SYARAH HADITS ARBAIN KE 5
(Tentang Larangan Berbuat Bid’ah)
Oleh: Alif Akhdan El-Hanafy
Teks Hadits:
عنْ أُمِّ
المُؤمِنِينَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللهُ عَنْهَا - قَالَتْ:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : (مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ
فَهُوَ رَدٌّ) رواه البخاري ومسلم، وفي رواية لمسلم (مَنْ
عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ)
Dari
Ummul Mu’minin, Ummu Abdillah, ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata: “Barangsiapa
yang menciptakan hal baru dalam urusan kami ini (yakni Islam) , berupa apa-apa yang bukan darinya, maka
itu tertolak.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Dan dalam riwayat Muslim: “Barangsiapa yang
melakukan perbuatan yang tidak kami kami perintahkan dalam agama kami maka itu
tertolak.”
Takhrij Hadits:
Dalam
hadits kelima ini ada dua teks (matan):
Matan pertama:
·
Imam Al Bukhari dalam Shahihnya
No. 2550
·
Imam Muslim dalam Shahihnya No.
1718
·
Imam Abu Daud dalam Sunannya No.
4606
·
Imam Ibnu Majah dalam Sunannya
No. 14
·
Imam Ahmad dalam Musnadnya
No.26033
·
Imam Abu Ya’la dalam Musnadnya
No. 4594
·
Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya
No. 26, 27
·
Imam Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil ,
1/247
·
Imam Ad Daruquthni dalam Sunannya
No. 78
·
Imam Al Baihaqi dalam Sunannya
No. 20158, 20323
·
Imam Al Lalika’i dalam Al I’tiqad,
No. 190-191
·
Imam Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah
No. 103
Matan Kedua:
·
Imam Al Bukhari dalam Shahihnya, Kitab
Al I’tisham bil Kitab was Sunnah Bab Idza Ijtahada Al ‘Amil aw Al Hakim Fa
Akhtha’a Khilafar Rasuli min Ghairi ‘Ilmin fahukmuhu Mardud. (lalu
disebutkan hadits: man ‘amila ‘amalan .. dst tanpa menuliskan sanadnya (mu’alaq)
dan dengan shighat jazm: Qaala Rasulullah)
·
Imam Muslim dalam Shahihnya, juga
pada No. 1718
·
Imam Ad Daruquthni dalam Sunannya No. 81
·
Imam Ahmad dalam Musnadnya
No.26191
Syarah Hadits:
Secara umum
hadits ini merupakan larangan untuk mengadakan hal-hal yang baru (muhdatsatul
umuur) dalam agama. Bukan hanya tertolak amalan tersebut tetapi juga
mendatangkan dosa bagi pelakunya dan diancam dengan neraka sebagaimana tertera
dalam hadits shahih. Sebab, melakukan bid’ah merupakan penodaan dan
penistaan terhadap agama yang sangat
dilarang bahkan bisa membawa pelakunya pada dosa besar dan –bahkan- kufur. (Hal ini akan kami jelaskan secara
khusus, Insya Allah)
Pada hadits ini juga terdapat kaidah
yang sangat berharga dalam kehidupan peribadatan kaum muslimin. Beribadah
–khususnya mahdhah- dalam Islam mesti didahului dasar hukumnya, baik berupa
perintah dan contoh dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Paling
tidak, pernah dilakukan para sahabat dan mereka tidak mengingkarinya.
Kaidah tersebut adalah;
فالأصل في العبادات البطلان حتى يقوم دليل على الأمر
“Maka, dasar dari semua ibadah adalah batal (tidak ada) sampai tegaknya dalil yang memerintahkannya.” (Imam Ibnul Qayyim, I’lamul
Muwaqi’in, Hal. 344. 1968M – 1388H. Maktabah Al
Kuliyat Al Azhariyah, Kairo – Mesir)
Kenapa
demikian? Berkata Imam Rabbani Ibnul Qayyim Rahimahullah:
…. أن
الله سبحانه لا يعبد إلا بما شرعه على ألسنة رسله فإن العبادة حقه على عباده
“Sesungguhnya Allah Subhanahu Tidaklah
diibadati kecuali dengan apa-apa yang Dia syariatkan melalui lisan
rasul-rasulnya. Karena, ibadah adalah hakNya atas hamba-hambanya.” (Ibid)
Makna Kalimat:
عَنْ أُمِّ المُؤمِنِينَ: Dari Ummul Mu’minin
Para isteri nabi disebut ummahatul
mu’minin (ibu-ibunya orang beriman), jika satu orang maka ummul mu’minin.
Sedangkan ‘Aisyah adalah salah satu dari isteri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Penyebutan ini langsung datangnya dari Allah Ta’ala:
وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
“dan
isteri-isterinya adalah ibu-ibu bagi mereka …” (QS. Al Ahzab (33): 6)
Oleh karena itu, para isteri nabi tidak boleh
dinikahi oleh siapa pun setelah wafat
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebab kedudukan mereka
dihadapan umat Islam sama seperti kedudukan ibu terhadap anak-anaknya. Namun,
walaupun sebagai ‘ibu’, syariat juga
melarang laki-laki berkhalwat dengan mereka, dan dilarang berbicara tanpa
hijab, sebab mereka tidak sama dengan wanita lainnya.
Allah
Ta’ala berfirman:
يَا
نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ
إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي
فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلا مَعْرُوفًا
“Wahai isteri-isteri nabi, kalian
tidaklah seperti wanita-wanita lain, jika
kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang
yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik (QS. Al Ahzab (33): 32)
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah
mengatakan:
وقوله: {
وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ } أي: في الحرمة والاحترام، والإكرام والتوقير
والإعظام، ولكن لا تجوز الخلوة بهن
“FirmanNya (dan isteri-isterinya
adalah ibu-ibu bagi mereka) yakni dalam hal kehormatan, penghormatan,
pemuliaan, wibawa, dan pengagungan,
tetapi tidak boleh berkhalwat dengan mereka ..” (Tafsir Al Quran Al
‘Azhim, 6/380-381. Dar Ath Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’)
Jika para isteri nabi adalah ibu bagi
kaum mu’minin, maka kedudukan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
terhadap umat Islam adalah seperti ayah bagi anak-anaknya. Hal ini Beliau
katakan sendiri.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu,
bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إنما أنا لكم بمنزلة الوالد أعَلِّمكم ….
