini dapat dibaca dalam Al
Qur’an surah Al Baqarah, ayat: 152, dan ayat 200″.
Ayat
152 surah Al Baqarah ialah sebagai berikut:
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat
(pula) kepadamu, dan janganlah kamu mengingkari (ni’mat)-Ku”.
Adapun
ayat 200, surah Al Baqarah, ialah sebagai berikut:
“Apabila kamu telah selesai menunaikan ibadah haji
kalian, maka berzikirlah (menyebu namat) Allah, sebagaimana kalian
menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyang kalian, atau (bahkan)
berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka diantara manusia ada yang berdo’a:
Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia, dan tiadalah baginya bagian (yang
menyenangkan) di akhirat”.
2. Ayat kedua yang beliau cantumkan dalam bukunya:
“(yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah …”. (Ali Imran: 191).
3. Ayat ketiga yang beliau sebutkan ialah:
“Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama)
Allah ….”. (Al Ahzab: 35).
Setelah
menyebutkan ketiga ayat ini, beliau (kyai Dimyathi -ed) berkata: “Pada
firman-firman Allah subhanahu wa ta’ala di atas, yakni Q.S. Al Ahzab ayat 41: Udzkurullah, Q.S. Ali
Imran ayat 191: Yadzkurunallah,
dan Q.S. Al Ahzab ayat 35: Adz
Dzaakiriinallah dan Adz
Dzaakiraat, ditilik dari sisi bahasa Arab, semua itu menggunakan dhamir jama’/plural (antum, hum, dan
hunna) bukan dhamir mufrad/singular (anta, huwa, dan hiya). Hal
ini jelas mengisyaratkan bolehnya dan dianjurkannya zikir secara berjama’ah”.
Demikianlah
kesimpulan dan pemahaman yang beliau utarakan.
Pada
kesempatan ini saya ingin bertanya kepada bapak Kyai: Ulama’ siapa dan ulama’ mana yang
memiliki pemahaman seperti pemahaman bapak ini? Dan kitab tafsir apa yang bapak
jadikan rujukan, sehingga bapak berkesimpulan demikian ini??!! Ini adalah pemahaman orang yang baru
belajar bahasa arab. Untuk membuktikan kekeliruan ini, mari
kita simak ayat-ayat yang menggunakan metode serupa dengan ketiga ayat ini:
1. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim, (bilamana kalian mengawininya) maka
kawinilah oleh kalian wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
oleh kalian seorang wanita
saja, atau budak-budak yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya”. (An Nisa’: 3).
Pada
ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menggunakan dhamir jama’/plural sebagaimana
yang ada pada ketiga ayat di atas. Yang menjadi pertanyaan saya: Apakah bapak masih bersikukuh bahwa
setiap ayat yang menggunakan dhamir jama’/plural berarti ada isyarat untuk
melakukannya secara berjama’ah?? Bila memang demikian, apakah pada ayat ini juga
disyari’atkan untuk menikah berjama’ah? Apalagi pada akhir ayat
Allah berfirman: “nikahilah
oleh kalian seorang wanita saja”. Bila bapak katakan: ya, berarti bapak
-na’uzubillah- akan memfatwakan bolehnya kumpul kebo, satu wanita dinikahi oleh
seratus orang. Inilah kelaziman pemahaman bapak, dan inilah penerapan ilmu
ushul fiqih bapak.
2. Pada ayat lain Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak
mengerjakan sholat, maka basuhlah muka dan tangan kalian sampai dengan siku,
dan sapulah kepala kalian dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata
kaki, dan jika kalian junub maka mandilah. Dan jika kalian sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan,
lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik
(bersih); sapulah muka dan tangan kalian dengan tanah itu. (Al Maidah: 6).
Saya
ingin bertanya lagi: apakah
ayat ini yang menggunakan dhamir jama’/plural mengisyaratkan untuk berwudhu
dengan berjama’ah? Dan apakah ayat ini juga mengisyaratkan tentang
disyariatkannya bertayamum rame-rame (berjama’ah), bagi yang sakit dan safar,
hanya karena ayatnya menggunakan dhamir jama’? Dan apakah ayat ini juga mengisyaratkan tentang
disyariatkannya mandi janabah masal, misalnya dipemandian umum, atau kolam
renang umum, karena ayatnya menggunakan dhamir jama’?
3. Dalam ayat lain Allah berfirman:
“Istri-istri kalian adalah (seperti) ladang (tanah bercocok
tanam) kalian, maka datangilah ladang kalian itu dari sisi manapun kalian
suka”. (Al Baqarah: 223)
Saya
ingin bertanya lagi: ayat yang menggunakan dhamir jama’/plural ini, juga
mengisyaratkan untuk menjalankan amalan yang disebutkan dalamnya dengan cara
berjama’ah (masal), sehingga
dengan tidak langsung bapak menganjurkan para suami untuk menggauli
istri-istrinya secara masal (satu ruang untuk beratus-ratus pasangan)?!
Kalau demikian halnya, apa
bedanya antara manusia dengan binatang?!
Kalau
demikian ini pemahaman yang bapak Kyai anut, maka betapa jauhnya kekeliruan
yang ada pada pemahaman bapak. Dan bila bapak tidak mengatakan demikian,
berarti bapak telah meruntuhkan kaidah yang bapak bangun sendiri.
Bahkan
pada ayat 191 surat
Ali Imran Allah berfirman:
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan
ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.
(Ali Imran: 191).
Saya
ingin bertanya kepada bapak Kyai: Apakah
ayat ini juga mengisyaratkan bahwa dianjurkan untuk berzikir berjama’ah sambil
tiduran/berbaring?
Bila
ada yang bertanya: Lalu bagaimana maksud dan pemahaman (pemahaman yang benar
-ed) ketiga ayat yang disebutkan oleh bapak Kyai Dimyathi Badruzzaman di atas?
Sebelum
saya menjawab pertanyaan ini, saya harap para pembaca kembali membuka
terjemahan Al Qur’an, dan membaca arti ketiga ayat di atas dengan seksama.
Setelah
para pembaca membaca dengan seksama arti ketiga ayat yang disebutkan oleh bapak
Kyai Dimyathi, saya akan memulai mengajak pembaca untuk sedikit berkonsentrasi,
karena yang akan saya sebutkan berikut ini adalah beberapa kaidah penting dalam
ilmu ushul al fiqih.
1. Para ulama’ ahli ilmu
ushul al fiqih mengatakan bahwa untuk mengungkapkan suatu makna yang bersifat
umum, dikenal apa yang diistilahkan oleh mereka dengan sebutan: shiyagh al ‘umum “lafadz-lafadz yang menunjukkan akan makna
yang bersifat umum”. Diantara shiyagh al umum ialah kata sambung , yang hanya digunakan bila subyek jama’
/plural. Dan diantara shiyagh al ‘umum ialah kata-kata jama’, semacam “laki-laki
yang berzikir” dan “wanita-wanita
yang berzikir”.
Fungsi shiyagh al umum ialah
untuk menunjukkan keumuman, sehingga kata itu mencakup seluruh
orang yang memiliki kriteria seperti yang disebut dalam ungkapan itu. Misalnya,
ayat 41 dari surat
Al Ahzab di atas, fungsi penggunaan shiyagh al ‘umum, yaitu , ialah agar mencakup setiap orang yang
memiliki kriteria yang disebutkan dalam ayat ini, yaitu kriteria keimanan.
Dengan demikian perintah berzikir yang disebutkan dalam ayat ini tertuju kepada
seluruh orang yang beriman. Dan ayat 35 dari surat Al Ahzab, yang menggunakan ialah agar janji Allah subhanahu wa ta’ala
berupa ampunan dan pahala yang besar didapat oleh seluruh orang yang banyak
berzikir, baik lelaki atau perempuan. Inilah fungsi penggunaan shiyagh al’ umum
bukan seperti yang disangka oleh bapak Kyai Dimyathi. [Agar lebih jelas,
silahkan membaca kitab-kitab ushul al fiqih apa saja, pasti anda akan
mendapatkan pembahasan dengan tema: Al ‘Umum. Sebagai misal: Al Mustasyfa oleh
Al Ghozali 3/212-dst, Raudhat An Nadlir, oleh Ibnu Qudamah 2/103-dst, Irsyad Al
Fuhul, oleh As Syaukani 1/415-dst].
2. Perintah-perintah
dalam Al Qur’an dan As Sunnah, ada yang telah diperinci dan disebutkan
batasan-batasannya dengan jelas, dan ada yang tidak diperinci. Perintah jenis
pertama disebut dengan Al
Muqayyad, dan jenis kedua disebut dengan Al Muthlaq. Sebagai
contoh jenis pertama yaitu Al Muqayyad ialah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Dan tidaklah layak bagi seorang
mukmin untuk membunuh seorang mukmin (yang lain) kecuali karena salah (dengan
tidak sengaja). Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan tidak
sengaja, maka ia harus memerdekakan seorang budak yang beriman (seorang budak
mukmin), dan membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (orang yang
terbunuh)”. (An Nisa’: 92).
Pada ayat ini hukuman orang yang membunuh
seorang mukmin dengan tidak sengaja, ialah memerdekakan seorang budak mukmin
dan membayat diat (denda). Kata “seorang budak yang beriman” disebut
muqayyad, karena budaknya telah disebutkan kriterianya dengan
terperinci dan jelas, yaitu budak yang beriman. Dengan demikian bila
ada seorang yang membunuh orang muslim lain tanpa disengaja, kemudian ia
memerdekakan seorang budak nasrani, maka tidak sah, dan belum gugur
kewajibannya.
Sebagai contoh jenis kedua yaitu Al
Muthlaq ialah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan
siku, …… (Al Maidah: 6).
Pada ayat ini Allah memerintahkan kita
bila kita hendak mendirikan shalat agar berwudlu, dan Allah tidak menyebutkan
perincian lebih lanjut tentang shalat yang kita diperintahkan untuk berwudlu
karenanya, sehingga kata “Shalat” disebut Muthlaq.
Setelah pembagian ini jelas bagi kita,
saya akan nukilkan ucapan As Syaukani yang menjelaskan sikap kita dalam
menghadapi kedua jenis perintah ini:
“Ketahuilah bahwa Al Khithab
(dalil-dalil) bila datang dalam bentuk muthlaq dan tidak ada yang membatasinya
(merincinya), maka lazim untuk diamalkan sesuai dengan apa adanya (yaitu dalam
keadaan muthlaq), dan bila datang dalam keadaan telah diberikan batasan-batasan
(muqayyad) , maka lazim untuk diamalkan sesuai dengan batasan-batasan itu …”.
[Irsyad Al Fuhul, oleh As Syaukani 2/4].
Berdasarkan
kedua kaidah dalam ilmu ushul fiqih ini, kita dapat memahami bahwa ketiga ayat
di atas, bila dipandang dari sisi orang yang ditujukan kepadanya perintah untuk
berzikir, maka kita katakan bahwa ketiga ayat itu bersifat umum, karena
menggunakan dhamir jama’/plural sehingga mencakup seluruh orang mukmin, tanpa
terkecuali, terlepas dari apakah mereka melakukannya dengan sendirian atau
tidak.
Dan
bila kita kita tinjau dari sisi amalan yang mereka diperintah dengannya yaitu
zikir, ketiga ayat itu dikatakan ayat-ayat yang muthlaq, karena Allah subhanahu
wa ta’ala pada ketiga ayat di atas tidak memberikan batasan-batasan tertentu,
baik batasan yang berkaitan dengan bentuk zikirnya, juga yang berhubungan
dengan metode, dan waktu pelaksanaannya.
Pemahaman
ini akan menjadi jelas bila kita membaca ayat 41, kemudian dilanjutkan dengan
membaca ayat 42 surat
Al Ahzab:
“Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (menyebutlah
nama) Allah, dengan zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya
di waktu pagi dan petang. (Al Ahzab: 41-42).
Ayat
ke-42 ini mengisyaratkan bahwa berzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala dapat
dilakukan kapan saja, tanpa dibatasi dengan waktu tertentu.
Dan
bila kita membaca ayat 191 surah Ali Imran, yaitu:
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari
siksa neraka”. (Ali Imran: 191).
Ayat
ini dengan jelas menyebutkan bahwa berzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala
dapat dilakukan dalam segala situasi dan kondisi, baik disaat berdiri, atau
duduk, atau berbaring.
Bahkan
ayat 35 surat
Al Ahzab secara khusus, Nabi shollallahu’alaihiwasallam telah memberikan contoh
orang-orang yang disebut “banyak berzikir kepada Allah Ta’ala”:
“Dari Abi Sa’id dan Abi Hurairah -radhiallahu ‘anhuma-
bahwa Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Bila seorang suami
membangunkan istrinya pada malam hari, kemudian keduanya shalat dua raka’at,
niscaya keduanya dicatat termasuk laki-laki dan wanita yang banyak berzikir
kepada Allah”. (Riwayat Abu Dawud, 2/33, hadits no: 1309, Ibnu Majah 1/423,
hadits no:1335, dan Al Hakim 2/452, hadits no: 3561).
Dimanakah
zikir jama’ah seperti yang bapak Kyai pahami dalam hadits ini? yang ada
hanyalah sepasang suami istri yang mendirikan shalat malam dua raka’at.
Pendek
kata, tidak ada sedikitpun dalam ketiga ayat yang disebutkan oleh bapak Kyai
yang menunjukkan disyariatkannya zikir dengan berjama’ah. Dan menurut hemat
saya, yang menyebabkan bapak Kyai terjatuh kedalam kesalahan fatal ini ialah,
karena al ‘ujmah
(kelemahan dalam penguasaan bahasa arab), sebagaimana yang dinyatakan oleh Abu
‘Amr bin Al ‘Ala’
kepada salah seorang tokoh mu’tazilah (yaitu kelompok yang mengingkari taqdir)
yang bernama ‘Amer bin ‘Ubaid:
“Karena
Al “ujmah
(kelemahan dalam penguasaan bahasa arab) yang ada pada dirimulah yang
menjadikanmu terjatuh dalam kesalahan”. [Mizan Al I’itidal Fi Naqd Al Rijal,
oleh Az Zahabi, 5/333, dan Tahzib At Tahzib, oleh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani
8/63].
Tatkala
Al Hasan Al Bashri disebutkan kepadanya beberapa kesalahan sebagian Ahlil Ahwa’ Wal Bid’ah, ia
berkata:
“Sesungguhnya
mereka tersesat akibat ‘ujmah
yang ada pada mereka”. [As Sunnah oleh Muhammad bin Naser Al Marwazi As Syafi’i
hal: 8, dan Tahzib At Tahzib, oleh Ibnu Hajar Al Asqalani 3/371].
As
Syathibi berkata:
“Diantara (sebab-sebab tersesatnya ahlul bid’ah) ialah
mereka selalu berusaha mereka-reka maksud Al Qur’an dan As Sunnah yang keduanya
menggunakan bahasa arab, sedangkan mereka tidak menguasai ilmu bahasa arab,
yang dengannyalah maksud Allah dan Rasul-Nya dapat dipahami. Sehingga mereka
menyeleweng dari syari’at dengan pemahaman dan keyakinan mereka itu,
sebagaimana mereka juga menyelisihi ulama’-ulama’ yang telah mendalam ilmunya.
Dan yang menjadikan mereka terjerumus kedalam ini semua, karena mereka terlalu
percaya dengan dirinya sendiri, dan menganggap bahwa mereka telah memiliki
kemampuan untuk berijtihad dan menyimpulkan hukum”. [Al
I’ithisham, oleh As Syathibi 1/172].
B. Hadits-hadits Nabi shollallahu’alaihiwasallam yang
diduga mensyari’atkan zikir berjama’ah.
Pada
pembahasan ini, bapak kyai menyebutkan sepuluh hadits yang berkaitan dengan
keutamaan majlis-majlis zikir, diantara hadits yang beliau sebutkan:
“Dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al Khudri -radhiallahu
‘anhuma-, mereka berdua bersaksi bahwa Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam
bersabda: “Tidaklah suatu kaum duduk-duduk menyebut nama Allah Azza wa Jalla
(berzikir), melainkan mereka akan dikelilingi oleh para malaikat, dan dipenuhi
oleh kerahmatan, dan akan turun kepada mereka kedamaian, dan mereka akan
disebut-sebut oleh Allah dihadapan para malaikat yang ada di sisi-Nya”.
(Riwayat Imam Muslim 4/2074, hadits no: 2700).
Dan
hadits:
“Dari sahabat Abu Hurairah rodhiallahu’anhu, ia
berkata: Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: Aku
sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku senantiasa bersamanya bla
ia mengingat-Ku. Bila ia mengingat-Ku di dalam dirinya, niscaya Aku akan
mengingatnya dalam Diri-Ku, dan bila ia mengingat-Ku di perkumpulan orang
(majlis), maka Aku akan mengingatnya di perkumpulan yang lebih baik dari
mereka”. (Riwayat Bukhori 6/2694, hadits no: 2700, dan Muslim 4/2061, hadits
no: 6970).
Saya
sengaja hanya menyebutkan kedua hadits ini, karena keduanya adalah hadits yang
jelas-jelas hadits shahih, dan cukup mewakili hadits-hadits lain yang
disebutkan oleh bapak Kyai Dimyathi.