“Sesungguhnya saya ini bagi kalian
sama kedudukannya dengan seorang ayah yang mengajarkan kalian …dst.” (HR.
Abu Daud No. 8, Syaikh Al Albani mengatakan: hasan. Lihat Shahihul
Jami’ No. 2346)
Ibnu Abbas Radhiallahu
‘Anhuma mengatakan:
النبي أولى بالمؤمنين من أنفسهم وأزواجه أمهاتهم وهو
أب لهم
“Nabi itu
(hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri
dan isteri-isterinya adalah
ibu-ibu mereka, dan Beliau adalah ayah bagi mereka. “ yang seperti ini juga diriwayatkan dari
Muawiyah, ‘Ikrimah, Mujahid, dan Al
Hasan. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 6/381)
Selanjutnya :
أُمِّ
عَبْدِ الله عَائِشَةَ ِ : Ummi Abdillah
‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha
diberikan kun-yah dengan Ummu Abdillah karena beberapa kemungkinan.
Pertama. Karena kedudukannya sebagai Ummul Mu’minin, sehingga dengan demikian ia juga ibu bagi hamba Allah
(ummu abdillah).
Kedua. Bisa jadi beliau pernah punya anak dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam tetapi keguguran dan tidak hidup.
Ketiga. Digelarinya dengan
Ummu Abdillah karena nama yang paling disukai Allah Ta’ala adalah Abdullah
dan Abdurrahman.
Berkata Syaikh ‘Utsaimin Rahimahullah:
أنه ذكر بعض أهل العلم أنه ولد لها ولد
سقط لم يعش، وذكر آخرون أنه لم يولد لها لا سقط ولا حي، ولكن هي تكنّت بهذه
الكنية،لأن أحبُّ الأسماء إلى الله: عبد الله، وعبد الرّحمن
“Sesungguhnya sebagian ulama
menyebutkan ‘Aisyah pernah memiliki anak yang lahirnya keguguran dan tidak
hidup. Ulama lainnya menyebutkan dia tidak pernah punya anak, tidak pernah
keguguran tidak pula hidup, tetapi digelarinya dia dengan gelar tersebut karena
nama yang paling Allah Ta’ala sukai adalah Abdullah dan Abdurrahman.” (Syarh
Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 98. Mawqi’ Ruh Al Islam)
‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha,
beliau adalah anak dari Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu, dan
ibunya bernama Ummu Ruman binti ‘Amir bin ‘Uwaimir bin Abdu Syams bin ‘Itab bin
Udzainah Al Kinaniyah.
Dia ikut hijrah bersama kedua orang
tuanya. Dinikahi oleh nabi setelah wafatnya Khadijah binti Khuwailid Radhiallahu
‘Anha, beberapa bulan sebelum hijrah. Ada juga yang mengatakan dua tahun
sebelum hijrah. Dia menjadi satu-satunya perawan yang dinikahi Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, dan menjadi isteri yang paling disayangi nabi setelah
wafatnya Khadijah.
Dia adalah seorang wanita cerdas dan mendalam ilmunya dalam hadits
dan fiqih, dan menjadi rujukanpara ulama pada masa sahabat dan tabi’in. Dia
berkulit putih dan cantik, dan disebut: Al Humaira (yang
kemerah-merahan). Sebagian ulama mengatakan dia adalah isteri nabi di dunia dan
akhirat. Imam Adz Dzahabi mengatakan
Khadijah lebih utama darinya.
Usianya lebih muda dari Fathimah sebanyak delapan tahun. Beliau
wafat pada malam 17 Ramadhan setelah witir. Pada tahun 56H sebagaimana kata
Hasyim bin ‘Urwah, Ahmad, Syibab, dan lainnya. Ada pula yang mengatakan 58H
seperti Abu Ubaidah Ma’mar bin Al Mutsanna dan Al Waqidi. Menurut ‘Urwah bin
Zubeir beliau dikuburkan pada malam
hari. Dishalatkan diantara oleh Abu Hurairah di Baqi’ dan juga dikuburkan di
sana. (Selengkapnya, Siyar A’lamin
Nubala, 2/135-201)
Diantara banyak keutamaan ‘Aisyah, kami paparkan beberapa saja.
Dari ‘Amr bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أي الناس أحب إليك؟ قال: (عائشة).
فقلت: من الرجال؟ فقال: (أبوها). قلت: ثم من؟ قال: (عمر بن الخطاب).
“Siapakah manusia yang paling kau cintai?” Nabi menjawab: “
‘Aisyah.” Aku berkata: “Dari kaum laki-laki?” beliau menjawab; “Ayahnya.” Aku
bertanya: “lalu siapa?” Beliau menjawab: “Umar bin Al Khathab.” (HR. Bukhari
No. 3462)
Diceritakan bahwa Malaikat
Jibril berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang
‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:
هذه زوجتك في
الدنيا والآخرة
“Ini adalah istrimu di dunia dan
akhirat.” (HR. At Tirmidzi No.
3880, katanya: hasan gharib. Ibnu Hibban No. 7094, Musnad Ishaq No.
1237. Syaikh Al AlBani mengatakan: shahih. Misykah Al Mashabih No. 6182)
Hadits ini tidak mengingkari posisi
isteri nabi yang lain, tetapi menunjukkan kelebihan ‘Aisyah dibanding
mereka. Hal ini sama ketika Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan bahwa ‘Aisyah adalah yang paling
dicintainya, tidak berarti Beliau tidak mencintai isterinya yang lain. Namun,
itu menunjukkan kedudukan ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha yang lebih utama.
Sebagian
ulama Ahlus Sunnah – sebagaimana dikatakan Syaikh Umar Sulaiman Al Asyqar-
mengatakan bahwa di akhirat nanti, wanita akan hidup bersama laki-laki terakhir
yang menikahinya. Inilah diantara alasan kenapa para isteri nabi tidak menikah
lagi setelah wafatnya Beliau, yakni agar Beliau menjadi suami terakhir di dunia
dan akan menjadi pendamping lagi di akhirat. Wallahu A’lam
Selanjutnya:
مَنْ
أَحْدَثَ : Barangsiapa yang menciptakan hal baru
Yaitu siapa saja dari kaum muslimin,
dahulu, sekarang, dan akan datang, laki dan perempuan, orang awam dan
cendikiawan, kaya dan miskin, dan seluruhnya. Kata man (barangsiapa) di
sini adalah muthlaq (tidak terikat pada person atau kelompok
tertentu saja).
Ahdatsa (mengada-ngada hal baru), yakni bid’ah.
Secara bahasa (lughatan/Etimologis)
bid’ah adalah Ma uhditsa ‘ala ghairi mitsal as sabiq (Sesuatu
yang diciptakan tanpa adanya contoh yang mendahuluinya). (Al Munjid
fil Lughah wal A’lam, Hal. 29. Al Maktabah Asy Syarqiyah)
Tertulis dalam Lisanul ‘Arab:
وفلان بِدْعٍ في هذا
الأَمر أَي أَوّل لم يَسْبِقْه أَحد
“Fulan melakukan bid’ah dalam urusan
ini artinya orang pertama yang mengerjakan yang belum ada seorang pun
mendahuluinya.” (Syaikh Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab, 8/6.
Dar Shadir)
Salah satu Asma’ul Husna adalah Al Badii’ (Maha Mencipta). Allah
Ta’ala berfirman:
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Dialah (Allah) yang menciptakan langit dan bumi.” (QS. Al Baqarah (2):
117)
Selanjutnya:
فِيْ
أَمْرِنَا هَذَا : dalam urusan kami ini (yakni Islam)
Ini menjadi batas yang penting, yakni
bid’ah yang tercela adalah dalam urusan agama, bukan keduniaan. Sebab, dalam
urusan dunia hukum dasarnya adalah boleh dan bukan bid’ah walau itu sebuah
kreasi dan inovasi baru yang belum ada pada masa terbaik Islam, selama tidak
ada dalil yang mengatakan haram. Sekali pun hal itu mau disebut bid’ah, itu
adalah bid’ah secara makna bahasa saja, karena memang itu hal yang baru (muhdats).
Hal ini berdasarkan ayat:
“Dia-lah Allah, yang
menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan)
langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala
sesuatu.”
(QS. Al Baqarah: 29)
Berkata
Imam Asy Syaukani dalam Fathul Qadirnya:
وفيه دليل على أن الأصل في الأشياء المخلوقة
الإباحة حتى يقوم دليل يدل على النقل عن هذا الأصل، ولا فرق بين الحيوانات
وغيرها مما ينتفع به من غير ضرر، وفي التأكيد بقوله: "جميعاً" أقوى
دلالة على هذا
Di dalamnya ada dalil bahwa hukum asal
dari segala sesuatu ciptaan adalah mubah sampai tegaknya dalil yang menunjukkan
perubahan hukum asal ini. Tidak ada perbedaan antara hewan-hewan atau
selainnya, dari apa-apa yang dengannya membawa manfaat, bukan kerusakan. Hal
ini dikuatkan lagi dengan firmanNya: (jami’an) “Semua”, yang memberikan
korelasi yang lebih kuat dalam hal ini. “ (Fathul
Qadir, 1/64. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Ada pun dari As Sunnah:
الحلال
ما احل الله في كتابه والحرام ما حرم الله في كتابه وما سكت عنه وهو مما عفو عنه
(رواه الترمذى)
“Yang
halal adalah apa yang Allah halalkan dalam kitabNya, yang haram adalah yang
Allah haramkan dalam kitabNya, dan apa saja yang di diamkanNya, maka itu termasuk
yang dimaafkan.” (HR. At Tirmidzi No. 1726, katanya:
hadits gharib. Syaikh Al Albani mengatakan: hasan. Lihat Shahih wa Dhaif
Sunan At Tirmidzi No. 1726)
Ada
kaidah lain, yang diterangkan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab bin
Sulaiman At Tamimi Rahimahullah sebagai berikut:
أن كل شيء سكت عنه الشارع فهو عفو لا يحل
لأحد أن يحرمه أو يوجبه أو يستحبه أو يكرهه
“Sesungguhnya
segala sesuatu yang didiamkan oleh Syari’ (pembuat Syariat) maka hal itu
dimaafkan, dan tidak boleh bagi seorang pun untuk mengharamkan, atau
mewajibkan, atau menyunnahkan, atau memakruhkan.” (Imam Muhammad bin Abdul Wahhab, Arba’u Qawaid Taduru al Ahkam ‘Alaiha,
Hal. 3.
Maktabah Al Misykah)
Ada pun dalam perkara agama tidak
boleh ada inovasi dan kreasi yang tidak ada dalam Al Quran, As Sunnah, Ijma,
dan qiyas. Pada sisi inilah bid’ah
adalah tercela.
Secara istilah syariat (terminologis) bid’ah
adalah:
الحَدَثُ في الدين بعدَ
الإِكْمَالِ، أو ما اسْتُحْدِثَ بعد النبيِّ، صلى الله عليه وسلم، من الأَهْواءِ
والأَعْمالِ
“Hal yang baru dalam agama setelah kesempurnaannya, atau apa-apa yang baru
diada-adakan setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang berasal
dari hawa nafsu dan perbuatan.” (Syaikh Fairuzabadi, Al Qamus Al Muhith,
2/252. Mawqi’ Al Warraq)
Ibnu Manzhur mengatakan:
إِنما يريد ما خالَف
أُصولَ الشريعة ولم يوافق السنة
“Sesungguhnya yang dimaksud hanyalah sesuatu yang bertentangan dengan
dasar-dasar syariat dan sesuatu yang tidak sesuai dengan sunah.” (Syaikh
Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab, 8/6. Dar Shadir)
Beliau juga mengatakan:
وقيل أَراد بِدْعَةً حَدثت لم تكون في
عهد النبي صلى الله عليه وسلم
“Dikatakan, yang dimaksud dengan bid’ah adalah hal baru yang belum terjadi pada
masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Ibid, 13/331)
Senada dengan Ibnu Manzhur, Imam
‘Izzuddin bin Abdissalam mengatakan:
الْبِدْعَةُ فِعْلُ مَا
لَمْ يُعْهَدْ فِي عَصْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Bid’ah adalah melakukan perbuatan yang belum terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam.” (Qawa’idul Ahkam fi Mashalihil Anam, 2/380.