Untuk
mengetahui maksud dan makna hadits-hadits ini, mari kita simak bersama
keterangan para ulama’ tentang maksud dari kata majlis zikir :
“Abu Hazzan: Aku pernah mendengar Atha’ bin Abi Rabah
(salah seorang tabi’in) berkata: “Barang siapa yang duduk di majlis zikir, maka
Allah akan mengampuni dengannya sepuluh majlis kebathilan. Dan bila majlis
zikir itu ia lakukan disaat berjihad di jalan Allah, niscaya Allah akan
mengampuni denganya tujuh ratus (700) majlis kebathilan”. Abu Hazzan berkata:
Aku bertanya kepada Atha’: Apakah yang dimaksud dengan majlis Zikir? Ia
menjawab: yaitu majlis (yang membahas) halal dan haram, bagaimana engkau
menunaikan shalat, bagaimana engkau berpuasa, bagaimana engkau menikah,
bagaimana engkau menceraikan, bagaimana engkau menjual dan bagaimana engkau
membeli”. (Riwayat Abu Nu’aim , dalam kitabnya Hilyah Al Auliya’: 3/313).
Imam
An Nawawi As Syafi’i, berkata:
“Ketahuilah bahwa keutamaan/ pahala berzikir tidak
hanya terbatas pada bertasbih, bertahlil,bertahmid (membaca alhamadulillah),
bertakbir, dan yang serupa. Akan tetapi setiap orang yang mengamalkan ketaatan
kepada Allah Ta’ala, berarti ia telah berzikir kepada Allah Ta’ala, demikianlah
dikatakan oleh Sa’id bin Jubair dan ulama’ yang lainnya. Atha’ (bin Abi Rabah)
berkata: “Majlis-majlis zikir ialah majlis-majlis yang membicarakan halal dan
haram, bagaimana engkau membeli dan menjual, mendirikan shalat, berpuasa,
menikah, menceraikan, berhaji dan yang serupa dengan ini”. [ Al
Azkar, oleh Imam An Nawawi 9].
Pakar
hadits dan fiqih abad ke-9 H, yaitu Ibnu Hajar Al ‘Asqalani berkata:
[Fath
Al Bari, oleh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani 11/209, baca juga Subul Al Salam, oleh
Muhammad bin Ismail Al Shan’ani 4/390-dst, Tuhfah Al Ahwazi Bi Syarh Jami’ At
Tirmizi, oleh Al Mubarakfuri 9/222].
“Dan
yang dimaksud dengan zikir di sini ialah: mengucapkan bacaan-bacaan yang
dianjurkan untuk diucapkan dan diulang-ulang, misalnya bacaan yang disebut
dengan Al Baqiyaat As Shalihat, yaitu: Subhanallah, wa alhamdulillah, wa laa
ilaha illallah, wa Allahu Akbar, dan bacaan-bacaan lain yang serupa dengannya,
yaitu : Al hauqalah (laa haula walaa quwwata illa billah), Basmalah, hasbalah
(hasbunaallah wa ni’ima al wakil), dan istighfar, dan yang serupa, dan juga doa
memohon kebaikan di dunia dan akhirat. Kata Az Zikir kepada Allah bila disebut
juga dapat dimaksudkan: kita terus-menerus mengamalkan amalan-amalan yang
diwajibkan atau disunnahkan oleh Allah, seperti membaca Al Qur’an, membaca
hadits, mempelajari ilmu, dan menunaikan shalat sunnah. Kemudian zikir kadang
kala dapat dilakukan dengan lisan, dan orang yang mengucapkannya akan
mendapatkan pahala, dan tidak disyarat untuk selalu mengingat kandungannya,
tentunya dengan ketentuan selama ia tidak memaksudkan dengan bacaan itu selain
dari kandungannya.(*) Bila bacaan lisannya disertai dengan zikir dalam hatinya,
maka itu lebih sempurna, dan bila zikir ini disertai dengan penghayatan
terhadap kandungan bacaan itu, yang berupa pengagungan terhadap Allah, dan
mensucikan-Nya dari segala kekurangan, niscaya itu akan lebih sempurna. Bila
zikir semacam ini terjadi di saat ia mengamalkan amal shaleh yang diwajibkan,
seperti shalat fardhu, jihad dan lainnya, niscaya akan semakin sempurna. Dan
bila ia meluruskan tujuan dan ikhlas karena Allah, maka itu adalah puncak
kesempurnaan.
(*)
Misalnya: ketika ia membaca dzikir Subhanallah yang artinya “Maha Suci Allah”,
akan tetapi ia memaksudkan dari bacaan ini: ia memohon perlindungan agar
terhindar dari penyakit atau yang serupa.
Al
Fakhrurrazi berkata: Yang dimaksud dengan zikir dengan lisan ialah mengucapkan
bacaan-bacaan yang mengandung makna tasbih (pensucian) tahmid (pujian) dan
tamjid (pengagungan). Dan yang dimaksud dengan zikir dengan hati ialah:
memikirkan dalil-dalil yang menunjukkan akan Dzat dan Sifat-sifat Allah, juga
memikirkan dalil-dalil taklif (syari’at), berupa perintah, dan larangan,
sehingga ia dapat mengerti hukum-hukum taklifi (hukum-hukum syari’at yang lima, yaitu: wajib,
sunnah, mubah, makruh dan haram), dan juga merenungkan rahasia-rahasia yang
tersimpan pada makhluq-makhluq Allah. Sedangkan yang dimaksud dengan zikir
dengan anggota badan ialah: menjadikan anggota badan sibuk dengan amaliah
ketaatan, oleh karena itulah Allah menamakan shalat dengan sebutan Zikir, Allah
berfirman: “Maka
bersegeralah kamu menuju zikir kepada Allah (yaitu shalat jum’at)” (Al Jum’ah:
9).
Pengertian
tentang makna zikir yang disampaikan oleh seorang tabi’in murid para sahabat
Nabi shollallahu’alaihiwasallam, dan dijabarkan Ibnu Hajar ini, selaras dengan
hadits berikut:
“Dari sahabat Abu Hurairah rodhiallahu’anhu ia berkata:
Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Tidaklah suatu kaum
(sekelompok orang) duduk di salah satu rumah Allah (yaitu masjid), mereka
membaca kitabullah (Al Qur’an) dan bersama-sama mengkajinya (mempelajarinya),
melainkan akan turun kepada mereka kedamaian, dan mereka dipenuhi oleh
kerahmatan, dan dinaungi oleh para malaikat, dan Allah menyebut mereka
dihadapan para malaikat yang ada di sisi-Nya”. (Riwayat Muslim).
Tatkala
Imam An Nawawi mensyarah hadits ini, beliau berkata: “Dan -insya Allah-
keutamaan ini juga diperoleh bagi orang-orang yang berkumpul di
sekolahan-sekolahan, tempat-tempat pengajian dan yang serupa dengan keduanya,
sebagaimana halnya berkumpul di masjid”. [Syarah Shahih Muslim, oleh An Nawawi
17/22].
Inilah
yang dimaksud dengan kata zikir
yang disebutkan dalam hadits-hadits yang disebutkan oleh bapak Kyai Dimyathi.
Dengan demikian hadits-hadits ini bersifat umum, mencakup segala amaliah
ketaatan, baik berupa ucapan lisan, atau amalan batin, atau amalan anggota
badan.
Bila
ini telah jelas bagi kita semua, saya akan bertanya kepada bapak Kyai Dimyathi:
Dari manakah bapak Kyai
mendapatkan kesimpulan bahwa yang dimaksud dari hadits-hadits ini adalah hanya
zikir berjama’ah ala murid bapak Muhammad Arifin Ilham? Dalil-dalil
yang bapak gunakan ternyata terlalu umum, bila dibanding dengan klaim bapak,
sehingga dalil bapak tidak kuat dan klaim bapak tidak dapat diterima.
Agar
lebih jelas lagi, mari kita simak penuturan sahabat Anas bin Malik berikut ini:
“Dari Muhammad bin Abu Bakar Ats Tsaqafi, bahwa ia
pernah bertanya kepada sahabat Anas bin Malik rodhiallahu’anhu tatkala ia
bersamanya berjalan dari Mina menuju ke padang
Arafah: Bagaimana dahulu kalian berbuat bersama Rasulullah
shollallahu’alaihiwasallam pada hari seperti ini? Maka beliau menjawab: Dahulu
ada dari kami yang membaca tahlil, dan tidak diingkari, dan ada dari kami yang
membaca takbir, juga tidak diingkari”. (Riwayat Muslim 2/933, hadits no:1285).
Inilah
salah satu contoh nyata metode berzikir yang dilakukan oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam
dan para sahabatnya, masing-masing berzikir dengan sendiri-sendiri, tidak
dengan dikomando oleh satu orang, kemudian yang lainnya mengikuti, sebagaimana
yang dilakukan oleh, Muhammad Arifin Ilham, dan kebanyakan para pembimbing
manasik haji yang selalu mengomando jama’ahnya tatkala berzikir, dengan satu
suara dan satu bacaan pula.
Kisah
yang dituturkan oleh sahabat Anas bin Malik tentang metode berzikir yang
dilakukan oleh Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan para sahabatnya inilah yang
dimaksudkan oleh sahabat Ibnu Mas’ud dalam ucapannya, tatkala melihat
segerombol orang berzikir berjama’ah:
“Sungguh demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya,
sesungguhnya kalian ini sedang menjalankan ajaran (dalam berzikir) yang lebih
benar dibanding ajaran Nabi Muhammad, atau sedang membuka pintu kesesatan”.
(Riwayat Ad Darimi, dalam kitab As Sunnan, 1/79, hadits no: 204, riwayat ini
hasan atau shahih lighairihi, karena diriwayatkan melalui beberapa jalur).
Maksud
beliau rodhiallahu’anhu ialah: Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan para
sahabatnya bila berzikir, tidak dengan cara dikomando oleh satu orang, dengan
satu suara dan bacaan yang sama, akan tetapi masing-masing berzikir dengan
sendiri-sendiri. Terlebih-lebih bila kata zikir ditafsirkan sebagaimana yang
dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani, sehingga mencakup majlis-majlis ilmu.
Dan sebagai bukti akan penjelasan Ibnu Hajar diatas, akan saya sebutkan
beberapa kisah berikut:
“Sahabat Uqbah bin ‘Amr berkata kepada sahabat
Huzaifah: Sudikah engkau membacakan apa yang pernah engkau dengar dari
Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam. Maka Huzaifah berkata: Aku pernah
mendengar beliau bersabda: Sesungguhnya tatkala Dajjal keluar kelak, ia akan
membawa air dan api. Adapun yang ditunjukkan kepada orang-orang bahwa itu
adalah api, maka itu sebenarnya adalah air yang dingin, sedangkan yang
ditunjukkan kepada orang-orang bahwa itu adalah air, maka itu sebenarnya adalah
api yang membakar. Sehingga barang siapa yang menemuinya, maka hendaknya ia
menceburkan dirinya kepada yang ia tunjukkan sebagai api, karena sesungguhnya
itu adalah air yang dingin ….. (setelah Huzaifah selesai membacakan
hadits-hadits yang pernah ia dengar dari Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam)
Uqbah bin ‘Amr rodhiallahu’anhu berkata: Aku juga pernah mendengarkan beliau bersabda
demikian itu”. (Riwayat Bukhori, 3/1272, hadits no: 3266).
Pada
kisah ini sahabat Uqbah bin ‘Amr meminta sahabat Huzaifah untuk menyebutkan
hadits-hadits yang pernah ia dengar dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam, dan
setelah selesai sahabat Uqbah ternyata pernah mendengar semua hadits yang
sahabat Huzaifah bacakan. Ini salah satu bukti bahwa mereka bila bertemu saling
mengingatkan tentang ilmu yang dimiliki oleh masing-masing mereka, bukan dengan
cara membaca zikir yang dikomando oleh satu orang, kemudian ditirukan oleh yang
lainnya.
Contoh
lain:
“Dari Syaqiq (bin Salamah) ia berkata: Suatu saat
sahabat Abdullah (bin Mas’ud) dan Abu Musa duduk bersama, dan keduanya saling
mengingat-ingat hadits-hadits Nabi shollallahu’alaihiwasallam, kemudian Abu
Musa berkata: Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Sebelum
datangnya kiyamat, akan ada hari-hari yang pada saat itu ilmu akan diangkat,
dan diturunkan kebodohan (kebodohan merajalela), dan akan banyak terjadi al
haraj”, dan al haraj ialah pembunuhan”. (Riwayat Bukhori 6/2590, hadits no:
6653, Muslim 4/2056, hadits no: 2672, dan Ahmad dalam kitab Al Musnad, 4/392).
Contoh
lain:
“Abu Salamah bin Abdirrahman berkata: Dahulu sahabat
Umar (bin Al Khatthab) berkata kepada sahabat Abu Musa di saat ia duduk di
majlis: Wahai Abu Musa, ingatkanlah kita tentang Tuhan kita! Maka Abu Musa-pun
sambil duduk di majlis membaca (Al Qur’an), dan beliau memerdukan
suaranya”.(Riwayat Ad Darimi 2/564, no:3493, Ibnu Hibban, 16/168, no:7196,
Abdurrazzaq dalam al Mushannaf 2/486, no:4179, dan Abu Nu’aim dalam Hilyah Al
Auliya’ 1/258).
Semacam
inilah majlis zikir yang dilakukan oleh para sahabat dan ulama’ terdahulu.
Bahkan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan:
“Dari Abi Utsman (An Nahdi) ia berkata: Salah seorang
gubernur pada zaman khilafah Umar bin Al Khatthab menuliskan laporan yang
isinya: Sesungguhnya di wilayah saya, ada suatu kelompok orang yang
berkumpul-kumpul kemudian berdoa bersama-sama untuk kaum muslimin dan pemimpin.
Maka Umar menulis surat
kepadanya: Datanglah dan bawa mereka besertamu. Maka gubernur itu datang, (dan
sebelum ia datang) Umar telah memerintahkan penjaga pintunya untuk menyiapkan
sebuah cambuk. Dan tatkala mereka telah masuk ke ruangan, spontan Umar langsung
memukul pemimpin kelompok itu dengan cambuk”. (Riwayat Ibnu Abi Syibah dalam
kitabnya Al Mushannaf 5/290, no: 26191).
Bahkan
seandainya bapak Kyai sedikit merenungkan hadits Abu Hurairah di atas:
“Dari sahabat Abu Hurairah rodhiallahu’anhu, ia
berkata: Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: Aku
sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku senantiasa bersamanya bila
ia mengingat-Ku. Bila ia mengingat-Ku di dalam dirinya, niscaya Aku akan
mengingatnya dalam Diri-Ku, dan bila ia mengingat-Ku di perkumpulan orang
(majlis), maka Aku akan mengingatnya di perkumpulan yang lebih baik dari mereka”.
(Riwayat Bukhori 6/2694, hadits no: 2700, dan Muslim 4/2061, hadits no: 6970). Niscaya
Bapak Kyai tidak akan berkesimpulan demikian ini. Sebab dalam hadits ini Allah
berfirman: “bila ia
mengingat-Ku di perkumpulan orang (majlis), maka Aku akan mengingatnya di
perkumpulan yang lebih baik dari mereka”, ini menunjukkan bahwa ia
berzikir sendirian, akan tetapi ditempat keramaian, atau ditengah-tengah suatu
majlis. Seandainya yang dimaksud dari hadits ini ialah ia berzikir dengan cara
berjama’ah, saya rasa firman-Nya tidak seperti itu bunyinya, akan seperti
berikut: Bila ia mengingat-Ku dengan berjama’ah/ ramai-ramai.
Adapun
ayat 28 dari surat
Al Kahfi, yaitu:
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang
yang menyeru (berdoa) kepada Tuhannya di waktu pagi dan senja, mengharapkan
Wajah Allah (keridhaan-Nya)”, maka untuk memahami maksud ayat ini
dengan jelas, mari kita simak bersama keterangan Imamul mufassirin, yaitu Ibnu
Jarir At Thabari:
“Allah
Ta’ala berfirman kepada Nabinya Muhammad shollallahu’alaihiwasallam: Bersabarlah
engkau wahai Muhammad, bersama sahabat-sahabatmu yang menyeru Tuhannya, di
waktu pagi dan senja, yaitu dengan mengingat-Nya dengan ucapan tasbih, tahmid,
tahlil, doa, dan amal-amal shaleh lainnya, seperti: shalat-shalat fardhu dan
lainnya. Mereka mengharapkan dengan perbuatan itu Wajah-Nya (keridhaan-Nya) dan
tidak mengharapkan kepentingan dunia apapun”. [Jami’ Al Bayan Fi Ta’wil Aay Al
Qur’an, oleh Ibnu Jarir At Thabari 15/234].
Dan
pada kesempatan lain, beliau berkata: “Berdoa (menyeru) kepada Allah, dapat
berupa mengagungkan dan memuji Allah dalam bentuk ucapan dan perkataan. Dan doa
juga dapat berwujud ibadah kepada-Nya dengan anggota badan, baik itu ibadah
yang diwajibkan atas mereka atau lainnya yang berupa amalan sunnah yang
menjadikan-Nya ridha, dan pelakunya dikatakan telah beribadah kepada-Nya dengan
amalan itu. Dan sangat dimungkinkan bahwa mereka -orang-orang yang dikatakan
menyeru kepada Allah pada waktu pagi dan senja- melakukan semua macam ibadah
ini, sehingga Allah mensifati mereka dengan sebutan: orang-orang yang menyeru
Allah pada waktu pagi dan senja, karena Allah telah menyebut Al Ibadah dengan
sebutan doa, Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Tuhanmu berfirman: Berdo’alah kepada-Ku, niscaya
Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari
beribadah kepada-Ku, akan masuk neraka Jahnnam dalam keadaan hina dina”.
(Ghafir/Al Mukmin: 60).