Mawqi’ Al Islam)
Jadi, bid’ah menurut syariat adalah ajaran dan amalan baru dalam peribadatan
yang tidak ada contohnya pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
dan bertentangan dasar-dasar agama baik Al Quran, As Sunnah, dan ijma’. Inilah
bid’ah sesat yang dimaksud oleh hadits nabi: Kullu bid’atin dhalalah
(setiap bid’ah adalah sesat). Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan:
فَلَيْسَ لِأَحَدِ أَنْ
يَعْبُدَ اللَّهَ إلَّا بِمَا شَرَعَهُ رَسُولُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مِنْ وَاجِبٍ وَمُسْتَحَبٍّ لَا يَعْبُدُهُ بِالْأُمُورِ
الْمُبْتَدَعَةِ
“Maka, tidak boleh bagi seorang pun menyembah Allah kecuali dengan apa-apa yang
telah disyariatkan oleh RasulNya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, baik
berupa kewajiban atau sunah, serta tidak menyembahNya dengan perkara-perkara
yang baru (Al Umur Al Mubtadi’ah) .” (Majmu’ Fatawa, 1/12.
Mawqi’ Al Islam)
Selanjutnya:
مَا
لَيْسَ مِنْهُ : apa-apa yang
bukan darinya
Yakni
amaliah yang bukan dari agama lalu diklaim sebagai ajaran agama. Ketahuilah, apa-apa yang dahulu
bukan bagian dari agama, maka selamanya dia bukanlah agama, dan tak seorang pun
berhak memasukkannya ke dalam ajaran agama. Dan, apa-apa yang dahulu merupakan
bagian dari agama, maka selamanya dia adalah bagian dari agama, dan tak seorang
pun berhak menghapuskannya dari agama. Umat terdahulu binasa lantaran mereka
telah merubah ajaran agama dan kitab suci mereka, baik menambah atau
mengurangi.
Berkata
Imam Malik bin Anas Radhiallahu ‘Anhu:
من ابتدع فى الإسلام بدعة يراها حسنة فقد زعم أن محمدا صلى الله عليه وسلم خان الرسالة ، لأن اللّه قال {اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتى ورضيت لكم الإسلام دينا} المائدة : 3
“Barangsiapa yang berbuat bid’ah dalam Islam, dan dia memandangnya itu hasanah (baik), maka dia telah menuduh bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengkhianati risalah, karena Allah Ta’ala telah berfirman: “Hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan dan aku sempurnakan nikmatKu atas kamu, dan Aku ridha Islam sebagai agamamu.” (Fatawa Darul Ifta Al Mishriyah, 10/177)
Selanjutnya:
فَهُوَ
رَدٌّ : maka
itu tertolak
Yakni
perbuatan bid’ah tersebut tidak akan diterima, tidak diberi pahala, justru itu
merupakan dosa dan kesesatan karena dia telah mencemari dan merusak kemurnian
agama.
Berkata Syakhul
Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:
وَكُلُّ بِدْعَةٍ لَيْسَتْ وَاجِبَةً وَلَا مُسْتَحَبَّةً فَهِيَ بِدْعَةٌ سَيِّئَةٌ وَهِيَ ضَلَالَةٌ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ وَمَنْ قَالَ فِي بَعْضِ الْبِدَعِ إنَّهَا بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ فَإِنَّمَا ذَلِكَ إذَا قَامَ دَلِيلٌ شَرْعِيٌّ أَنَّهَا مُسْتَحَبَّةٌ فَأَمَّا مَا لَيْسَ بِمُسْتَحَبِّ وَلَا وَاجِبٍ فَلَا يَقُولُ أَحَدٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ إنَّهَا مِنْ الْحَسَنَاتِ الَّتِي يُتَقَرَّبُ بِهَا إلَى اللَّهِ . وَمَنْ تَقَرَّبَ إلَى اللَّهِ بِمَا لَيْسَ مِنْ الْحَسَنَاتِ الْمَأْمُورِ بِهَا أَمْرَ إيجَابٍ وَلَا اسْتِحْبَابٍ فَهُوَ ضَالٌّ مُتَّبِعٌ لِلشَّيْطَانِ وَسَبِيلُهُ مِنْ سَبِيلِ الشَّيْطَانِ كَمَا { قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ : خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا وَخَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَشِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ : هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ وَهَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إلَيْهِ ثُمَّ قَرَأَ : { وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
“Setiap
bid’ah yang tidak ada kewajiban dan sunahnya, maka itu adalah bid’ah yang
jelek, dan itu adalah sesat menurut kesepakatan kaum muslimin. Barangsiapa yang
mengatakan bahwa pada sebagian bid’ah ada bid’ah hasanah. Sedangkan
jika perbuatan itu terdapat dalil syar’i, maka itu
adalah sunah. Adapun apa-apa yang tidak
ada sunahnya atau kewajibannya, maka tidak ada satu pun kaum muslimin
yang mengatakan itu adalah kebaikan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah
Ta’ala. Barangsiapa yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan kebaikan
yang tidak diperintahkan, baik perkara wajib atau sunah, maka dia sesat dan
telah mengikuti syetan, dan jalannya adalah jalan syetan, sebagaimana yang
dikatakan Abdullah bin Mas’ud: “Rasulullah membuat garis kepada kami dengan
garis yang lurus. Lalu dia membuat garis dibagian kanan dan kirinya, lalu dia
bersabda: ‘Inilah jalan Allah, sedangkan ini adalah jalan-jalan lain yang
setiap jalan itu ada syetan yang senantiasa mengajak kepadanya,’, lalu Beliau
mebaca ayat: “Dan sesungguhnya inilah jalanku yang lurus, maka ikutilah, dan
jangan ikuti jalan-jalan lain yang mencerai-beraikanmu dari jalanNya.” (Majmu’
Fatawa, 1/162
Kenapa Lahir Bid’ah?
Ada beberapa penyebab lahirnya bid’ah dalam agama. Di
antaranya:
1. Menganggap baik
perbuatan atau amalan ibadah tertentu.
Ini merupakan penyebab yang paling banyak. Para pelaku
bid’ah sering beralasan: “Ini’kan perbuatan baik, kenapa dilarang?” Mereka
tidak paham, bahwa dalam Islam, maqbul atau tidaknya sebuah
amal, bukan sekedar dilihat dari sudut pandang baik tetapi juga harus benar (ash
Shawab).
Membaca Al Quran adalah baik, tetapi tidak benar membacanya
ketika ruku’ dan sujud, sebab syariat melarangnya. Shalat adalah baik, tetapi
tidak benar dilakukan di WC atau diwaktu-waktu larangan shalat, kecuali ada
udzur syar’i.
2. Berhujjah Dengan
Hadits Dhaif
Tidak sedikit pula amalan bid’ah dilakukan karena didasari
hadits-hadits dhaif bahkan palsu. Misalkan hadits-hadits yang beredar
dibuku-buku emperan, atau yang tersebar dari mulut ke mulut, tentang ibadah dan
anjurannya. Barang siapa yang melakukan shalat anu pada waktu anu maka akan
mendapatkan ini. Barang siapa yang membaca anu setiap habis ini maka dia akan
begini, dan yang semisalnya. Lalu, manusia membacanya dan dibarengi semangat
yang tinggi lalu mereka mengamalkannya tanpa peduli kebenaran (validitas)
riwayat itu. Akhirnya, mereka mewajibkan dan menyunnahkan ibadah spesifik yang
tidak pernah Nabi wajibkan dan sunnahkan. Para ulama sepakat tidak boleh
menggunakan hadits dhaif untuk menentukan halal dan haram, serta wajib
atau sunahnya perbuatan.
Memang benar, banyak ulama yang membolehkan menggunakan
hadits dhaif untuk menggalakkan fadhailul ‘amal, adab, dan kehalusan
budi pekerti. Seperti anjuran memperbanyak baca Al Quran, qiyamul lail,
tarawih, dan lainnya. Tetapi, kenyataan yang terjadi adalah kebanyakan manusia
menggunakan hadits-hadits dhaif untuk pijakan dasar hukum amal tersebut,
bukan dalam rangka menyemangatinya. Ini memang perbedaannya amat tipis.
Para imam yang membolehkan adalah Imam Ahmad bin Hambal,
Imam Al Hakim, Imam Yahya Al Qaththan, Imam Abdurrahman bin Mahdi , Imam Sufyan
Ats Tsauri, Imam Abdullah bin Mubarak, Imam An Nawawi, Imam ‘Izzuddin bin
Abdissalam, Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Imam As Suyuthi, Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani,
Imam Ibnu Rajab Al Hambali, dan lainnya. Mereka ini, jika meriwayatkan
hadits tentang halal haram, dan hukum agama, maka mereka mengketatkan
penelitian sanad, tetapi ketika meriwayatkan hadits tentang adab, budi pekerti,
ancaman, kabar gembira, azab dan pahala, mereka melonggarkan sanad.
Ulama belakangan –seperti Imam An Nawawi, Imam As Suyuthi,
Imam Ibnu Hajar, Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam, dan Imam Ibnu Daqiq Al
‘Id- memberikan syarat yang ketat dalam pemakaian hadits dhaif untuk
fadhailul ‘amal, yakni:
1.
Kedhaifannya tidak parah. Nah, syarat ini nampaknya hanya teori belaka, sebab
pada kenyataannya banyak manusia menggunakan hadits yang kedhaifannya parah,
seperti munkar, matruk (semi palsu), maudhu’ (palsu),
bahkan laa ashala lahu (tidak ada dasarnya).
2.
Isinya tidak bertentangan dengan watak umum ajaran Islam. Misal menggunakan
hadits dhaif tentang anjuran shalat dhuha, hal ini tidak mengapa, sebab tentang
keutamaan shalat dhuha sudah diinformasikan dalam hadits shahih. Menggunakan
hadits dhaif dalam menjaga kebersihan, ini tidak mengapa, sebab kebersihan
memang sudah watak Islam. Yang terlarang adalah jika hadits tersebut
bertentangan dengan watak Islam, misal menggunakan hadits tentang tidur orang
puasa adalah ibadah, ini tidak dibenarkan sebab bertentangan dengan fakta
sejarah yang justru banyak peristiwa besar dan kerja-kerja istimewa pada masa
lalu justru terjadi ada bulan puasa.
3.
Tidak memastikan hal itu merupakan perintah atau perbuatan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Ini juga nampaknya hanya teori saja. Kenyataannya ketika
mereka melakukan perbuatan yang ada di hadits itu, justru mereka semakin
bersemangat karena beri’tiqad itu adalah perbuatan nabi.
Semua syarat ini amat sulit untuk benar-benar bisa dijalankan,
dan adanya syarat ini dalam rangka meminimalkan penggunakaan hadits-hadits
dhaif dan melalaikan hadits-hadits yang shahih.
Sementara itu, para imam lainnya menolak penggunaan hadits
dhaif pada semua masalah, walau pun untuk fadhailul ‘amal. Mereka adalah Imam
Bukhari, Imam Muslim, Imam Yahya bin Ma’in, Imam Ibnu Hazm, Imam Ibnul ‘Arabi,
Imam Abu Syamah, Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dan Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al Albani, dan yang nampak dari pendapat Syaikh Yusuf Al Qaradhawi. Bagi
mereka, cukuplah berhujjah dengan hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, bukan riwayat yang tidak bisa dipastikan
kebenarannya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
3. Salah Faham Terhadap
Nash (teks agama)
Ini juga sebab terbanyak lahirnya bid’ah. Banyak nash-nash
shahih yang berbicara keutamaan waktu tertentu untuk ibadah, tetapi nash
tersebut tidak memberikan rincian tata caranya secara khusus. Lalu, di sinilah
lahirnya gagasan dari akal manusia untuk membuat hai’ah (bentuk) tersendiri
dalam ibadah, untuk mengamalkan hadits tersebut.