Inilah
maksud dari kata doa dalam ayat 28 surah Al Kahfi, dengan demikian bila kita
gabungkan pemahaman ini dengan pemahaman kata zikir, niscaya akan menjadi jelas
bahwa tidak sedikitpun ada dalil atau isyarat yang menunjukkan akan
disyari’atkannya zikir berjamaah ayat 28 surah Al Kahfi ini.
Apalagi
bila kita menggabungkan pemahaman ini dengan pemahaman terhadap hadits berikut:
“Dari Abi Sa’id ia berkata: Suatu saat Rasulullah
shollallahu’alaihiwasallam beri’itikaf di masjid. Beliau mendengar orang-orang
saling mengeraskan suara bacaan mereka, maka beliau membuka tabir dan bersabda:
Ketahuilah bahwa kalian semua sedang bermunajat kepada Tuhannya, maka janganlah
sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain, dan janganlah kalian saling
mengeraskan dalam bacaan kalian, atau beliau bersabda: (janganlah saling
mengeraskan) dalam shalat kalian”. (Riwayat Abu Dawud 2/57, hadits no: 1332).
Saya
ingin bertanya kepada bapak Kyai: Zikir
berjama’ah ala Muhammad Arifin Ilham, bukankan dengan suara yang keras, apalagi
dengan menggunakan dua microfon, satu di tangan, dan yang lain diselipkan di
kerah bajunya? Bukankah suara yang akan ditimbulkan oleh sound sistem akan
terdengar keras sekali? Dan Bukankah suara jama’ah yang mengikuti bacaannya
akan semakin menambah keras suara? Apakah ini semua selaras dengan
hadits ini??! Buktikan
kepada saya dan seluruh kaum muslimin di dunia bahwa Nabi
shollallahu’alaihiwasallam, atau salah seorang sahabatnya melakukan zikir
dengan satu suara, satu bacaan dan dengan suara keras semacam ini?
C. Fatwa ulama’ tentang zikir berjama’ah:
1. Imam Syafi’i berkata:
“Saya
berpendapat bahwa seorang imam dan makmumnya hendaknya mereka berzikir kepada
Allah seusai shalat, dan hendaknya mereka merendahkan (memelankan) zikirnya,
kecuali bagi seorang imam yang ingin agar para makmumnya belajar (zikir)
darinya, maka ia boleh mengeraskan zikirnya, hingga bila ia merasa bahwa mereka telah cukup belajar,
ia kembali merendahkannya, karena Allah Azza wa Jalla
berfirman: “Dan janganlah
kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya (Al
Isra’: 110)”. Maksud kata -wallahu Ta’ala a’alam- ialah: doa. Laa Tajhar: jangan engkau mengangkat suaramu,
wa laa tukhofit:
jangan engkau
rendahkan hingga engkau sendiri tidak mendengarnya“. [Al Umm,
oleh Imam As Syafi’i 1/127].
2. Imam Yahya bin Abil Khair Al ‘Imrani As Syafi’i, setelah
menyebutkan berbagai riwayat tentang zikir-zikir Rasulullah
shollallahu’alaihiwasallam, ia menyimpulkan:
“Riwayat perawi yang meriwayatkan bahwa beliau
shollallahu’alaihiwasallam berdoa dan mengeraskan suaranya, ditafsiri bahwa
beliau shollallahu’alaihiwasallam melakukan hal itu agar para
sahabatnya belajar dari beliau. Dan riwayat perawi
yang menyebutkan bahwa beliau (seusai shalat) diam sejenak kemudian berdiri dan
pergi, ditafsiri bahwa beliau berdoa dengan merendahkan suaranya, sehingga
beliau hanya memperdengarkan dirinya sendiri”. [Al Bayan, oleh
Yahya bin Abil Khair Al ‘Imrani, 2/250].
3. Imam An Nawawi berkata:
“Ulama’
mazhab Syafi’i (ashhabunaa), berkata: Zikir dan doa setelah shalat, disunnahkan
untuk dilakukan dengan merendahkan suara, kecuali bila ia seorang imam dan
hendak mengajari orang-orang (makmum), maka dibolehkan untuk mengeraskan
suaranya, agar mereka belajar darinya, dan
bila dirasa mereka telah cukup belajar dan sudah tahu, maka hendaknya ia
kembali merendahkannya“. [Al Majmu’ Syarah Al Muhazzab, oleh
Imam An Nawawi 3/469].
Dari
kedua penjelasan ini jelaslah bahwa zikir itu dilakukan sendiri-sendiri,
sehingga yang sunnah ialah dengan cara merendahkan suara, kecuali bila sang
imam merasa bahwa jama’ahnya belum bisa berzikir, maka ia dianjurkan untuk
mengajari mereka dengan cara mengeraskan suaranya. Dan bila dirasa mereka telah
cukup belajar, ia kembali merendahkan suaranya. Ini menunjukkan dengan jelas
bahwa berzikir dengan satu suara dan dikomando oleh satu orang, baik itu
seorang imam atau lainnya tidak sesuai dengan sunnah.
Dan
fatwa Imam An Nawawi ini sekaligus memperjelas maksud beliau dari perkataannya
yang dinukilkan oleh bapak Kyai Dimyathi. Bahwa pada dasarnya zikir dan doa itu
dilakukan dengan cara merendahkan suara, terlebih-lebih tatkala ia melakukan
zikir itu sedang berada di tengah-tengah majlis, atau di dalam barisan shaf.
Sehingga perkataan beliau dalam kitabnya Al Majmu’ menepis kesalah pahaman
bapak Kyai Dimyathi. Dengan demikian yang dimaksud dari ucapan Imam An Nawawi
berikut ini:
“Ketahuilah, sebagaimana zikir itu sunnah hukumnya,
begitu juga duduk di majlis ahli zikir, karena telah banyak dalil-dalil yang
menunjukkan akan itu” [Al Azkar, oleh An Nawawi hal: 8], bukan
hanya sekedar majlis orang yang membaca zikir atau wiridan saja, akan tetapi,
mencakup pengajian-pengajian, sekolahan-sekolahan agama dll.
Kemudian
pada perkataa Imam An Nawawi di atas tidak didapatkan sedikitpun isyarat yang
menunjukkan bahwa orang-orang yang menghadiri majlis zikir itu melakukan zikir,
doa dan wiridannya dengan cara dikomando oleh satu orang, atau dengan membaca
satu bacaan atau dengan satu suara. Yang ada hanyalah anjuran menghadiri majlis
zikir, apapun perwujudan majlis itu, baik majlis itu berupa sekolahan,
pengajian, ceramah, seminar, belajar membaca Al Qur’an, mendengarkan orang yang
sedang membaca Al Qur’an, atau berzikir dengan sendiri-sendiri, sebagaimanan
yang dahulu dilakukan oleh sahabat nabi shollallahu’alaihiwasallam, atau yang
lainnya.
Demikian
pula halnya dengan fatwa ulama’ lain yang telah dinukilkan ucapannya oleh bapak
Kyai Dimyathi.
Dan
menurut hemat saya, yang menjadikan bapak Dimyathi salah paham terhadap
ayat-ayat, hadits-hadits dan perkataan ulama’ seputar masalah zikir dan
tata-cara pelaksanaannya, ialah karena beliau mengambil dan memahami
dalil-dalil dan keterangan ulama dengan separuh-paruh, tidak menyeluruh.
Seandainya beliau mengumpulkan seluruh dalil dan berbagai keterangan ulama’,
kemudian semuanya dipahami secara bersamaan dan sebagian darinya dijadikan alat
untuk memahami sebagian yang lain, niscaya -insya Allah- bapak Kyai akan
terhindar dari kesalah pahaman.
D. Konsekuensi memvonis bid’ah kepada amaliah yang
sebenarnya sunnah.
Pada
pembahasan ini, saya hanya ingin berkata kepada bapak KH. Drs. Ahmad Dimyathi
Badruzzaman, MA. Baca dan renungkanlah kembali tulisan bapak pada pembahasan
ini, semoga dapat menjadi pelajaran penting dan pengalaman yang tak terlupakan
selama hidup. Kemudian setelah selesai membaca kembali, silahkan bapak membaca
dan merenungkan kembali tulisan bapak pada halaman: 40, yaitu ucapan bapak:
“Dari hadits yang tidak diragukan kesahihannya ini, begitu jelas dan tegas
bahwa shalat tarawih berjama’ah secara terus menerus sebulan penuh dalam bulan
Ramadhan itu adalah perbuatan bid’ah, karena tidak dikenal pada zaman Nabi
shollallahu’alaihiwasallam”.
Dengan
mengucapkan: Subhanallah,
inikah bukti dari apa yang dikabarkan oleh sahabat Abdullah bin Mas’ud, dalam ucapannya:
“Bagaimanakah
sikapmu, bila kamu telah dilanda oleh suatu fitnah terus menerus, sehingga
orang-orang dewasa mencapai usia pikun, dan anak kecil mencapai usia dewasa
dalam suasana seperti itu, dan masyarakat telah menganggap fitnah itu sebagai
suatu amalan sunnah, sehingga bila fitnah itu diingkari (ditentang), mereka
berkata: Amalan sunnah telah dirubah (ditentang)”. Dikatakanlah kepadanya:
Kapankah yang demikian itu dapat terjadi, wahai Abu Abdirrahman? Beliau
menjawab: “Bila ahli qira’at (bacaan) kalian telah banyak, sedangkan ahli fiqih
(pemahaman) dari kalian hanya sedikit, harta kalian telah melimpah, dan
orang-orang yang memiliki rasa amanat jumlahnya jarang dijumpai, dan bila
kehidupan dunia digapai dengan sarana amalan akhirat (ibadah)”. (Riwayat Ad
Darimi 1/75, no: 185, Ibnu Abi Syaibah 7/452, 37156, dan Al Hakim 4/560, no:
8570).
Zikir
berjama’ah telah diklaim sunnah, sedangkan shalat tarawih berjamaah, dan
berdoa’ tanpa mengusapkan kedua telapak tangan ke wajah telah diklaim bid’ah.
Banyak
orang merasa berang tatkala dikatakan kepadanya: Zikir berjama’ah adalah
bid’ah.
Banyak
pemuka masyarakat yang kaget tatkala dikatakan bahwa tasawuf adalah bid’ah.
Ya Allah lindungilah kami dan keturunan kami dari
fitnah ini, dan tunjukkanlah kami kepada jalan yang lurus.
BEBERAPA PROBLEMATIKA
YANG ERAT HUBUNGANNYA DENGAN ZIKIR BERJAMA’AH
A. HUKUM BERZIKIR DENGAN SUARA NYARING.
Pada
pembahasan ini, bapak Kyai menyebutkan ayat 200, surat Al Baqarah, yang bunyinya:
“Apabila kamu telah menyelesaikan manasikmu (ibadah
hajimu), maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu
menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau bahkan (berzikirlah)
lebih banyak dari itu“. (Al Baqarah: 200)
Pada
penerjemahan ayat ini, bapak Kyai melakukan manipulasi terjemahan, yaitu pada
hal: 81, tatkala beliau menerjemahkan firman Allah , beliau menerjemahkannya menjadi: “atau (bahkan) lebih keras dari itu”.
Manipulasi
ini, beliau ulangi lagi terhadap perkataan Syeikh Ahmad Mushthafa Al Maraghi,
yang berkata:
“Bila
kamu telah selesai dari ibadah haji, dan kamu telah melakukan nafar, maka
perbanyaklah zikir (dengan menyebut) Allah, dan bermubalaghoh (berlebih-lebihan dalam
memperbanyak zikir), sebagaimana kamu melakukannya ketika menyebut-nyebut nenek
moyangmu dengan membangga-banggakan mereka dan sejarah hidup mereka”.
Bapak
Kyai menerjemahkan perkataan dengan: “dan keraskanlah suaramu dalam berzikirnya”.
Hal
serupa juga beliau lakukan tatkala menerjemahkan perkataan Syeikh Ahmad Al
Shawi Al Maliki, yang berkata:
“maka
berzikirlah kamu (dengan menyebut) Allah, dimana zikirmu (penyebutanmu) itu
sebagaimana kamu menyebut-nyebut nenek moyangmu atau lebih“.
Bapak
Kyai menterjemahkan kata , dengan: “lebih keras lagi dari itu”.
Saya
ingin bertanya kepada bapak Kyai, apakah yang dimaksud dengan kata “lebih”, dalam ayat
di atas dan juga pada ucapan para ulama’, adalah lebih keras semata? sehingga
bila ada orang yang membaca takbir satu kali saja dengan berteriak dan menggunakan pengeras
suara, sudah dianggap menjalankan perintah dalam ayat ini?
Karena tentu suara yang ia hasilkan dengan teriakan dan dibantu oleh pengeras
suara itu lebih keras dari suara orang-orang musyrikin zaman dahulu, yang hanya
menyebut-nyebut nenek-moyang mereka dengan suara biasa. Demikiankah pemahaman
bapak Kyai tentang ayat ini?
Ataukah
yang dimaksud dari kata “lebih” ialah dalam hal jumlah, kekhusyu’an dan penghayatan
akan zikir tersebut (kualitas dan kuantitasnya)?
Agar
menjadi jelas, mari kita simak penafsiran Ibnu Jarir At Thabari –imamul mufassirin-
berikut ini:
”Dan
menurutku pendapat yang benar tentang tafsir ayat ini, ialah: Sesungguhnya
Allah Azza wa Jalla memerintahkan hamba-hamba-Nya, yaitu kaum mukminin agar
berzikir kepada-Nya (mengingat-Nya) dengan menjalankan keta’atan kepada-Nya,
yang terwujud pada sikap patuh kepada perintah-Nya dan menjalankan ibadah
kepada-Nya seusai menjalankan manasik hajinya. Dan zikir ini, bisa saja yang
dimaksudkan ialah bacaan takbir yang Allah Azza wa Jalla perintahkan dalam
firman-Nya:
”Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah pada hari-hari
yang telah dihitung (hari tasyriq: 11, 12, 13 Dzul Hijjah)”. (Al Baqarah: 203). Yaitu
Zikir yang diwajibkan atas orang-orang yang telah menyelesaikan manasik
hajinya. Maka Allah pada saat itu mengharuskan mereka untuk membaca zikir yang
sebelumnya tidak diwajibkan, dan menganjurkan mereka agar terus menerus
mengucapkannya, sebagaimana layaknya seorang anak yang terus menerus
menyebut-nyebut ayahnya, yaitu dengan cara berserah diri, dan merendahkan diri
kepada-Nya, agar Allah memenuhi kebutuhannya, layaknya seorang anak yang
merengek kepada ayah dan ibunya atau lebih lagi, karena seluruh kenikmatan yang
ada pada mereka dan juga pada orang tua mereka datangnya dari Allah, dan Dialah
yang memilikinya”. [Jami’ Al Bayan fi Ta’wil Aay Al Qur’an, oleh Ibnu Jarir At
Thabari 2/298].
Saya
kembali ingin bertanya kepada bapak Kyai: Apa yang sebenarnya mendorong bapak untuk melakukan ini
semua?
Menurut
hemat saya: seharusnya bapak Kyai menyebutkan atau berdalil dengan firman Allah
Ta’ala berikut ini:
“Dan berzikirlah (sebutlah) Tuhanmu dalam hatimu dengan
merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu
pagi dan senja, dan janganlah kamu menjadi orang yang lalai”. (Al A’araf: 205)
Al
Qurthubi Al Maliki tatkala menafsirkan ayat ini berkata:
“Dunal
Jahri (tidak mengeraskan suara) maksudnya ialah: tidak meninggikan suara, yaitu
cukup dengan memperdengarkan diri sendiri, sebagaimana firman Allah: “dan
carilah jalan tengah diantara keduanya itu”. Maksudnya: antara mengeraskan
suara dan merendahkannya. Dan
ayat ini menunjukkan bahwa meninggikan suara tatkala berzikir adalah terlarang“.
[Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an, oleh Al Qurthubi Al Maliki 7/355].
Ibnu
Katsir menafsirkan ayat ini dengan berkata:
“Maksudnya:
berzikirlah kepada Tuhanmu dalam hatimu dengan rasa harap dan takut, dan dengan
suaramu (lisanmu) tanpa mengeraskannya, oleh karena itu Allah berfirman: “dan
dengan tidak mengeraskan suara”, dan demikianlah yang disunnahkan, hendaknya
zikir itu (dengan suara) tidak sampai seperti panggilan, dan suara yang terlalu
keras, oleh karena itu tatkala para sahabat bertanya kepada rasulullah ?, dan
mereka berkata: Apakah Tuhan kita itu dekat, sehingga kita bermunajat (berdo’a
dengan berbisik-bisik) kepada-Nya ataukah jauh sehingga kita memanggilnya? Maka
Allah turunkan firman-Nya:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang
Aku, maka sesungguhnya Aku itu dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang
memohon, bila ia memohon kepada-Ku”. (Al Baqarah: 186). [Tafsir
Al Qur’an Al ‘Adlim, oleh Ibnu Katsir 2/281]. Inilah keterangan Ibnu Katsir
secara lengkap, dan pada penjelasanya ini, beliau menyebutkan tiga bentuk
suara: suara yang tidak keras dan sewajarnya, yang beliau ungkapkan dengan , panggilan/seruan dan suara yang terlalu keras .
Dan
suara yang tidak sampai pada tingkat panggilan dan juga tidak terlalu keras
inilah yang dimaksudkan dalam hadits-hadits dan ucapan para ulama’ yang
menjelaskan dibolehkannya mengeraskan suara, bukan seperti yang dilakukan oleh
Muhammad Arifin Ilham bersama jama’ahnya, dengan berjama’ah, dikomando, dengan
satu suara, satu bacaan dan menggunakan pengeras suara.