Misalnya, keutamaan malam nishfu sya’ban, sebagaimana
diriwayatkan oleh berbagai sahabat nabi, bahwa Beliau bersabda:
يطلع الله تبارك و تعالى إلى خلقه
ليلة النصف من شعبان ، فيغفر لجميع خلقه
إلا لمشرك أو مشاحن
إلا لمشرك أو مشاحن
“Allah Ta’ala menampakkan kepada
hambaNya pada malam nishfu sya’ban, maka Dia mengampuni bagi seluruh hambaNya,
kecuali orang yang musyrik atau pendengki.” (Hadits ini Shahih
menurut Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. Diriwayatkan oleh
banyak sahabat nabi, satu sama lain saling menguatkan, yakni oleh Muadz bin
Jabal, Abu Tsa’labah Al Khusyani, Abdullah bin Amr, ‘Auf bin Malik, dan
‘Aisyah. Lihat kitab As Silsilah Ash Shahihah, 3/135, No. 1144. Darul
Ma’arif. Juga kitab Shahih Al Jami’ Ash Shaghir wa Ziyadatuhu, 2/785. Al
Maktab Al Islami. Namun, dalam kitab Misykah Al Mashabih, justru Syaikh
Al Albani mendhaifkan hadits ini, Lihat No. 1306, tetapi yang benar adalah shahih
karena banyaknya jalur periwayatan yang saling menguatkan)
Hadits ini menunjukkan keutamaan malam nishfu sya’ban
(malam ke 15 di bulan Sya’ban), yakni saat itu Allah mengampuni semua makhluk
kecuali yang menyekutukanNya dan para pendengki. Tentunya saat itu waktu yang
sangat baik bagi kita untuk banyak beristighfar, tobat, dan ibadah lainnya.
Tetapi, hadits ini sama sekali tidak menyebutkan tentang paket dan ‘tatacara’
ibadah tersebut. Tidak disebutkan di hadits ini tentang membaca Yasin sebanyak
tiga kali masing-masing ada tujuan tertentu, atau shalat tertentu dengan
fadhilah tertentu juga, lalu sambil membawa air segala, juga tidak disebutkan
bahwa semua ini dilakukan ba’da maghrib sebagaimana yang dilakukan kaum
muslimin hari ini. Maka, wajar segenap imam ahlus sunah mengingkari ini,
seperti Imam ‘Atha, Imam Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, Imam Al
Auza’i, Para pengikut Imam Malik, Imam An Nawawi, dan lainnya.
Jadi, keutamaan malam nishfu sya’ban memang shahih, tetapi
tentang ritual khusus nishfu sya’ban? Inilah letak masalahnya.
Sedangkan kaidah dalam ibadah adalah:
فَالْأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ
الْبُطْلَانُ حَتَّى يَقُومَ دَلِيلٌ عَلَى الْأَمْرِ
“Asal dari peribadatan adalah batal, sampai adanya
dalil yang menunjukkan perintahnya.” (Imam Ibnul Qayyim, I’lamul
Muwaqi’in, Hal. 344. 1388H-1968M. Maktabah Al Kulliyat Al Azhariyah)
Maka, menjalankan ibadah khusus dengan keyakinan khusus
juga, tanpa adanya dalil yang menunjukkan itu, adalah perbuatan bid’ah dalam
agama. Seperti keyakinan, jika anda melakukan ini maka akan begini, bacalah ini
dengan mengharapkan ini, dan semisalnya, tetapi tidak memiliki dalil maka hal
ini tertolak.
4. Lebih Mengikuti Hawa
Nafsu
Terciptanya bid’ah karena dorongan hawa nafsu manusianya.
Mereka menyangka agama ini harus dilengkapi dan masih perlu disempurnakan
dengan apa-apa yang mereka ciptakan. Ketika disampaikan bahwa hal itu tidak
benar, tidak berdasar, dan mengada-ngada mereka menolak dengan keras, baik
dengan alasan atau tidak. Inilah hawa nafsu. Mereka lebih mengikuti emosi dan
pikiran sendiri, dibanding dalil Al Quran dan As Sunnah, serta nasihat para
ulama.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
ثلاث مهلكات ، و ثلاث
منجيات ، فقال : ثلاث مهلكات : شح مطاع و هوى متبع و إعجاب المرء بنفسه . و ثلاث
منجيات : خشية الله في السر و العلانية و القصد في الفقر و الغنى و العدل في الغضب
و الرضا
“Ada
tiga hal yang membinasakan dan tiga hal yang menyelamatkan. Lalu Beliau
bersabda: “Tiga hal yang membinasakan adalah syahwat yang ditaati, hawa nafsu
yang dituruti, dan seorang yang kagum dengan dirinya sendiri. Sedangkan tiga
hal yang menyelamatkan adalah: takut kepada Allah baik dikesunyian atau
dikeramaian, sederhana ketika faqir dan kaya, serta adil ketika marah dan
ridha.” (Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al Albani, lihat As Silsilah
Ash Shahihah No. 1802, diriwayatkan dari berbagai jalur sahabat; Anas, Ibnu
Umar, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, dan Abdullah bin Abi ‘Aufa, pada dasarnya
masing-masing jalur adalah dhaif, tetapi semuanya saling menguatkan sehingga
hadits ini hasan)
Kecaman
terhadap Bid’ah dan Pelakunya
Bid’ah dalam agama merupakan ‘benda asing’ yang menyelinap
ke dalam agama. Kehadirannya dalam sejarah Islam jelas telah menodai keaslian
agama ini. Buah pikiran dan manusia menjadi bagian agama, sementara yang
benar-benar dari agama justru dilupakan.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah
mengecam bid’ah dan pelakunya, bahkan mengancam mereka dengan neraka.
Dari Irbadh bin Sariyah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘ Alaihi wa Sallam bersabda:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى
بَعْدِي اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَإِنَّ كُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Maka,
sesungguhnya barang siapa di antara kalian yang hidup setelah aku, akan melihat
banyak perselisihan. Oleh karena itu, peganglah sunahku dan sunah khulafa ar
rasyidin yang telah mendapatkan petunjuk, dan gigitlah dengan geraham kalian
sunah itu, dan hati-hatilah dengan perkara yang baru, sesungguhnya setiap hal
yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Ibnu
Majah No. 42, Ahmad No. 16521, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra,
10/114, Al Hakim, Al Mustadrak, No. 330 Dishahihkan oleh Syaikh Al
Albani dalam Al Irwa’ No. 2455, Al Misykah No. 165)
Dalam riwayat lain tertulis, dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu
‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ أَصْدَقَ
الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ
الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ
ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
“Sesungguhnya, sebenar-benarnya perkataan adalah kitabullah,
dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruknya
perkara adalah hal yang diada-adakan, dan setiap yang diada-adakan adalah
bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan adalah di neraka.”
(HR. An Nasa’i No. 1578, Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, No. 8441,
Ibnu Khuzaimah No. 1785, dan sanadnya shahih, Lihat Shahih wa
Dhaif Sunan An Nasa’i No. 1578)
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu,
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إن الله حجب التوبة عن صاحب كل بدعة
“Sesungguhnya Allah menutup taubat dari
pelaku setiap bid’ah.” (HR. Ath
Thabarani, Al Mu’jam Al Awsath, No. 4353. Al Baihaqi, Syu’abul Iman,
No. 9137. Ibnu Abi ‘Ashim, As Sunnah, No. 30. Al Haitsami mengatakan
perawi hadits ini adalah perawi hadits shahih, kecuali Harun bin Musa Al
Farawi, dia tsiqah (bisa dipercaya). Majma’ Az Zawaid, 10/189.
Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Zhilalul Jannah, No. 37. Al Maktab
Al Islami)
Kecaman terhadap bid’ah juga datang dari kaum salafush
shalih, baik sahabat maupun tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Berikut akan saya sampai sebagian
saja dari perkataan mereka.
Seorang sahabat mulia, Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu
‘Anhu berkata:
اقْتِصَادٌ فِي سُنَّةٍ
خَيْرٌ مِنْ اجْتِهَادٍ فِي بِدْعَةٍ
“Sederhana dalam sunah, lebih baik daripada
bersungguh-sungguh dalam bid’ah.” (Ibnu Baththah, Al Ibanah Al Kubra,
No. 187, 256, Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, No. 10337.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 1/314. Mawqi’ Al Islam.
Imam Al Haitsami mengatakan: dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Basyir Al
Kindi, kata Yahya bin Ma’in dia tidak bisa dipercaya (Laisa bi tsiqah). Majma’
Az Zawaid, 1/173. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Ya, yang sedikit tetapi sesuai sunah, adalah jelas
lebih mulia dibanding mengerjakan keseriusan yang ternyata bid’ah.
Sementara Mathar Al Waraq Rahimahullah mengatakan:
عمل قليل في سنة خير من
عمل كثير في بدعة، ومن عمل عملاً في سنة قبل الله منه عمله. ومن عمل عملاً في
بدعة، رد الله عليه بدعته.
“Amal
sedikit dalam sunah adalah lebih baik dari pada amal banyak dalam bid’ah, dan
barang siapa yang beramal dalam sunah maka Allah akan menerima amalnya, dan
barangsiapa yang melakukan amal dalam bid’ah, maka Allah akan menolak bid’ahnya
itu.” (Imam Abu Nu’aim, Hilyatul Auliya, 1/424. Mawqi’ Al
Warraq)
Imam Abdullah bin Mubarak Rahimahullah mengatakan:
ليكن مجلسك مع المساكين،
وإياك أن تجلس مع صاحب بدعة.
“Hendaknya kau jadikan majelismu bersama orang-orang miskin,
dan hati-hatilah duduk bersama pelaku bid’ah.” (Imam Adz Dzahabi, Siyar
A’lam An Nubala, 8/336. Cet.9, 1413H-1993M. Muasasah Ar Risalah)
Imam Al Fudhail bin ‘Iyadh Rahimahullah mengatakan:
من أحب صاحب بدعة، أحبط
الله عمله، وأخرج نور الاسلام من قلبه، لا يرتفع لصاحب بدعة إلى الله عمل، نظر
المؤمن إلى المؤمن يجلو القلب، ونظر الرجل إلى صاحب بدعة يورث العمى، من جلس مع
صاحب بدعة.
“Barang siapa yang
mencintai pelaku bid’ah maka Allah akan menghapuskan amalnya, dan mengeluarkan
cahaya Islam dari hatinya, dan amal pelaku bid’ah tidaklah diangkat
kepada Allah, pandangan seorang mukmin kepada mukmin adalah memaniskan hati,
sedangkan seorang laki-laki yang memandang pelaku bid’ah, maka akan diwariskan
kebutaan, dari duduk bersama pelaku bid’ah.” (Ibid, 8/435)
Imam Ayyub As Sukhtiyani
Rahimahullah mengatakan:
ما ازداد صاحب بدعة
اجتهاداً، إلا ازداد من الله بعداً.
“Tidaklah pelaku bid’ah bertambah kesungguhannya (dalam bid’ahnya), melainkan
semakin bertambah pula jauhnya dia dari Allah” (Imam Abu Nu’aim, Hilyatul
Auliya’, 1/392. Mawqi’ Al Warraq)
Imam Yahya bin Abi Katsir Rahimahullah mengatakan:
إذا لقيت صاحب بدعة في
طريق، فخذ في طريق آخر.
“Jika engkau berjumpa pelaku bid’ah di jalan, maka carilah
jalan lain.” (Ibid, 1/420)
Imam Hasan bin ‘Athiyah Rahmahullah mengatakan:
ما ابتدع قوم بدعة في
دينهم إلا نزع الله من سنتهم مثلها، ولا يعيدها إليهم إلى يوم القيامة.