Diantara
dalil-dalil yang menguatkan pemahaman ini ialah hadits yang disebutkan oleh
bapak Kyai Dimyathi sendiri, yaitu hadits riwayat Kholifah Mu’awiyah bin Abi
Sufyan -radhiallahu
‘anhuma-, ia menuturkan:
“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam
pernah keluar rumah menuju ke suatu halaqah (perkumpulan) sebagian sahabatnya,
kemudian beliau bersabda: Apakah yang membuat kalian duduk-duduk? Mereka-pun
menjawab: Kami berzikir kepada Allah dan memuji-Nya atas hidayah beragama Islam
yang telah Ia karuniakan kepada kami. Beliau bersabda: Demi Allah, benarkah
kalian tidak duduk-duduk melainkan karena itu? Mereka menjawab: Demi Allah,
tidaklah kami duduk-duduk melainkan karena itu. Beliau bersabda: Ketahuilah,
sesungguhnya aku tidaklah bersumpah karena mencurigai kalian, akan tetapi
Malaikat Jibril datang kepadaku dan mengabarkan bahwa Allah Azza wa Jalla
membangga-banggakan kalian di hadapan para malaikat”. (Riwayat Muslim 4/2075,
hadits no: 2701).
Seandainya
para sahabat yang duduk-duduk berjamaah ini berdizikir dengan dikomando, dengan
satu suara, dan satu bacaan, dan dengan mengeraskan suara seperti yang
dikatakan oleh bapak Kyai Dimyathi, niscaya
Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam tidak perlu bertanya kepada mereka
tentang apa yang mereka lakukan. Hal ini –sebagaimana dikatahui
bersama- karena rumah Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam melekat dengan
dinding masjidnya, sehingga bila zikir mereka ala zikirnya Muhammad Arifin
Ilmam, niscaya akan terdengar oleh beliau shollallahu’alaihiwasallam, dan
beliau tidak perlu lagi bertanya tentang apa yang mereka lakukan.
Pada
kesempatan ini, saya ingin bertanya lagi kepada bapak Kyai: Suara Muhammad
Arifin Ilham beserta jama’ahnya, yang menggunakan sound sistem, bila di bandingkan dengan pengumuman
orang hilang atau panggilan yang ada di terminal-terminal bus, bandara, atau
stasiun kereta api, manakah yang lebih keras? Saya yakin suara
Muhammad Arifin Ilham lebih keras berlipat kali, dan lebih tepat menjadi contoh
dari perkataan bapak Kyai pada hal: 90: “sebenarnya
yang dilarang itu jika menyaringkan suaranya dengan keterlaluan atau
berlebih-lebihan (over acting)”. Bila demikian halnya, apakah bapak
Kyai juga mengatakan bahwa zikir dengan suara sekeras itu boleh atau bahkan
sesuai dengan sunnah???!.
Para pembaca
yang budiman, renungkanlah pertanyaan para sahabat kepada Rasulullah
shollallahu’alaihiwasallam: Apakah
Tuhan kita itu dekat, sehingga kita bermunajat (berdo’a dengan berbisik-bisik)
kepada-Nya ataukah jauh sehingga kita memanggilnya?
Bila
perbedaan antara ketiga macam suara ini telah jelas, maka mari kita renungkan
hadits berikut:
“Dari Abi Musa rodiallahu’anhu ia berkata: Kami pernah
bersama Rasulullah dalam suatu perjalanan, kemudian orang-orang mengeraskan
suara takbir mereka, maka Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Wahai para
manusia, kasihanilah dirimu dan rendahkanlah suaramu! sesungguhnya kamu tidak
sedang menyeru dzat yang tuli dan tidak juga jauh. Sesungguhnya kamu sedang
menyeru Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat”. (Riwayat Al Bukhori 3/1091,
hadits no: 2830, dan Muslim 4/2076, hadits no: 2704).
Imam
An Nawawi menjelaskan maksud hadits ini dengan berkata:
“Kasihanilah
dirimu, dan rendahkanlah suaramu, karena mengeraskan suara, biasanya dilakukan
seseorang, karena orang yang ia ajak berbicara berada ditempat yang jauh, agar
ia mendengar ucapannya. Sedangkan kamu sedang menyeru Allah Ta’ala, dan Dia
tidaklah tuli dan tidak juga jauh, akan tetapi Dia Maha Mendengar dan Maha
Dekat …Sehingga dalam
hadits ini ada anjuran untuk merendahkan suara zikir, selama
tidak ada keperluan untuk mengerasakannya, karena dengan merendahkan suara itu
lebih menunjukkan akan penghormatan dan pengagungan. Dan bila ada kepentingan
untuk mengeraskan suara, maka boleh untuk dikeraskan, sebagaimana yang
disebutkan dalam beberapa hadits”. [Syarah Shahih Muslim, oleh Imam An Nawawi
17/26].
Dari
keterangan Imam An Nawawi ini kita dapat menyimpulkan bahwa pada dasarnya
setiap orang yang berzikir itu hendaknya ia merendahkan suaranya, kecuali bila
ada alasan untuk mengeraskannya, misalnya seorang imam yang hendak mengajari
makmumnya wirid-wirid dan zikir-zikir yang dahulu diucapkan oleh Rasulullah
shollallahu’alaihiwasallam, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam As Syafi’i di
atas. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat Ibnu Abbas
rodiallahu’anhu tatkala ia menjadi imam dalam shalat janazah dan hendak
mengajarkan kepada makmumnya bahwa disunnahkan membaca al fatihah dalam shalat
janazah:
“Dari Thalhah bin Abdillah bin ‘Auf ia berkata: Aku
pernah menshalati jenazah dibelakang (berjamaah dengan) Ibnu ‘Abbas
–radhiallahu ‘anhuma-, maka beliau membaca surat Al Fatihah (dengan suara keras),
kemudian beliau berkata: Agar mereka mengetahui bahwa ini (membaca al fatihah dalam
shalat jenazah) ialah sunnah)”. (Riwayat Bukhori 1/448, hadits no: 1270).
Adapun
hadits Ibnu Abbas rodiallahu’anhu:
“Bahwa mengeraskan suara saat berzikir seusai
orang-orang mendirikan shalat fardhu, biasa dilakukan pada zaman Nabi ?, dan
Ibnu Abbas berkata: Dahulu aku mengetahui bahwa mereka telah selesai dari
shalatnya, bila aku telah mendengarnya (suara zikir)”. (Riwayat Bukhori 1/288,
hadits no: 805, dan Muslim 1/410, hadits no: 583).
Maka
perlu diketahui bahwa bapak Kyai Dimyathi tatkala mengomentari hadits ini, yaitu
dengan cara menukilkan perkataan Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani dan An
Nawawi, beliau hanya menukilkan awal perkataan dari syarah kedua ulama’ ini,
dan melalaikan akhir dari syarah mereka. Seandainya bapak Kyai membaca dan
mencermati syarah kedua ulama’ ini dari awal hingga akhir, niscaya bapak Kyai
akan mendapatkan sebuah kesimpulan matang dari seorang imam besar, yaitu Imam
As Syafi’i. Kesimpulan beliau ini adalah hasil dari penggabungan seluruh
hadits-hadits yang berkaitan dengan masalaha ini, dan berikut ini saya nukilkan
kesimpulan beliau tersebut
“Imam
As Syafi’i –rahimahullah Ta’ala- menafsiri hadits ini bahwa beliau
shollallahu’alaihiwasallam mengeraskan suaranya dalam beberapa waktu saja, guna
mengajari sahabatnya cara berzikir, bukan berarti mereka (Nabi shollallahu’alaihiwasallam
dan sahabatnya) senantiasa mengeraskan suaranya. Beliau (As Syafi’i) berkata:
“Saya berpendapat bahwa seorang imam dan makmumnya hendaknya mereka berzikir
kepada Allah, seusai menunaikan shalatnya, dan hendaknya mereka merendahkan suara
zikirnya, kecuali bagi seorang imam yang ingin agar para makmumnya belajar
(zikir) darinya, maka ia boleh mengeraskan zikirnya, hingga bila ia sudah
merasa bahwa mereka telah cukup belajar, ia kembali merendahkannya”. [Syarah
Shahih Muslim Oleh An Nawawi 5/84, dan Fath Al Bari, oleh Ibnu Hajar Al
Asqalani 2/326. Dan baca pula Al Umm oleh As Syafi’i 1/126-127].
Kesimpulan
Imam As Syafi’i ini didukung oleh beberapa hal berikut ini:
Diriwayatkan dari Qais bin ‘Abbad ia berkata: Dahulu
para sahabat Nabi shollallahu’alaihiwasallam tidak menyukai untuk mengeraskan
suara pada tiga keadaan, yaitu: disaat berperang, menghadiri janazah, dan pada saat
berzikir“. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah, 6/143,
no:30174, Al Baihaqi 4/74, dan Al Khathib Al Baghdadi dalam kitabnya Tarikh baghdad 8/91).
Imam
An Nawawi dalam kitabnya At
Tahqiq berkata:
“Disunnahkan
untuk berzikir dan berdo’a setiap kali selesai shalat (lima waktu) dan hendaknya ia merendahkan
suaranya. Bila ia seorang imam dan hendak mengajarkan makmumnya (bacaan zikir)
maka ia boleh untuk mengeraskan suaranya, kemudian bila mereka telah cukup
belajar, ia kembali merendahkannya”. [ At Tahqiq oleh An Nawawi. 219].
Ucapan
beliau pada kitab ini, menjelaskan maksud dari ucapan beliau pada
kitab-kitabnya yang lain, hal ini karena kitab At Tahqiq adalah salah satu buku
paling akhir yang beliau tuliskan, sehingga
pendapat beliau dalam buku ini harus didahulukan dibanding pendapat beliau pada
buku-buku yang lainnya, terlebih-lebih bila dibanding kitabnya Syarah Shahih
Muslim. [Baca Muqaddimah kitab At Tahqiq oleh Syeikh ‘Adil
Abdul Maujud].
Adapun
Hadits Abu Sa’id Al Khudri rodiallahu’anhu:
“Perbanyaklah zikir kepada Allah, hingga mereka
berkata: sesungguhnya dia itu orang gila”. (Riwayat Ahmad 3/68, Abd bin Humaid
1/289, hadits no: 925, Abu Ya’ala 2/521, hadits no: 1376, Ibnu Hibban 3/99,
hadits no: 817, dan Al Hakim 1/677, hadits no: 1839, dan Al Baihaqi dalam
kitabnya Syu’abul Iman 1/398, hadits no: 526), adalah hadits
dhaif (lemah), karena hadits ini diriwayatkan melalui jalur seorang perawi yang
bernama: Darraj Abdurrahman bin Sam’an Abu As Samh Al Misri, dan dia ialah
perawi yang lemah riwayatnya. Oleh karena itu hadits ini divonis dhaif (lemah)
oleh Ibnu ‘Adi, Az Zahabi, dan Al Hatsami. [Lihat: Al Kamil
Fi Ad Dhu’afa’ Al Rijal oleh Ibnu ‘Adi 3/115, Mizan Al I’itidal Fi Naqd Al
Rijal, oleh Az Zahabi 3/41, dan Majma’ Al Zawaa’id oleh Al Haitsami 10/75].
Begitu
juga hadits selanjutnya, yaitu hadits Ibnu Abbas rodiallahu’anhu:
“Berzikirlah kamu kepada Allah hingga orang-orang
munafiq berkata: sesungguhnya kalian ialah orang-orang yang berbuat riya’
(pamer)”. (Riwayat At Thabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir 12/169, hadits no:
12786, dan Abu Nu’aim dalam kitabnya Hilyah Al Auliya’ 3/80). Karena
hadits ini diriwayatkan melalui jalur perawi yang bernama Al Hasan bin Abi
Ja’afar Al Jufri, dan dia adalah dhaif, sebagaimana yang dinyatakan oleh Al
Hatsami. [Lihat Majma’ Al Zawaa’id, oleh Al Hatsami 10/76].
Kemudian
pada kesempatan ini saya ingin meralat kesalahan bentuk lain yang dilakukan
oleh bapak Kyai Dimyathi, yaitu pada hal: 87, tatkala beliau menuliskan: “Hadis riwayat Imam Al Baihaqi dari
Zaid bin Aslam r.a dari sebagian sahabat Nabi Saw”.
Singkatan
(r.a) ialah kepanjangan dari “radhiallah ‘anhu”, sehingga penulisan singkatan
(r.a) setelah nama Zaid bin Aslam mengisyaratkan bahwa orang ini ialah sahabat
Nabi shollallahu’alaihiwasallam, padahal ia adalah seorang tabi’in, dan bukan
sahabat Nabi shollallahu’alaihiwasallam. Saya
tidak tahu apakah bapak Kyai dengan sengaja menuliskan singkatan ini setelah
nama Zaid
bin Aslam,
atau tidak?!
B. HUKUM BERZIKIR SAMBIL MENANGIS.
Pada
pembahasan ini bapak Kyai Dimyathi telah menyebutkan banyak dalil yang
menunjukkan disyariatkannya menangis karena Allah, di saat berzikir. Dan yang
menjadi kritikan saya ialah:
Kritikan pertama:
Pada
halaman: 95, beliau menyebutkan hadits Abu Hurairah ? yang menyebutkan bahwa
diantara yang akan dinaungi Allah dibawah Arsy-Nya ialah orang yang berzikir
sampai berlinang kedua matanya. Yang menjadi kritikan saya ialah, hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim, akan tetapi beliau menyebutkan bahwa
hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir dan Al Baihaqi.
Metode
ini menyelisihi etika dan kebiasaan ulama’ ahlul hadits, dalam hal takhrij
hadits. Mereka bila mendapatkan suatu hadits telah diriwayatkan oleh kedua imam
ini, atau salah satunya, mereka akan senantiasa menyebutkan bahwa hadits ini
telah diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim atau salah satunya. Bahkan banyak
dari mereka tidak merasa perlu lagi untuk menyebutkan imam lainnya.
Imam
Al Baihaqi sendiri dalam kitabnya As Sunan Al Kubra bila meriwayatkan suatu
hadits yang telah diriwayatkan oleh Bukhori atau Muslim, beliau senantiasa
menjelaskannya. [Sebagai buktinya, silahkan baca As Sunnan Al Kubra oleh Al
Baihaqi: 1/5,7,8,10, 11, 12, 13, 14,15,16, 17,18, 20, 21 dll].
Hal
ini dikarenakan ulama’ telah sepakat untuk menerima hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh kedua imam ini, atau salah satunya, karena keduanya telah
menetapkan kriteria ketat bagi hadits-hadits yang dicantumkan dalam kitab
mereka, yaitu hanya hadits-hadits shahih lah yang mereka cantumkan. Sebagai
contohnya ialah apa yang dilakukan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqalani,
dalam kitabnya Bulughul Maram, beliau berkata pada muqaddimah kitabnya ini:
“Dan
saya telah menjelakan dibelakang setiap hadits nama-nama imam yang meriwayatkannya,
untuk menyampaikan nasehat kepada ummat. Dan yang dimaksud dengan sebutan tujuh
imam ialah: Ahmad, Al Bukhori, Muslim, Abu Dawud, At Tirmizi, An Nasa’i, dan
Ibnu Majah. Adapun enam imam ialah: selain imam Ahmad, dan yang dimaksud dengan
lima imam ialah:
selain Bukhori dan Muslim, dan kadang kala saya sebut: empat imam dan Ahmad.
Empat imam ialah: selain ketiga imam pertama, dan tiga imam ialah: selain
ketiga imam pertama dan yang terakhir. Dan yang dimaksud dengan muttafaqun
‘alaih ialah: Bukhori dan Muslim, dan kadangkala
aku tidak menyebutkan bersama keduanya imam lain selain keduanya“.
[Bulugh Al Maram Min Adillatil Ahkam, oleh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, hal: 8].
Bahkan
ada sebagian ulama’ yang tidak menyebutkan dalam kitabnya selain hadits-hadits
yang diriwayatkan oleh kedua imam ini, misalnya kitab ‘Umdatul Ahkam, oleh Al Hafidz Abdul
Ghani Al Maqdisi.
Kritikan kedua:
Lafadz
hadits Abu Hurairah rodiallahu’anhu dalam seluruh kitab-kitab hadits sama atau
berdekatan, tidak ada perbedaan makna, yaitu sebagaimana berikut:
“Ada tujuh golongan manusia yang akan dinaungi Allah
dibawah naungan-Nya pada hari yang tiada naungan melainkan naungan-Nya, yaitu:
Pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Tuhannya,
laki-laki yang hatinya senantiasa tekait dengan masjid, dua orang yang saling
mencintai karena Allah, mereka bersatu dan berpisah atas dasar cinta ini,
seorang laki-laki yang dirayu oleh wanita bangsawan (memiliki kedudukan sosial)
dan berparas molek, kemudian ia berkata: Sesungguhnya aku takut kepada Allah,
orang yang bersedekah dengan suatu sedekah yang ia sembunyikan, sampai-sampai
tangan kirinya tidak menngetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya,
dan seseorang yang berzikir kepada Allah di
kesunyian, kemudian berlinanglah kedua matanya”.
(Riwayat Bukhori 1/234, hadits no: 629, dan Muslim 2/705, hadits no: 1031).
Inilah
lafaz hadits yang benar, dan ada pada kitab-kitab hadits. Sedangkan yang
disebutkan oleh bapak Kyai Dimyathi berbeda dengan ini, baik riwayat yang
pertama, yang beliau nyatakan sebagai riwayat Ibnu ‘Asakir, atau riwayat kedua
yang beliau nyatakan sebagai riwayat Al Baihaqi:
Agar
para pembaca yang budiman dapat mengadakan perbandingan, akan saya sebutkan
ulang riwayat yang termaktub di buku bapak Kyai:
Riwayat Ibnu ‘Asakir:
“Ada tujuh golongan manusia
yang akan diberi naungan oleh Allah di bawah ‘Arasy-Nya pada suatu hari yang
tiada naungan kecuali naungan-Nya: yang pertama adalah seorang yang berzikir
sampai berlinang kedua matanya …”. [Lihat Tarikh Dimasyq, oleh Ibnu ‘Asakir
66/234, dan Zikir berjama’ah, sunnah atau Bid’ah, oleh KH. Drs. Muhammad
Dimyathi Badruzzaman 95].
Pada
riwayat ini, tidak disebutkan kata “di
kesunyian”, sehingga dalam disiplin ilmu ushul fiqih atau
musthalah hadits, riwayat Ibnu ‘Asakir ini harus ditafsiri atau dipahami
selaras dengan riwayat lainnya yang jelas-jelas shahih dan lebih kuat sanadnya.
Dan
seandainya bapak kyai menolak alternatif penggabungan ini, maka riwayat ini
karena bertentangan dengan riwayat-riwayat lain yang nyata-nyata lebih kuat,
tidak dapat diterima, terlebih-lebihi salah seorang perowinya, yaitu Abu Rauq
Ad Dimasyqi, tidak diketahui statusnya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu
‘Asyakir sendiri dalam kitabnya Tarikh Dimasyq jilid: 66/233. Ditambah lagi
Ibnu ‘Asakir sendiri dalam kitab yang sama pada halaman lain, meriwayatkan
hadits ini dengan lafadz yang sama dengan lafadz riwayat Bukhori dan Muslim di
atas, yaitu dengan menyebutkan kata: “di
kesunyian”. [Baca Tarikh Dimasyq 5/215, 22/226, 39/159 dan
51/137].
Yang
menjadi pertanyaan saya, mengapa bapak Kyai memilih riwayat lemah ini, dan
meninggalkan riwayat Bukhari dan Muslim??! Apakah karena lafadz riwayat mereka yang menggunakan
kata: “di kesunyian” menghancurkan dan meruntuhkan misi dan tugas yang sedang
bapak emban, yaitu misi menegakkan benang basah zikir berjamaah ala Muhammad Arifin
Ilham? Dan karena saya tidak ingin dikatakan berburuk sangka,
maka pada kesempatan ini, saya mohon klarifikasi dan jawaban yang jelas dari
bapak kyai.
Riwayat Al Baihaqi:
“Ada tujuh golongan manusia yang akan diberi naungan
oleh Allah di bawah ‘Arsy-Nya pada suatu hari yang tidak ada naungan kecuali
naungan-Nya: 1. Seorang yang hatinya penuh perhatian terhadap masjid, 2.
Seseorang yang diajak (berbuat zina) oleh seorang perempuan yang punya
kedudukan, namun ia mampu berkata: saya takut akan azab Allah, 3. Ada dua orang
yang keduanya saling mencintai karena Allah, 4. Seseorang yang memejamkan
matanya dari segala yang diharamkan Allah, 5. Mata yang melek ketika perang
melawan musuh, 7. Mata yang menangis karena takut dan kagum terhadap kebesaran
Allah”.
Riwayat
hadits Abu Hurairah rodiallahu’anhu dengan lafadz seperti ini, setelah saya
teliti di kitab-kitab Imam Al Baihaqi, bahkan di kitab-kitab hadits lainnya
yang saya ketahui, akan tetapi tidak ada seorang Imam-pun yang meriwayatkan
dengan lafadz seperti yang disebutkan oleh bapak Kyai ini. Bahkan Imam Al
Baihaqi meriwayatkan hadits ini berkali-kali dalam beberapa bukunya,
diantaranya: As Sunan Al Kubra: 3/465, 4/190, 8/162, 10/87, dan juga pada
kitabnya: Syu’ab Al Iman: 1/405, hadits no: 549, 1/487, hadits no: 794, 3/243,
hadits no: 3439, 6/11, hadits no: 7357, dan 6/483, hadits no: 8991, semuanya
dengan lafadz yang sama atau serupa dengan lafadz riwayat Bukhari dan Muslim.
Oleh
karena itu, pada kesempatan ini, saya ingin bertanya kepada bapak Kyai: Mengapa
tatkala menukilkan hadits ini dari buku Ali
Al Azizi, bapak tidak meneliti terlebih dahulu keabsahan dan
kebenaran lafadznya, sebagaimana yang bapak lakukan sebelumnya dengan hadits
yang disebutkan oleh An Nasafi, dan sebelumnya oleh Ibn ‘Allan Al Shiddiqi??!!
Bukankah bapak adalah seorang yang dikenal sebagai pakar hadits yang tersohor
di bumi pasundan?!
Saya
tidak tahu, apa penafsiran ini semua??!! Apakah bapak Kyai tatkala menuliskan
bukunya ini tidak memiliki As Shahihain (Shahih Bukhari, dan Muslim) [Akan
tetapi bila kita merujuk kepada bibliografi yang ada pada akhir bukunya, kita
dapatkan beliau menyebutkan bahwa diantara referensinya ialah Shahih Bukhari
dan Muslim.], dan hanya memiliki kitab karya Ali Al Azizi,? Atau entah apa yang
terjadi pada bapak Kyai??!!
Saya
justru memiliki praduga kuat bahwa Ali Azizi telah memalsukan hadits ini,
dengan cara menggabungkan beberapa hadits menjadi satu hadits, wallahu Ta’ala
A’alam.
Sebagai
peringatan bagi kita semua, mari kita simak nasehat seorang tabi’in, yaitu
Muhammad bin Sirin berikut ini:
“Sesungguhnya ilmu itu adalah agama, maka hendaknya
kamu selektif dalam mencari guru yang kamu menimba ilmu darinya”. (Riwayat
Muslim, dalam Muqaddimah kitab As Shahihnya 1/14, Sunan Ad Darimi, 1/124, no:
424, Al Mushannaf oleh Abu Bakr Ibnu Abi Syaibah 5/434, no: 26636, dan Hilyah
Al Auliya’, oleh Abu Nu’aim 2/278).
Demikian
juga halnya dengan buku atau kitab, hendaknya kita selektif dalam membeli dan
membaca kitab, tidak setiap kitab kita baca, akan tetapi hendaknya yang kita
baca ialah kitab karya ulama’ yang dapat dipercaya keilmuannya.
Oleh
karenanya saya mengharapkan bapak Kyai dapat meneliti ulang hadits ini, dan
tidak cukup hanya menukil dari orang lain, dan membuktikan kepada masyarakat
keabsahan hadits Abu Hurairah dengan lafadz seperti ini, karena kesalahan dalam
hal ini, adalah kesalahan fatal, terlebih-lebih dari seorang yang dikenal
memiliki keahlian dalam meneliti hadits semacam bapak Kyai Dimyathi.
Apapun
yang terjadi, yang jelas lafadz hadits yang nyata-nyata shahih, menjelaskan
bahwa yang tergolong ke dalam tujuh golongan ini ialah: seseorang yang berzikir kepada Allah
di kesunyian, kemudian berlinang air matanya, bukan yang
berzikir berjama’ah dan menggunakan pengeras suara, dan disiarkan melalui
berbagai stasiun televisi.
Imam
Al Baihaqi setelah meriwayat hadits ini menukilkan dari Al Hulaimi As Syafi’i,
ia berkata:
“Maknanya,
bila zikir itu bukan termasuk zikir yang wajib, akan mudah dijangkiti oleh
riya’ bila ditunjukkan kepada orang lain, dan bila disembunyikan, niscaya lebih
terjauh dari riya’”. [Syu’ab Al Iman, oleh Al Baihaqi 3/243].
Dari
hadits ini kita dapat menyimpulkan bahwa tidak semua tangisan terpuji, dan
dianjurkan, akan tetapi tangisan yang terpuji dan dianjurkan ialah tangisan
yang benar-benar muncul dari ketulusan dan rasa takut kepada Allah. Adapun
tangisan yang disebabkan karena terbawa oleh suasana dan intonasi suara yang
terkesan pilu nan syahdu, masih perlu dikoreksi ulang. Terlebih-lebih bila hal
itu terjadi dalam suatu acara yang tidak ada contohnya dari Nabi
shollallahu’alaihiwasallam dan para sahabatnya, misalnya acara Indonesia berzikir.
Allah
Ta’ala berfirman:
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling bagus
(yaitu Al Qur’an), sebuah kitab yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi
berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhan-nya
kemudian menjadi luluh kulit dan kalbunya menuju kepada zikir (mengingat)
Allah”. (Az Zumar: 23)
Ketika
menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir As Syafi’i menyebutkan kriteria orang-orang abraar (baik),
diantaranya:
“Kriteria
ketiga: Mereka senantiasa menjaga adab (kesopanan) tatkala mendengarkan
ayat-ayat Al Qur’an, sebagaimana dahulu yang dilakukan oleh para sahabat
–radhiallahu ‘anhum- tatkala mendengar bacaan Al Qur’an dari Rasulullah
shollallahu’alaihiwasallam, kulit mereka tergetar, kemudian menjadi luluh
bersama kalbunya untuk berzikir kepada Allah. Mereka tidaklah berteriak histeris, dan menangis dengan
dibuat-buat, akan tetapi mereka memiliki ketegaran, keteguhan,
kesopanan dan rasa takut, yang tidak akan ada orang yang dapat menyamai mereka
dalam hal itu. Oleh karena itu mereka meraih pujian di dunia dan akhirat dari
Tuhan Yang Maha Tinggi”. [Tafsir Al Qur’an Al ‘Adzim, oleh Ibnu Katsir 4/51].
Demikianlah
yang dilakukan oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dan sahabatnya,
mereka tergetar oleh bacaan Al Qur’an, air mata mereka berlinang, hati mereka
dipenuhi oleh rasa takut kepada Allah. Mereka menangis karena kalbunya dipenuhi
oleh keimanan, bukan karena hanyut oleh suasana dan intonasi komando.
Renungkanlah beberapa riwayat berikut ini:
Dari
sahabat Abdullah bin As Syikhkhir rodiallahu’anhu ia berkata: “Aku pernah menyaksikan Rasulullah
shollallahu’alaihiwasallam sedang shalat, dan di dadanya terdengar suara bak
suara periuk yang mendidih”. (Riwayat Ahmad 4/25, Abu Dawud, 1/390, hadits no:
904, An Nasa’i 3/13, hadits no: 1214, Ibnu Khuzaiman 2/53, hadits no: 900, Ibnu
Hibban 2/439, hadits no: 665, dan Al Hakim 1/396, hadits no: 971).
Ini
menunjukkan bahwa beliau shollallahu’alaihiwasallam menahan tangisnya, sehingga
yang terdengar hanya suara
isakan di dada beliau shollallahu’alaihiwasallam, dan tidak
sampai menjadi tangisan dengan suara keras.
Dalam
riwayat lain:
“Dari sahabat Abdullah bin mas’ud ia berkata: Nabi
shollallahu’alaihiwasallam bersabda kepadaku: Bacakan untukku Al Qur’an. Aku
menjawab: Wahai Rasulullah, apakah layak aku membacanya untukmu, sedangkan Al
Qur’an kepadamu lah diturunkan?! Beliau menjawab: Ya. Maka akupun membaca surat An Nisa’ hingga
sampai pada ayat: “Maka, bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti) apabila
Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat, dan Kami
mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)”.
(An Nisa’: 41). Beliau bersabda: Sekarang berhentilah (cukup)! Dan ternyata
kedua mata beliau telah berlinangkan air mata”. (Riwayat Bukhori 4/1925, hadits
no: 4763).
Beliau
hanya meneteskan air mata, bandingkan dengan tangisan kebanyakan orang pada
zaman sekarang bila mendengar ceramah atau nasehat seorang da’i, mereka
menangis meraung-raung, sehingga masjid menjadi gaduh karena suara tangisan
orang-orang yang menghadiri ceramah itu. Dan renungkan pula kisah berikut ini:
“Dari sahabat ‘Irbadh bin As Sariyyah ? ia berkata:
Pada suatu hari Rasulullah ? shalat berjamaah bersama kami, kemudian beliau
menghadap kepada kami, lalu beliau memberi kami nasehat dengan nasehat yang
sangat mengesankan, sehingga air mata kami berlinang, dan hati kami
tergetar…..”.
Para sahabat
hanya merasakan takut dan tergetar hatinya, dan mata mereka berlinang. Beda
halnya dengan kebanyakan orang pada zaman sekarang, yang menangis
meraung-raung. Subhanallah,
apakah keimanan mereka lebih tinggi dibanding keimanan para sahabat?! Mustahil.
Ataukah
penceramahnya lebih mengena, pandai dan tulus bila dibanding dengan Rasulullah
shollallahu’alaihiwasallam?
Na’uzubillah min dzalika.
Asma’
binti Abi Bakar tatkala mendengar cerita bahwa ada sekelompok orang yang bila
mendengar bacan Al Qur’an, mereka terjatuh pingsan, beliau malah membaca ta’awudz, pertanda
beliau tidak menyukai hal ini, sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikut:
“Abdullah bin Urwah bin Al Zubair, ia berkata: Aku
bertanya kepada nenekku Asma’: Bagaimana dahulu para sahabat Nabi
shollallahu’alaihiwasallam bila mereka membaca Al Qur’an? Ia menjawab: Dahulu
mereka sebagaimana yang disifatkan oleh Allah Azza wa Jalla, berlinang air
matanya dan bergetar kulitnya. Akupun berkata: Sesungguhnya di sini ada
beberapa orang yang bila mendengarkan bacaan Al Qur’an, mereka terjatuh
pingsan: Nenekku berkata: Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan”.
(Riwayat Sa’id bin Manshur 2/330, no: 95, dan Al Baihaqi dalam kitabnya Syu’ab
Al Iman 2/365, no: 2062).
Bila
ada yang bertanya: Kalau demikian, bagaimana caranya membedakan orang yang
benar-benar menangis karena takut kepada Allah dengan orang yang menangis
karena hanyut oleh suasana dan intonasi suara penceramah?
Untuk
menjawab pertanyaan ini, simaklah jawaban seorang tabi’in berikut ini:
“Dari
‘Imran bin Abdil Aziz, ia berkata: Aku pernah mendengarkan Muhammad
bin Sirin ditanya tentang orang yang mendengar bacaan Al Qur’an kemudian ini
jatuh pingsan. Ia menjawab: untuk membuktikan kebenaran mereka, silahkan mereka
duduk di atas tembok pagar, kemudian mereka diperdengarkan bacaan Al Qur’an
dari awal hingga selesai, bila mereka tetap terjatuh, maka mereka benar-benar
seperti apa yang mereka katakan (benar-benar khusyu’)”. [Riwayat Abu Nu’aim ,
dalam kitabnya Hilyah Al Auliya’ 2/265].
Metode
Muhammad bin Sirin ini adalah metode paling tepat untuk membuktikan kebenaran dan ketulusan tangis
orang-orang yang menangis disaat berzikir dan mengaminkan do’a orang lain.
Dan
menurut hemat saya, yang perlu ditanyakan dan direnungkan lebih mendalam dan
pada setiap saat ialah: Mengapa
masyarakat kita sekarang menangisnya hanya pada saat mendengar ceramah
seseorang atau mengaminkan do’a seseorang, sedangkan tatkala mendengar bacaan
Al Qur’an atau membaca Al Qur’an tidak ada tangisan? Apalagi
tangisan, sebutir air mata saja tidak ada, terlebih-lebih bila ia membaca Al
Qur’an di kesunyian, dan tidak ada yang mendengar bacaannya?!.
Apakah
ceramah, nasehat, dan do’a penceramah itu lebih fasih, mengena, tulus bila
dibanding dengan bacaan Al Qur’an?
Saya
ingin mengajak pembaca yang budiman untuk jujur pada diri sendiri, dan bertanya
kepada hati nurani masing-masing: Mengapa kalau mendengar orang yang lembut
suaranya dan merdu irama bacaannya kita merasa lebih khusyu’, sedangkan bila
kita mendengar orang yang fales
suaranya dan kurang enak iramanya, kita kurang khusyu’ atau
bahkan tidak khusyu’?! Apakah Al Qur’annya berbeda, ataukah hati kita lebih terpengaruh
oleh suara seseorang daripada makna Al Qur’an?
Marilah
kita jujur kepada diri sendiri, sehingga kita tidak mendustai hati nurani kita,
dan -na’uzubillah- tidak mendustai Allah.
Dan
contoh nyata, mari kita renungkan baik-baik kisah birikut ini:
“Dari
Nuh bin Qais, ia menuturkan: Antaraku dan saudaraku Khalid dengan ‘Amer bin
‘Ubaid (tokoh golongan Mu’tazilah -pen) terjalin persahabatan, sehingga ia
sering berkunjung ke rumah kami. Dan bila ia mendirikan shalat di masjid, ia
berdiri bak sebatang kayu, maka akupun berkata kepada saudaraku Khalid:
Tidakkah engkau lihat ‘Amr, betapa khusyu’nya dan betapa rajinnya ia
beribadah?! Maka saudaraku Khalid menjawab: Apakah engkau tidak pernah
melihatnya bila ia shalat di rumah, bagaimanakah ia mendirikan shalat?! Maka
akupun melihatnya tatkala ia shalat dirumah, ternyata ia menoleh ke kanan dan
ke kiri”. [Lihat kisah ini di kitab Ad Dhu’afa’ oleh Al ‘Uqaili, dan 3/285,
Mizan Al I’itidal oleh Az Zahabi 5/333].
Bertanyalah
kepada hati nurani kita: Mengapa tatkala saya mengaminkan do’a guru pengajian,
saya terasa lebih khusyu’ sedangkan bila berdo’a sendiri tidak sedemikian
khusyu’?
Ini
semua akan kita pertanggung jawabkan di hadapan Allah Ta’ala, kelak pada hari
qiyamat. Pada saat itu kita tidak akan dapat berpura-pura dihadapan-Nya,
sebagaimana digambarkan dalam firman Allah Ta’ala berikut ini:
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, dan berkatalah
kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa
yang dahulu mereka lakukan”. (Yaasiin: 65)
Kritikan ketiga:
Pada
hal: 101, bapak Kyai berkata: “kami
yakin betul bahwa menangis beliau (yaitu Muhammad Arifin Ilham) itu karena
begitu khusyu’nya, takut akan azab Allah dan mengharapkan tegaknya syari’at
Islam di bumi Indonesia
ini”.
Yang
ingin saya katakan pada kesempatan ini ialah:
Allah
Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman:
“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci, Dialah
yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa”. (An Najem: 32)
“Dari Abdurrahman bin Abi Bakrah dari ayahnya, ia
berkata: Ada seorang lelaki memuji di hadapan Nabi shollallahu’alaihiwasallam
seorang lelaki lain, maka beliau bersabda: Celaka engkau, engkau telah
memenggal leher kawanmu, engkau telah memenggal leher kawanmu, (beliau bersabda
demikian) berkali-kali. Kemudian beliau bersabda: barang siapa merasa terpaksa
memuji saudaranya, maka hendaknya ia berkata: Saya rasa/duga/kira si fulan
(demikian) –dan Allahlah yang akan menghisabnya dan saya tidak mendahului Allah
dalam menganggap suci seseorang-, saya kira dia itu demikian, demikian, bila
hal (pujian/kelebihan) itu memang ada padanya”. (Riwayat Bukhori 2/946, hadits
no: 2519, dan Muslim, 4/2296, hadits no: 3000).
At
Thiibi berkata: “Maksud hadits ini: hendaknya ia (orang yang memuji) berkata:
saya duga/kira bahwa si fulan itu demikian, bila benar-benar ia merasakan bahwa
orang itu demikian halnya, dan Allahlah yang mengetahui isi hatinya, karena
Dia-lah yang akan memberinya balasan, dan jangan sekali-kali ia berkata: saya yakin betul dan telah
membuktikan dengan nyata hal ini pada orang itu“. [Lihat Fath
Al Bari, oleh Ibnu Hajar Al Asqalani 10/477].
Ibnu
hajar Al ‘Asqalani memberikan penjelasan, mengapa Rasulullah
shollallahu’alaihiwasallam melarang kita untuk memberikan pujian dengan cara
pasti semacam ini:
“Bisa
saja ia mengatakan sesuatu yang belum ia buktikan, yaitu berupa hal-hal yang
tidak mungkin untuk dia ketahui. Oleh karenanya Nabi shollallahu’alaihiwasallam
bersabda: “hendaknya ia berkata: saya duga/kira”, yang demikian ini seperti
ucapan: sesungguhnya
orang ini adalah orang yang wara’, bertaqwa, dan zuhud, beda
halnya bila ia berkata: Aku pernah melihat dia mendirikan shalat, atau
menunaikan haji atau membayar zakat, karena hal-hal ini dapat disaksikan secara
langsung. Walau demikian, tetap saja (pujian itu) dapat menjadi petaka bagi
orang yang dipuji, karena tidak ada jaminan bahwa pujian itu tidak menumbuhkan
rasa sombong dan congkak padanya, atau menjadikannya merasa cukup dengan pujian
orang itu, sehingga ia menjadi malas beramal. Karena –biasanya- hanya orang
yang istiqomah dalam amalannya-lah yang dapat menyadari bahwa dirinya kurang
beramal”. [Ibid 10/478].
Sebagai
bukti dari ucapan Ibnu Hajar ialah firman Allah Ta’ala:
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka
berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu) bahwa mereka akan kembali
kepada Tuhan mereka. Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan
merekalah orang-orang yang segera mendapatkannya”. (Al Mukminun: 60)
Istri
Nabi shollallahu’alaihiwasallam ‘Aisyah –radhiallahu ‘anha- bertanya kepada
Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam tentang maksud ayat ini, apakah mereka
itu adalah orang-orang yang minum khamer dan mencuri, kemudian mereka takut
kepada Allah? Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam menjawab:
“Bukan wahai putri (Abu Bakar) As Siddiq! Akan tetapi
mereka adalah orang-orang yang menjalankan puasa, mendirikan shalat dan
menunaikan zakat, sedangkan mereka merasa takut bila
amalan mereka tidak diterima, mereka itulah
orang-orang yang bersegera dalam kebaikan-kebaikan”. (Riwayat Ahmad 6/159, At
Tirmizi 5/327, hadits no: 3175, dan Ibnu Majah 2/1404, hadits no: 4198).
Bapak
Kyai yang terhormat, bandingkanlah ayat, hadits dan keterangan ulama’ di atas
dengan klaim bapak terhadap Muhammad Arifin Ilham: “kami yakin betul
bahwa menangis beliau (yaitu Muhammad Arifin Ilham) itu karena begitu
khusyu’nya, takut akan azab Allah dan mengharapkan tegaknya syari’at Islam di
bumi Indonesia
ini”. Camkanlah ini baik-baik, semoga kita semua senantiasa mendapatkan hidayah
dan taufiq dari Allah Ta’ala, Amiin.
Agar
tidak timbul komentar miring tentang tulisan saya ini, pada kesempatan ini saya
juga berkata: bahwa saya juga tidak setuju dengan orang yang mengatakan bahwa:
“M Arifin Ilham itu hanya pandai menjual air mata”, akan tetapi mari kita
serahkan semuanya kepada Allah, hanya Dia-lah yang tahu isi hati dan jati diri
Muhammad Arifin Ilham, dan Dia pulalah yang akan menghisab seluruh amalan M.
Arifin Ilham dan juga amalan kita semua.
C. Hukum mengusap wajah setelah berdo’a
Pada
pembahasan ini, bapak Kyai menyatakan bahwa mengusapkan kedua telapak tangan
seusai berdo’a ialah sunnah dan termasuk salah satu etika yang telah
dicontohkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian beliau
berdalil dengan hadits riwayat Umar bin Al Khatthab rodiallahu’anhu berikut
ini:
“Dahulu Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bila
mengangkat kedua tangannya tatkala berdo’a, tidaklah menurunkannya hingga
mengusapkannya ke wajah beliau”. (Riwayat At Tirmizi 5/463, hadits no: 3386,
‘Abd bin Humaid 1/44, hadits no: 39, Al Bazzar 1/243, hadits no: 129, At
Thabrani dalam Mu’jam Al Ausath 7/124, hadits no: 7053, dan Al Hakim 1/719,
hadits no: 1967, semuanya melalui jalur perawi yanng bernama Hammad bin ‘Isa Al
Juhani).
Seluruh
sanad hadits ini bertemu pada seorang perowi yang bernama Hammad bin ‘Isa Al
Juhani, dan karenanya lah seluruh ulama’ memvonis dhaif/lemah hadits
ini. Diantara ulama’ ahli hadits yang telah memvonis dhaif ialah:
1. Abu
Zur’ah Al Razi, ia berkata: “Ini adalah hadits mungkar, dan saya kawatir
jangan-jangan hadits ini tidak ada asal usulnya (palsu)”. [’Ilal Ibnu Abi
Hatim, oleh Abdurrahman bin Muhammad Ar Razi 2/205].
2. Yahya
bin Ma’in, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Jauzi. [Al ‘Ilal Al
Mutanahiyah oleh Ibnu Jauzi 2/840].
3. Al
Bazzar, ia berkata: “Hadits ini yang meriwayatkannya dari Handholah hanyalah Hammad
bin ‘Isa, dan dia ini lemah haditsnya… dan saya tidak ada pilihan lain,
sehingga saya cantumkan hadits ini, karena (mengusap muka dengan kedua telapak
tangan setelah berdo’a) tidaklah diriwayatkan dari Nabi
shollallahu’alaihiwasallam melainkan dalam riwayat lemah semacam ini, atau
bahkan lebih lemah lagi”. [Al Musnad, oleh Abu Bakar Ahmad bin ‘Amer Al Bazzar
1/243].
4. Az
Zahabi. [Siyar A’alam An Nubala’, oleh Az Zahabi 16/67].
5. An
Nawawi. [Al Majmu’ Syarah Al Muhazzab, Oleh An Nawawi 3/463, dan Al Adzkar
355].
Adapun
ucapan Al Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqalani berikut ini:
“Hadits
ini memiliki beberapa pendukung, diantaranya riwayat Ibnu Abbas –radhiallahu
‘anhuma- yang telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dan yang lainnya, dan paduan
seluruh riwayat ini menjadikan hadits ini meningkat menjadi hadits hasan (hasan
lighairihi)”, maka perlu diketahui bahwa ucapan beliau ini oleh banyak ulama’
dinyatakan tidak dapat diterima, karena beberapa hal berikut:
1. Hadits
hasan lighairihi menurut istilah Ibnu hajar ialah hadits yang diriwayatkan oleh
perawi yang belum diketahui statusnya (mastur) bila diriwayatkan dari beberapa
jalur sanad (rentetan perawi) yang berbeda. [Lihat keterangan beliau tentang
hadits Hasan Lighairihi pada kitab beliau NuzhatunnNnadhar Fi taudlih Nukhbatil
Fikar, 139-140].
2. Ibnu
Hajar telah berkata tentang perawi di atas, yaitu Hammad bin ‘Isa Al Juhani,
bahwa ia adalah perawi yang dhaif, berikut ini ucapan beliau tentangnya:
“Hammad bin ‘Isa bin ‘Ubaidah bin Al
Thufai Al Juhani Al Wasithi, penduduk Bashrah, dhaif, tergolong kedalam
generasi ke sembilan, ia mati tenggelam di daerah Juhfah, pada tahun: 208″.
[Taqrib At Tahzib oleh Ibnu Hajar Al Asqalani 81].
Padahal menurut istilah Al Hafidz Ibnu
Hajar Al ‘Asqalani, orang yang ia vonis dhaif, ia kategorikan ke dalam
tingkatan ke delapan, yaitu: tingkatan orang-orang yang tidak ada satu
ulama’pun yang menganggapnya kuat dalam periwayatan hadits, akan tetapi ada
ulama’ ahli hadits yang memvonisnya dhaif atau lemah, walaupun vonis ini tidak
dijelaskan sebabnya. [Baca Muqaddimah kitab Taqrib At Tahzib oleh Ibnu hajar Al
‘Asqalani].
Dan
bila kita merujuk kepada pembagian Ibnu Hajar dalam kitabnya Taqrib Al Tahzib,
maka kita dapatkan bahwa tingkatan dhaif adalah tingkatan kedelapan, berarti
tingkatan ini lebih rendah bila dibanding dengan tingkatan mastur, yang beliau
posisikan pada tingkatan ketujuh.
Ditambah
lagi, bila kita mengkaji ulang biografi perawi ini, kita akan dapatkan bahwa
Ibnu Hibban telah menyebutkan alasan mengapa orang ini divonis lemah, yaitu
karena diragukan ‘adalah-nya (kredibilitasnya).
Ibnu
Hibban berkata:
“Hammad
bin ‘Isa Al Juhani, seorang syeikh, ia meriwayatkan dari Ibnu Juraij, dan Abdul
‘Aziz bin Umar bin Abdil Aziz, beberapa riwayat yang terbolak-balik. Sehingga
orang yang perlakuannya semacam ini, dapat diduga cacat riwayatnya, dan tidak
boleh dijadikan hujjah/dalil”.
Sedangkan
Az Zahabi berkata:
“Hammad
Al Juhani, ialah seorang yang mati tenggelam di Juhfah, ia
meriwayatkan dari Ja’far As Shaadiq dan Ibnu Juraij beberapa riwayat yang
sangat jelek”. [Mizan Al I’itidal, oleh Az Zahabi 2/369].
Sehingga
seharusnya perawi ini dikatagorikan oleh Ibnu Hajar ke dalam tinggkatan yang
lebih rendah dari tingkatan ke delapan.
Dengan
penjelasan ini, kita dapat simpulkan bahwa hadits sahabat ‘Umar bin Khatthab
ini bila diteliti lebih mendalam dengan menggunakan penjelasan Ibnu Hajar
tentang hadits hasan lighairihi tidak dapat dianggap sebagai hadits hasan
lighairihi. Sehingga ucapan Ibnu Hajar di atas tidak sesuai dengan penjabaran
beliau sendiri, sehingga tidak dapat diterima. [Bagi yang ingin mendapatkan penjelasan
dan takhrij lengkap tentang hadits ini, silahkan baca buku Juz’un Fi mash Al
Wajhi Bi Al yadain Ba’da Raf’ihima Li Ad Du’a, oleh Baker bin Abdillah Abu
Zaid].
Kemudian
yang menurut hemat saya perlu untuk dikritikkan kepada bapak Kyai Dimyathi pada
pembahasan ini ialah sikap beliau yang kurang obyektif dalam membahas masalah
ini. Beliau tahu bahwa para ulama’ berbeda pendapat tentang hal ini, akan
tetapi beliau hanya menukilkan satu pendapat saja, sehingga terkesan bahwa
seluruh ulama’ sependapat dengan mereka. Terlebih-lebih beliau pada hal: 133
berkata: “berdasarkan
hadis-hadis di atas itulah, para ulama berfatwa bahwa mengusap wajah setelah
berdo’a itu hukumnya sunat”. Padahal tidak demikian itu halnya,
yang berfatwa demikian hanyalah sebagian ulama’ bukan seluruhnya.
Salah
satu buktinya adalah Imam An Nawawi sendiri, beliau memiliki dua pendapat yang
saling bertentangan: Pada kitab Al Majmu’ beliau menyatakan yang benar ialah
tidak mengusap wajah, sedangkan dalam kitab Al Adzkar beliau menyatakan disunnahkannya
mengusap wajah seusai berdo’a. [Lihat Al Majmu’ Syarah Al Muhazzab 3/463, dan
Al Adzkar 355].
Bahkan
Sulthan Al Ulama’ Izzuddin bin Abd Al Salam berkata:
“Dan
tidaklah ada orang yang mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya seusai
berdo’a melainkan orang bodoh”. [Al Fatawa Al Mushiliyyah, oleh Izzuddin bin
Abd Al Salam 34].
Kemudian
pada pembahasan ini bapak Kyai menukilkan perkataan Imam An Nawawi tentang
hukum beramal dengan hadits dhaif, beliau berkata:
“Ulama’
ahli hadits dan fiqih dan yang lainnya menyatakan: boleh dan dianjurkan dalam
hal fadla’il (keutamaan suatu amalan, At Targhib wa At Tarhib (memotivasi dan
menakut-nakuti) untuk menggunakan hadits dhaif, selama tidak termasuk hadits
maudlu’ (palsu). Adapun berkenaan dengan hukum-hukum, seperti halal, haram,
jual-beli, pernikahan, perceraian, dan lainnya, maka tidak boleh diamalkan
kecuali hadits shahih, atau hasan, kecuali dalam rangkan kehati-hatian dalam
hal-hal tersebut”. [Al Azkar, oleh Imam An nawawi, 7-8].
Ucapan
An Nawawi ini sering disalahpahami oleh banyak orang. Agar maksud beliau ini
menjadi jelas, saya akan nukilkan penjelasan Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani
tentang hukum beramal dengan hadits dhaif dalam fadla’ilul A’amal:
“As
Sakhawi berkata: Saya pernah mendengar dari guruku rahimahullah – yaitu Al
Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani- berkata dan kemudian beliau menuliskannya
untukku dengan tulisan tangannya sendiri: “Sesungguhnya syarat beramal dengan hadits dhaif ada
tiga:
1. Syarat
yang disepakati oleh seluruh ulama’: hendaknya hadits itu tidak terlalu lemah,
dengan demikian hadits-hadits yang hanya diriwayatkan oleh para
pendusta/pemalsu, orang-orang yang dituduh berdusta/memalsukan hadits, dan
orang yang banyak melakukan kesalahan dalam periwayatan hadits tidak
dimaksudkan dalam hal ini.
2. Hendaknya
amalan itu tercakup oleh suatu dasar/dalil yang bersifat umum, sehingga amalan
yang diada-adakan, dan tidak memiliki dasar hukum (dalil) sama sekali tidak
dimaksudkan di sini.
3. Hendaknya
ketika mengamalkannya, tidak diyakini akan keabsahan hal tersebut, agar tidak
dinisbatkan kepada Nabi shollallahu’alaihiwasallam suatu hal yang tidak pernah
beliau sabdakan.
Kemudian
yang perlu di tekankan lagi, bahwa yang dimaksudkan oleh para ulama’ dari kata Fadla’ilul A’amal ialah:
keutamaan atau pahala atau ganjaran amalan-amalan yang benar-benar telah
diajarkan dan ada dalilnya dalam syari’at, bukan mengadakan amalan-amalan yang
dianggap utama atau baik, walau tidak ada dalilnya. Oleh karenanya para ulama’
mengungkapkannya dengan sebutan Fada’ilul
A’amal, bukan A’amal
Al faadlilah. Saya rasa orang yang mengerti bahasa arab, walau
sedikit, ia dapat membedakatan antara dua ungkapan ini.
Untuk
lebih jelasnya mari kita simak penjelasan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah:
“Beramal
dengan hadits dla’if maksudnya ialah: Hati kita mengharapkan pahala itu atau
takut tertimpa hukuman itu, layaknya seorang pedagang mengetahui bahwa
perdagangan akan mendatangkan keuntungan, akan tetapi ia mendengar kabar bahwa
perdagangan kali ini akan mendatangkan keuntungan besar. Maka kabar ini
seandainya benar adanya, niscaya ia diuntungkan, dan bila tidak benar, ia tidak
dirugikan. Demikian inilah halnya At Targhib wa At Tarhib (memotivasi dan
menakut-nakuti) dengan kisah-kisah Bani Israel, mimpi-mimpi, ucapan ulama’
terdahulu, berbagai kejadian yang dialami oleh ulama’ dan lainnya yang tidak
boleh dijadikan dasar/dalil untuk menetapkan suatu hukum syari’at –bila hanya
berdasarkan hal-hal itu-, baik itu hukum sunnah atau lainnya. Akan tetapi boleh
disebutkan tatkala menyampaikan At
Targhib wa At Tarhib, membangkitan harapan, dan menumbuhkan rasa
takut”. [Majmu’ fatawa, oleh Ibnu Taimiyyah 18/66].
Inilah
maksud para ulama’ dengan ucapan: Boleh beramal dengan hadits-hadits dlaif
dalam fadla’ilul A’amal.
Bila
kaidah ini telah jelas, mari kita terapkan pada permasalahan ini, yaitu
mengusapkan kedua telapak tangan pada wajah, seusai berdo’a:
Setelah
ditelusuri, dan dikaji dengan mendalam, kita dapatkan bahwa para ulama’ sepakat
menyatakan bahwa: Seluruh hadits-hadits yang berkaitan dengan hal ini lemah, sehingga tidak ada dasar/dalil yang
kuat untuk menetapkan hukum sunnah bagi amalan ini. Dan amalan
ini juga tidak tercakup oleh dalil-dalil lain yang bersifat umum, sebab
dalil-dalil yang menganjurkan kita untuk berdo’a tidak menyinggung/mencakup
metode berdo’a dengan cara mengusapkan kedua telapak tangan ke wajah, sehingga
amalan ini tidak disunnahkan. Dan hadits-hadits yang berkaitan dengan hal ini
tidak dapat dikatagorikan ke dalam hadits-hadits fadla’ilul A’amal, karena hadits-hadits itu tidaklah
menyebutkan keutamaan suatu amalan, akan tetapi mensyari’atkan
suatu amalan, sehingga dikategorikan ke dalam hadits-hadits Al A’amal Al fadlilah.
Semoga
dengan penjelasan ini, kesalahpahaman semacam ini tidak terulang lagi, dan
bapak Kyai lebih berhati-hati dalam berfatwa.
Yang
lebih tidak dapat diterima dari ucapan bapak Kyai pada pembahasan ini ialah
ucapan beliau pada hal: 134, yaitu: “dari
fatwa para ulama’ tadi, dapat dipahami bahwa mengusap wajah dengan kedua tangan
setelah berdo’a itu adalah sunat, dan dinilai sebagai orang yang mengikuti
sunnah Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam. Logikanya, orang yang tidak mau
mengusap wajahnya setelah berdo’a adalah orang yang melakukan bid’ah, tidak sesuai dengan sunnah Nabi
shollallahu’alaihiwasallam”.
Pada
penggalan ucapan bapak Kyai ini ada beberapa hal yang perlu diluruskan:
Pertama: Memastikan bahwa
ini adalah sunnah Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, padahal para ulama’
sendiri berbeda pendapat dalam hal ini, bahkan Imam An Nawawi As Syafi’i dalam
kitabnya Al Majmu’ menyebutkan bahwa ulama’ mazhab Syafi’i memiliki tiga
pendapat yang berbeda dalam permasalahan ini. Dengan demikian saya anjurkan
agar bapak Kyai menjadikan hal ini sebagai pertimbangan, agar dapat bersikap
obyektif.
Kedua: Vonis bid’ah
terhadap orang yang tidak mengusap wajahnya seusai berdo’a adalah vonis
sepihak, dan tanpa didasari oleh etika keilmuan, sebab betapa banyak hadits
shahih yang menyebutkan bahwa Nabi ? dan juga para sahabatnya berdo’a, akan
tetapi tidak disebutkan dalam riwayat-riwayat shahih itu, bahwa mereka mengusap
wajahnya. [Saya rasa bahwa bapak Kyai Dimyathi mengetahui hadits-hadits yang
saya maksudkan, karena beliau adalah seorang yang dikenal sebagai pakar hadits
di bumi Pasundan].
Oleh
karena itu, mari kita simak bagaimana etika seorang ulama’ tatkala mengomentari
permasalahan ini, agar bisa dibandingan dengan sikap bapak Kyai Dimyathi:
Imam
Al Baihaqi dalam kitabnya As Sunan Al Kubra berkata:
“Adapun
masalah mengusap wajah dengan kedua telapak tangan seusai berdo’a, maka saya
tidak ingat dari seorang ulama’ salafpun (ulama’ terdahulu) bahwa ia
melakukannya dalam do’a qunut, walaupun
itu diriwayatkan dari sebagian mereka ketika berdo’a di luar shalat. Dan telah
diriwayatkan juga suatu hadits dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam tentangnya,
akan tetapi haditsnya lemah, dan walau demikian hadits ini
diamalkan oleh sebagian mereka di luar shalat. Adapun mengusap wajah di dalam
shalat (seusai berdo’a dalam shalat), maka itu adalah amalan yang tidak ada
dalilnya yang shahih, tidak ada riwayat dari ulama’ salaf (atsar), juga tidak
ada dalil berupa qiyas, maka yang utama ialah kita tidak melakukannya, dan
mencukupkan diri dengan apa yang telah dilakukan oleh ulama’ salaf –semoga
Allah meridhai mereka- yaitu seusai berdo’a dalam shalat cukup mengangkat
tangan tanpa mengusapkannya ke wajah”. [As Sunan Al Kubra Oleh Imam Al Baihaqi
2/212].
Betapa
tinggi kesopanan dan etika keilmuan beliau dalam membahas suatu permasalahan,
walaupun beliau tidak sependapat dengan orang yang mengusapkan tangannya ke
wajah, akan tetapi beliau berkata dengan penuh penghargaan: walaupun itu diriwayatkan dari
sebagian mereka ketika berdo’a di luar shalat, dan telah diriwayatkan juga
suatu hadits dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam tentangnya, akan tetapi
haditsnya lemah, dan walau demikian hadits ini diamalkan oleh sebagian mereka
diluar shalat”.
Ketiga: Vonis bid’ah yang
dilakukan oleh bapak Kyai ini bertentangan
dengan definisi kata Sunnah, karena kata Sunnah disini yang dimaksud ialah
sunnah menurut definisi ulama’ fiqih bukan sunnah yang berarti metode yang berarti lawan dari
bid’ah, dengan demikian makna As Sunnah disini ialah: “Suatu pekerjaan yang pelakunya
terpuji dan orang yang meninggalkannya tidak tercela”, sebagaimana
yang telah disebutkan pada awal buku ini.
Bila
pencampur adukan antara penggunaan kata Sunnah menurut istilah ulama’ fiqih dan
kata Sunnah yang berarti lawan dari bid’ah, tidak diluruskan, maka saya jamin
bahwa seluruh umat Islam telah melakukan bid’ah, karena pasti mereka tidak akan
mampu menjalankan semua amalan-amalan sunnah Nabi shollallahu’alaihiwasallam,
misalnya puasa Dawud (yaitu satu hari berpuasa dan satu hari selanjutnya tidak
berpuasa, demikian ini seterusnya), shalat malam terus menerus, menikahi lebih
dari satu wanita, dan amalan-amalan sunnah lainnya. Oleh karena itu hendaknya
pencampur adukan semacam ini tidak terjadi lagi dimasa mendatang, agar tidak
muncul vonis-vonis miring semacam ini.
Sebelum
saya mengakhiri tulisan saya ini, mungkin ada satu pertanyaan yang mungkin
terngiang-ngiang di benak banyak orang. Pertanyaan itu ialah:
Mengapa tasawuf akhir-akhir ini tumbuh subur, bak jamur
di musim penghujan?
Untuk
menjawab pertanyaan ini, saya harapkan para pembaca tidak bosan bila saya
kembali menukil kisah berikut ini:
Syeikhul
Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tatkala dikatakan kepada At Tilmisani:
Sesungguhnya Al Qur’an bertentangan dengan kitab kalian Al Fushus. Ia menjawab:
Seluruh isi Al Qur’an ialah kesyirikan, sesungguhnya tauhid hanya ada pada
ucapan kami. Maka dikatakakan lagi kepadanya: Kalau kalian mengatakan bahwa
seluruh yang ada adalah hanya satu (esa), mengapa seorang istri halal untuk
disetubuhi, sedangkan saudara wanita haram? Maka ia menjawab: Menurut kami
semuanya halal (untuk disetubuhi), akan tetapi mereka orang-orang yang telah
terhalangi dari penyaksian keesaan seluruh alam, mengatakan: Saudara wanita itu
haram, maka kamipun ikut-ikut mengatakan haram”. [Majmu’ Fatawa oleh Ibnu
Taimiyyah 13/186].
Inilah
salah satu sebab maraknya tasawuf belakangan ini, yaitu sebagai kedok bagi
berbagai penyelewengan terhadap ajaran agama dan norma-norma masyarakat,
semuanya dengan alasan wali, telah mencapai tingkatan ma’rifat, di dadanya ada
malaikat dst.
Ibnu
Timiyyah berkata:
“Para
ahli ibadah yang zuhud itu, yang beribadah kepada Allah dengan dasar akal
pikiran, perasaan dan bayangan mereka sendiri, bukan dengan dasar perintah dan
larangan ilahi, akhir perjalanan mereka ialah pengumbaran hawa nafsu mereka,
Allah berfirman:
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang
mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun”.
(Al Qashash: 50) ……Sehingga yang ma’ruf (baik) ialah yang sesuai dengan
hawa nafsu, kesukaan, bayangan dan perasaan mereka. Sedangkan kemungkaran ialah
sesuatu yang mereka benci dan dijauhi oleh hati mereka”. [Ibid 13/223-224].
Faktor
selanjutnya ialah seperti yang tersirat dalam ucapan dua orang tokoh mereka
berikut ini:
Ibnu
‘Arabi berkata:
“Dan
seorang yang telah berhasil mencapai kesempurnaan tingkatan ma’rifah, niscaya
ia akan dapat melihat bahwa setiap yang disembah itu adalah tempat penampakan
Al Haq (Allah) yang disanalah Ia disembah. Oleh karenanya mereka menyebutnya
Tuhan (Ilah), bersama sebutannya yang khusus, yaitu: bebatuan, pepohonan,
binatang, manusia, bintang atau malaikat”. [Fushush Al Hikam Oleh Ibnu Arabi
195, melalui perantaraan kitab Taqdis Al Asykhash Fi Al Fikr Al Sufi, oleh
Muhammad Ahmad Lauh, 1/563].
Abu
Yazid Al Busthami berkata:
“Aku
pernah terjauh dari Allah selama tiga puluh tahun, dan kejauhanku dari-Nya itu
terjadi pada saat saya mengingat-Nya, dan tatkala aku meninggalkan-Nya, justru
aku mendapatkan-Nya kapanpun aku berada, seakan-akan
Dia adalah aku“. [Hilyah Al Auliya’, oleh Abu Nu’aim 10/35].
Musuh-musuh
Islam tidak merasa tentram bila umat Islam di mana saja mulai menyadari akan
sumber kelemahan mereka, yaitu terjauhnya mereka dari iman dan amal shaleh,
sehingga tatkala mereka melihat kaum muslimin mulai ditumbuhi kesadaran
beragama dan keinginan untuk kembali kepada ajaran agama Islam, dan mulai
terdengar tuntutan penerapan syariat Islam, maka senjata ampuh yang dapat
mereka gunakan ialah dengan mendukung berbagai gerakan dan praktek tasawuf.
Karena mereka tahu bahwa puncak tasawuf ialah idiologi wihdatul wujud, yang
merupakan saudara kembar wihdatul adyan. Mari kita bersama merenungkan ucapan
tokoh mereka:
Oleh
karena itu salah seorang tokoh orientalis yang beragamakan Nasrani, yang
bernama Nicholson, berkata: “Sebagaimana telah diketahui dengan baik, bahwa
aliran-aliran tasawuf orang-orang Islam dengan berbagai gagasannya, telah
menumbuhkan dampak yang cukup kuat, dan mereka telah membukakan ladang yang
cukup subur bagi sebuah masyarakat dari berbagai agama yang berbeda-beda,
dengan tetap menjalankan simbol-simbol keagamaannya masing-masing, mereka
saling bersatu dengan jiwa saling toleransi dan saling berimbal balik
pengertian”. [Mausu’ah Al Mustasyriqin, hal: 416, melalui perantaraan kitab:
Taqdis Al Asykhash Fi Al Fikr Al Sufi, oleh Muhammad Ahmad Lauh 1/570].
Dan
sebagai salah satu bukti nyata yang terjadi di bumi Nusantara, ialah ucapan
seorang penceramah kondang Aa Gym, yang dinukilkan oleh saudara Abdurrahman Al
Mukaffi dalam bukunya “RAPOT MERAH AA GYM” hal: 5: Aa Gym berkata dihadapan 500
jemaat nasrani: “Saudara-saudara,
kita memang berbeda agama. Tapi kita mempunyai kesamaan, sama-sama mempunyai
hati”.
Dan
sebagai contoh kedua: do’a bersama antar agama yang dilaksanakan di Senayan
Jakarta pada bulan Agustus 2000. Bukankah yang mempelopori kegiatan ini ialah
sebuah organisasi yang meresmikan tariqat tasawuf dengan memberikan julukan tariqat mu’tabarah?! Waallahul
Musta’an, Walaa Haula Walaa Quwwata Illa Billah.
Dan
sebagai contoh kedua: do’a bersama antar agama yang dilaksanakan di Senayan
Jakarta pada bulan Agustus 2000. Bukankah yang mempelopori kegiatan ini ialah
sebuah organisasi yang meresmikan tariqat tasawuf dengan memberikan julukan tariqat mu’tabarah?!
Waallahul Musta’an, Walaa
Haula Walaa Quwwata Illa Billah.
Dan
mungkin juga musuh-musuh islam ingin mengulang kembali kesuksesan mereka dalam
menindas dan menyengsarakan umat islam di Indonesia, yaitu takala mereka
berhasil memperalat sebagian kaum muslimin untuk menjadi budak para penjajah
Koloni Belanda (baca: Misionaris Nasrani Belanda), sehingga terjadilah perang
saudara di tengah-tengah kaum muslimin. Sebagai contoh dari ucapan saya adalah:
kisah pilu Perang Padri, yaitu peperangan antara kaum muslimin yang menentang
penjajah dan gerakan kristenisasi, dan mereka dipimpin oleh Imam Bonjol,
melawan budak-budak Belanda, yang dikenal dengan kaum adat.
Dan
contoh lain dari keberhasilan mereka adalah suara kongres pertama Nahdhatul
Ulama’ (NU), yang menjunjung tinggi pemerintah Belanda, dan menyebutnya sebagai
pemerintah adil, selaras dengan islam, dan patut dijunjung sepuluh jari, dan
setiap tokoh yang menentang pemerintah Belanda, patut untuk diasingkan. [Baca
buku: Bila Kyai Dipertuhankan, oleh Hartono Ahmad Jaiz dan Abduh Zulfidar Akaha
265].
KHATIMAH
Dari
berbagai uraian dan penjelasan di atas telah jelaslah beberapa hal berikut:
1. Kata
As Sunnah memiliki tiga penggunaan, dan memahami perbedaan antara masing-masing
penggunaan akan menjaga kita dari terjerumus kedalam kesalahpahaman terhadap
dalil-dalil dan ucapan para ulama’.
2. Setiap
bid’ah pasti sesat, dan setiap kesesatan diancam dengan neraka. Dan tidak ada
dalam ajaran agama Islam sesuatu yang disebut bid’ah hasanah.
3. Meruju’
kepada pemahaman para ulama’ dalam memahami ayat atau hadits sangat penting,
agar pemahaman kita terhadap dalil tidak setengah-setengah, karena mereka telah
meneliti seluruh dalil yang berkaitan dengan setiap permasalahan, dan kemudian
menggabungkan seluruh pemahaman terhadap dalil itu, sehingga kesimpulan mereka
lebih dekat kepada kebenaran, daripada kesimpulan kita sendiri.
4. Zikir
adalah salah satu ibadah kepada Allah, sebagaiman halnya ibadah shalat harus
sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi shollallahu’alaihiwasallam, demikian
juga halnya dengan zikir kepada Allah Azza wa Jalla.
5. Dalil-dalil
yang berkenaan dengan keutamaan dan anjuran berzikir kepada Allah, bukan hanya
diperoleh oleh orang yang membaca takbir, tasbih, tahlil, dan tahmid saja, akan
tetapi diperoleh pula oleh setiap orang yang beramal shaleh dengan tulus dan
ikhlas karena Allah. Karena arti zikir adalah mengingat, dan setiap orang yang
menjalankan keta’atan kepada Allah, berarti ia telah mengingat Allah Azza wa
Jalla.
6. Tidak
ada dalil satupun yang menganjurkan atau membolehkan berzikir berjama’ah,
sebagaimana yang sekarang sedang marak digalakkan di negeri kita tercinta Indonesia,
dengan satu suara, satu bacaan, dan dikomando oleh satu orang. Adapun zikir
dengan pemahaman yang lebih luas, yang mencakup segala amal kebaikan, -misalnya
pengajian- maka boleh dan bahkan dianjurkan untuk dilakukan dengan berjama’ah.
7. Zikir
yang dianjurkan dalam syari’at Islam ialah zikir yang dilakukan dengan cara
merendahkan suara, atau kalaupun mengeraskannya, maka suaranya tidak boleh
sampai mengganggu orang lain yang sedang beribadah pula.
8. Menangis
ketika berzikir adalah salah satu sifat terpuji, asalkan menangisnya
benar-benar karena Allah, oleh karena itu dalam banyak dalil disebutkan bahwa
yang terpuji ialah orang yang berzikir lalu menangis, sedangkan ia dalam
kesunyian, bukan di keramaian orang.
9. Mengusapkan
kedua telapak tangan ke wajah seusai berdo’a, adalah suatu permasalahan yang
diperselisihkan oleh ulama’, sehingga tidak benar bila orang yang tidak
melakukannya divonis telah melakukan bid’ah.
10. Para ulama’ membedakan
antara fadla’ilul A’amal (keutamaan/pahala amalan-amalan) dengan Al A’amal Al fadlilah
(amalan-amalan yang utama). Mereka membolehkan beramal dengan hadits dla’if
dalam hal fadla’ilul
A’amal, dan melarang mengamalkannya dalam hal Al A’amal Al Fadlilah.
Pada
akhirnya sebagai penutup, saya akan menukilkan ucapan Syeikhul Islam Ibnu
Taimiyyah, semoga menjadi peringatan bagi kaum muslimin di Indonesia, beliau
berkata: “Tatkala kemunafikan, amaliah bid’ah, kemaksiatan -yang semua itu
bertentangan dengan ajaran Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam- telah
merajalela di masyarakat mereka (dinasti Umawiyyah dan Abbasiyah), maka musuh
dapat menguasai mereka, sehingga orang-orang Romawi yang beragamakan Nasrani berani
berkali-kali menyerang daerah Syam, dan Al Jazirah, dan akhirnya mereka
berhasil menguasai benteng-bentang pertahanan Syam satu demi satu, hingga pada
akhir abad keempat mereka berhasil menguasai Baitul Maqdis. Kemudian selang tak
berapa lama setelah itu, mereka mengepung kota
Damasqus. Dan penduduk Syam kala itu dalam situasi yang sangat buruk,
kebanyakan mereka satu dua alternatif berikut: orang kafir Nasrani atau orang
munafik lagi musyrik. Hingga akhirnya tampillah Nuruddin As Syahid sebagai
pemimpin, kemudian ia mengajarkan dan menegakkan ajaran Islam, dan memerangi
musuh-musuhnya….. Dan demikian juga halnya kaum muslimin di belahan bumi bagian
timur, tatkala mereka menegakkan syari’at Islam, mereka mendapatkan pertolongan
dari Allah dalam melawan musuh-musuh mereka dari kalangan orang-orang Turki,
India, Cina dan lainnya. Dan tatkala mereka telah melakukan berbagai
perlakuannya, berupa amaliah bid’ah, kesyirikan, dan berbagai kemaksiatan, maka
orang-orang kafir berhasil menguasai mereka. …..Dan diantara penyebab
keberhasilan pasukan tar-tar masuk ke negeri kaum muslimin ialah merajalalanya
berbagai amaliah kesyirikan, kemunafikan, dan bid’ah, sampai-sampai Fakhrurrazi
menulis bukunya yang mengajarkan peribadatan kepada bintang, berhala, dan metode-metode
ilmu sihir, buku itu ia beri nama: “Al
Sirr Al Maktum Fi Al Sihr wa Mukhothabah Al Nujum”. [Majmu’ Fatawa,
oleh Ibnu Taimiyyah 13/178-182].
Ucapan
beliau ini adalah hasil studi sejarah perjalanan umat Islam, semenjak zaman
dahulu hingga zaman beliau, dan ini merupakan fakta yang idealnya dijadikan
pelajaran dan peringatan bagi kaum muslimin yang mendambakan tegaknya agama
Islam dan kejayaan bagi kaum muslimin. Waallahu
A’alam Bisshawab.
Kritik atau saran, dapat disampaikan melalui alamat
email berikut: ibnubadri @ plasa.com
(selesai)
DAFTAR PUSTAKA
1. Abu
Dawud, Sulaiman bin Al Asy’ats, As Sunan: Beirut,
Dar Al fikir.
2. Abu
Syamah, Abdurrahman bin Ismail, Al Ba’its ‘Ala Ingkari Al Bida’ wa Al Hawadits:
Kairo, Dar Al Huda, 1978 M.
3. Abu
Zaid, Baker bin Abdillah, Juz’un Fi mash Al Wajhi Bi Al yadain Ba’da Raf’ihima
Li Ad Du’a: Riyadh,
Dar Al Shumai’i, 1995 M.
4. Ad
Darimi, Abdullah bin Abdurrahman, As Sunan: Dar Al Kitab Al ‘Arabi, 1407 H.
5. Al
‘Adzim ‘Abadi, Syamsu Al Haq, ‘Aun Al Ma’bud: Beirut, Dar Al Kutub Al Ilmiyyah.
6. Al
Albani,Muhammad Nashiruddin, Dlilal Al Jannah Fi Takhrij Al Sunnah: Beirut, Al Maktab Al
Islami, 1993 M.
7. Al
Andalusi, Ali bin Ahmad bin Hazem , Al Fishol fi Al Milal wa Al Ahwa’ wa An
Nihal: Kairo, Dar Al Khanji.
8. Al
‘Asy’ari, Ali bin Ismail, Al Ibanah ‘An Ushul Al Diyana: Beirut, Dar Al Kutub Al Ilmiyyah, 1998 H.
9. Al
Asbahani, Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah, Hilyah Al Auliya’:Dal Al Kitab Al
Arabi, 1405 H.
10. Al
Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar, Fath Al Bari: Beirut, Dar Al Ma’rifah, 1379 H.
11. Al
‘Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar, Taqrib At Tahzib: Riyadh, Dar Al ‘Ashimah, 1416 H.
12. Al
‘Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar, At Talkhis Al Habir: Cet. Abdullah Al
Yamani, Al Madani, 1384 H.
13. Al
‘Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar, Bulugh Al Maram Min Adillatil Ahkam: Dar
Ibnu Khuzaimah, 1992 M.
14. Al
Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar, Tahzib Al Tahzib: Beirut, Dar Al Fikir, 1984 M.
15. Al
‘Awaji, DR Gholib bin Ali,Firoq Mu’ashiroh: Damanhur, Dar Al Linah, 1998 M.
16. Al
Baghdadi, Ahmad bin Ali Al Khathib, Tarikh baghdad:
Beirut, Dar Al
Kutub Al Ilmiyah.
17. Al
Baihaqi , Ahmad bin Husain, Syu’ab Al Iman: Beirut, Dar Al Kutub Al Ilmiyyah, 1410H.
18. Al
Baihaqi, Ahmad bin Husain, As Sunan Al Kubra: Mekkah, Dar Al Baz, 1414 H.
19. Al
Bazzar, Abu Bakar Ahmad bin ‘Amer, Al Musnad: Muassasah Ulum Al Qur’an, 1409H
20. Al
Bukhori, Muhammad bin Ismail, Shahih Al Bukhori: Beirut, Dar Ibnu Katsir 1987 M.
21. Al
Bukhori, Muhammad bin Ismail, Kholqu Af’aal Al Ibad: Riyadh, Dar Al Ma’arif, 1978H.
22. Al
Busti, Muhammad bin Hibban, Shahih Ibnu Hibban,: Beirut, Muassasah Al Risalah, 1414 H.
23. Al
Fairuz Abady, Muhammad bin Ya’qub Al Qamus Al Muhith: Beirut, Dar Ihya’ At Turats Al Arabi, 1417 H.
24. Al
Ghozali , Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, Ihya’ Ulum Ad Dien: Kairo, Dar Ihya’
Al Kutub Al Arabiyah.
25. Al
Ghozaly, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, Al Mustasyfa: Cet. DR. Hamzah Zuhair
Hafidz.
26. Al
Haitsami, Ali bin Abi Baker, Majma’ Al Zawaa’id: Dar Al Rayyan, 1407 H.
27. Al
Hakim, Muhammad bin Abdillah, Al Mustadrak: Beirut, Dar Al Kutub Al Ilmiyyah, 1411 H.
28. Al
‘Imrani, Yahya bin Abil Khair, Al Bayan: Dar Al Minhaj.
29. Al
Isnawy, Jamaluddin Abdurrahin bin Hasan, Nihayat As Sul: Dar ‘Alam Al Kutub.
30. Al
Jurjani, Abdullah bin Adi, Al Kamil Fi Ad Dhu’afa’ Al Rijal: Beirut, Dar Al Fikir, 1988 M.
31. Al
Khurasani, Sa’id bin Manshur, As Sunan: Riyadh,
Dar Al ‘Ushaimi, 1414 H.
32. Al
Khumais, Muhammad bin Abdurrahman, Al Dzikr Al Jama’i Bain Al Ittiba’ Wa Al
Ibtida’: Al Manshurah, Dar Al Huda An Nabawi, 2004 M.
33. Al
Kissy, Abd bin Humaid, Al Musnad: Maktabah Al Sunnah, 1988 M.
34. Al
Lalika’i, Hibatullah bin Hasan, Syarh Ushul I’itiqad Ahl As Sunnah, Riyadh, Dar At Thaibah,
1402 M.
35. Al
Maqdisy, Al Kamal Ibnu Abi Syarif, Al Musamarah bi Syarhi Al Musayarah: Mesir,
Al Maktabah At Tijariyyah Al Kubra.
36. Al
Maqdisi, Ibnu Qudamah Raudhot An Nadlir wa Junnah Al Munadzir: beirut, Dal Al hadits, 1991 M.
37. Al
Marwazy, Muhammad bin Nasher, As Sunnah: Muassasah Al Kutub As Tsaqafiyyah,
1408 H.
38. Al
Munziri, Abdul ‘Adzim bin Abdil Qawi, At Targhib wa At Tarhib: bairut, Dar Al
Kutub Al Ilmiyyah, 1417 H.
39. Al
Mubarakfuri, Muhammad bin Abdurrahman, Tuhfah Al Ahwazi Bi Syarh Jami’ At
Tirmizi: Kairo, Maktabah Ibnu Taimiyyah, 1993 M.
40. Al
Qurthubi,Muhammad bin Ahmad, Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an: Kairo, Dar Al Sya’b,
1372 H
41. Al
Razi , Muhammad bin Abi Baker, Mukhtar Al Shihah: Beirut, Maktabah Lubnan Nasyirun, 1415 H.
42. Al
Shan’ani, Abdurrazzaq bin Hammam, Al Mushannaf: Beirut, Al Maktab Al Islami, 1403 H.
43. Al
Shan’ani, Muhammad bin Ismail, Subul Al Salam: beirut, Dar Al Kutub Al Ilmiyyah 1408 H.
44. Al
Sulami, Izzuddin bin Abd Al Salam, Qawa’id Al Ahkam fi Mashalih Al Anam: beirut, Dal Al Kutub Al
Ilmiyyah.
45. Al
Sulamy, Izzuddin Abdul Aziz bin Abd Al Salam, Al Fatawa Al Mushiliyyah: bairut,
Dar Al Fikir, 1999 M.
46. An
Nasa’i, Ahmad bin Syu’aib, As Sunan: Maktab Al Mathbu’at Al Islamiyyah, 1406 H.
47. An
Nawawi, yahya bin Syaraf, Syarah Shahih Muslim: Beirut, Dar Al Ma’rifah, 1997 M.
48. An
Nawawi, Yahya bin Syaraf, Al Majmu’ Syarah Al Muhazzab: Bairut, Dar Al Fikir,
1996 M.
49. An
Nawawi, Yahya bin Syaraf, Tahzib Al Asma’ wa Al Lughat: kairo, Idarah At
Thiba’ah Al Muniriyyah.
50. An
Nawawi, Yahya bin Syaraf, Al Adzkar: Bairut , Al maktabah Al ‘Ilmiyyah, 1979 M.
51. An
Nawawi, yahya bin Syaraf, Syarah Shahih Muslim: Beirut, Dar Al Ma’rifah, 1997 M.
52. An
Nawawi, Yahya bin Syaraf, At Tahqiq: Beirut,
Dal Al Jil, 1992 M
53. An
Nisaburi, Muslim bin Al HajjajShohih Muslim: Bairut, Dar Ihya’ At Turats Al
‘Arabi.
54. Ar
Razi, Abdurrahman bin Muhammad ‘Ilal Ibnu Abi Hatim: Dar Al Ma’rifah, 1405 H.
55. Ar
Ruhaily, DR. Ibrahim bin ‘Amir, Mauqif Ahl As Sunnah Min Ahl Al Ahwa’ wa Al
Bida’: Al Madinah Al Munawwarah, Maktabah Al ghuraba’, 1997 M.
56. As
Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Baker, Tanwir Al Hawalik Syarah
Muwattha’ Imam Malik: Al Maktabah At Tijariyyah, 1969 M.
57. As
Syafi’i, Muhammad bin Idris, Al Umm: Beirut,
Dar Al Ma’rifah, 1393 H.
58. As
Syafi’i, Muhammad bin Idris, Ar Risalah: Beirut,
Al Maktabah Al Islamiyah.
59. As
Syaibani,,Amer bin Abi ‘Ashim, As Sunnah: Beirut,
Al Maktab Al Islami, 1400 H.
60. As
Syathiby, Ibrahim bin Musa Al I’itishom: Beirut,
Dar Al Kutub Al Ilmiyyah. 1995 H.
61. As
Syathiby, Ibrahim bin Musa, Al Muwafaqoot: Beirut, Dar Al Kutub Al Ilmiyyah.
62. As
Syaukani, Muhammad bin ‘Ali, Irsyad Al Fuhul: Kairo, Dar Al Katbi, 1992 M.
63. At
Thabari, Muhammad Ibnu Jarir Jami’ AL Bayan fi Ta’wil Aay Al Qur’an: Beirut, Dar Al Fikir,
1405 H.
64. At
Thabrani, Sulaiman bin Ahmad, Al Mu’jam Al Ausath: Dar Al Haramain, 1415 H.
65. At
Thabrani, Sulaiman bin Ahmad, Al Mu’jam Al Kabir: Maktabah AL Ulum wa Al Hikam,
1983 M.
66. At
Tirmizi, Muhammad bin Isa, Al Jami’ Al Shahih: Beirut, Dar Ihya’ At Turats Al Arabi.
67. Al
Qaulul badi’ Fis Shalat ‘Alal Habibis Syafi’, oleh Syamsuddin As Sakhawi.
68. Al
‘Uqaili, Muhammad bin Umar Ad Dhu’afa’: Al Maktab Al Ilmiyah 1984 M.
69. Az
Zahabi, Muhammad bin Ahmad, Mizan Al I’itidal: Beirut, Dar Al Kutub Al Ilmiyyah, 1995 M.
70. Az
Zahabi , Muhammad bin Ahmad, Siyar A’alam An Nubala’: Beirut, Muassasah Al Risalah, 2001 M.
71. Badruzzaman,
KH. DRs. Muhammad Dimyathi , Dzikir berjama’ah, sunnah atau Bid’ah, Jakarta, Republika.
72. Dzahir,
DR. Ihsan Ilahi, Dirasaat fi Al Tasawwuf : Lahor, Idarat Turjuman Al Qur’an,
1988 M.
73. Ibnu
Abil ‘Izz, Ali bin Ali, Syarah Al Aqidah At Thohawiyyah: Riyadh,
Wizarah Syu’un Al Auqaf, Saudi
Arabia.
74. Ibnu
Abi Syaibah, Abu Bakr Abdullah bin Muhammad, Al Mushannaf : Riyadh, Maktabah Ibnu Al Rusyd, 1409 H.
75. Ibnu
Al Qayyim, Muhammad bin Abi Baker, As Showa’iq Al Munazzalah ‘Ala At Tho’ifah
Al Jahmiyah Al Mu’atthilah: Al Madinah Al Munawwarah, Al Jami’ah Al Islamiyyan,
1406.
76. Ibnu
‘Asakir, Ali bin Al Hasan, Hibatullah, Tarikh Ad Dimasyq.
77. Ibnu
Jauzi, Abdurrahman bin Ali, Al ‘Ilal Al Mutanahiyah: Beirut, Dar Al Kutub Al Ilmiyyah, 1403 H.
78. Ibnu
Jauzi ,Abdurrahman bin Ali, Talbis Iblis: Beirut,
dar Al Kitab Al Arabi, 1405 H.
79. Ibnu
Katsir, Abu Al Fida’ Ismail, Tafsirul Qur’an Al ‘Adlim: Kairo, Dar At Turats.
80. Ibnu
Khuzaimah, Muhammad bin Ishaq, Shahih Ibnu Khuzaimah: beirut, Al Maktab Al Islami, 1970 M.
81. Ibnu
Majah, Muhammad bin Yazid, As Sunan: Beirut,
Dar Al Fikir.
82. Ibnu
Taimiyyah, Ahmad bin Abdil Halim, Majmu’ Fatawa: Al Madinah Al Munawwarah,
Mujamma’ Malik Fahed, 1995.
83. Ibnu
Rajab, Abdurrahman bin Ahmad, Jami’ Al Ulum wa Al Hikam: Beirut, Dar Al Ma’rifah 1408 H.
84. Jaiz,
Hartono Ahmad, Bila Kyai Dipertuhankan: Jakarta
Timur, Pustaka Al Katsar, 2001 M.
85. Lauh,
Muhammad Ahmad, Taqdis Al Asykhash Fi Al Fikr Al Sufi: Kairo, Dar Ibn ‘Affan,
2002 M.