“Tidaklah sebuah kaum
menciptakan bid’ah pada agama mereka, melainkan Allah akan menghapus sunah yang
ada pada mereka semisal itu, dan tidak mengembalikannya kepada mereka sampai
hari kiamat.” (Ibid, 2/488)
Imam Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah
mengatakan:
من أصغى سمعه إلى صاحب
بدعة فقد خرج من عصمة الله تعالى.
“Barang siapa yang pendengarannya mendengarkan pelaku bid’ah, maka dia telah
keluar dari penjagaan Allah Ta’ala.” (Ibid, 3/159)
Beliau juga berkata:
البدعة أحب إلى إبليس من
المعصية، المعصية يتاب منها، والبدعة لا يتاب منها.
“Bid’ah lebih disukai
iblis dari pada maksiat, sebab maksiat masih bisa bertobat darinya, sedangkan
bid’ah tidak.” (Ibid)
Demikian contoh kecaman para salafush shalih terhadap
bd'ah dan pelakunya.
Kapankah Perbuatan Disebut bid’ah?
Tidak
dibenarkan memvonis bid’ah dan sesat terhadap sebuah pemahaman atau perbuatan,
tanpa pertimbangan yang matang. Maka, penting kiranya diketahui kapankah
sebuah perbuatan layak disebut bid’ah. Yaitu:
1.
Amalan tersebut tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat Radhiallahu ‘Anhum..
2.
Amalan tersebut tidak memiliki dasar dalam Al Quran, As Sunnah, dan
ijma’, baik secara rinci (tafshili) atau global (ijmali), baik
dalam bentuk perintah, contoh, dan taqrir.
3.
Amalan tersebut telah diyakini oleh pelakunya sebagai bagian dari ajaran agama
yang mesti dijalankan.
Jika semua keadaan ini telah terpenuhi oleh
sebuah amalan, maka tidak syak lagi bahwa amalan itu adalah bid’ah yang
terlarang. Tetapi, para ulama berbeda pendapat tentang amalan yang tidak ada
pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya,
namun secara global amalan tersebut ada dalam Al Quran baik tersurat atau
tersirat, atau As Sunnah. Apakah hal itu sudah masuk bid’ah? Contohnya adalah
membaca Shadaqallahul ‘Azhim setelah membaca Al Quran. Bacaan Shadaqallahul
‘Azhim memang tidak pernah ada pada masa Rasulullah, dan tidak pula masa
para sahabat. Tetapi, para ulama yang membolehkannya berdalil dari beberapa
ayat, yakni Ali Imran (3): 95, dan Al Ahzab (33): 22).
Selain itu, ada beberapa sudut pandang untuk
menilai sebuah amalan.
1.
Tinjauan Az Zaman (waktu). Puasa wajib pada bulan Ramadhan, puasa
sunah senin-kamis, puasa tasu’a (9 Muharram) dan asyura (10 Muharram), puasa
zulhijjah (9 Zulhijjah), puasa Sya’ban, puasa 6 hari Syawal, puasa ayyamul bidh
(13, 14, 15 tanggalan hijriah), atau shalat dhuha pada waktu dhuha, shalat lima
waktu pada waktunya masing-masing, shalat Jumat pada hari Jumat, pergi haji
pada zulhijjah, dan yang semisalnya, ini semua memiliki dasar dan masyru’
(disyariatkan). Ada pun jika ada yang menganjurkan puasa anu pada bulan
tertentu dengan fadhilah anu, atau shalat anu pada waktu anu dengan fadhilah
anu, mengkhususkan malam tertentu untuk shalat tahajud tanpa malam lainnya
secara terus menerus, nah .. semua tidak ada dalilnya sama sekali,
maka tidak boleh.
2.
Tinjauan Al Makan (tempat). Meyakini fadhilah shalat di Masjidil haram,
Masjid Nabawi, dan masjid Al Aqsha, atau meyakini mustajabnya berdoa di
multazam, dan yang semisalnya, maka ini semua memiliki dasar dan masyru’.
Tetapi, menganjurkan manusia mengunjungi tempat tertentu dengan berkeyakinan
fadhilah tertentu pula, maka ini membutuhkan dalil.
3.
Tinjaun Al ‘Adad (jumlah/bilangan). Melafazkan istighfar antara 70
sampai 100 kali dalam sehari, atau tasbih, tahmid, dan takbir, masing-masing 33
kali setelah shalat fardhu, atau mengulang-ngulang doa sampai tiga kali, atau
membaca Laa ilaha illallahu wahdahu laa syarikalah ..dst, sebanyak tiga kali
setelah shalat fardhu, dan sepuluh kali setelah subuh dan maghrib, atau puasa
enam hari syawal, tiga hari tengah bulan hijriyah, dan yang semisalnya, maka
semua ini adalah memiliki dasar dan masyru’. Tetapi, menganjurkan dan
membiasakan berdzikir dengan jumlah tertentu, puluhan, ratusan, bahkan ribuan,
dengan keyakinan tertentu, maka ini juga harus membutuhkan dalil. Jika tidak
ada, maka tertolak.
4.
Tinjauan Al Jins (jenis). Jika seorang bayi lahir lalu dilakukan
beberapa jenis ritual seperti didoakan, tahnik (memasukkan kurma (boleh madu)
ke mulut bayi), aqiqah, cukur, rambut, dan pemberian nama, maka
jenis ini semua masyru’. Tetapi, membuat jenis ritual sendiri, misal jika
ingin dapat jodoh, mesti puasa dulu, mandi kembang tengah malam, dan
semisalnya, maka mengarang-ngarang jenis ibadah ini wajib mendatangkan dalil,
jika tidak ada, maka tertolak.
5.
Tinjauan Al Maqshud (maksud dan tujuan). Jika seseorang puasa Sya’ban
agar catatan amalnya diangkat ketika dia puasa, puasa 6 hari Syawal supaya
mendapatkan pahala sebagaimana puasa setahun penuh, membaca surat Al Mulk
agar terhindar dari azab kubur, dan semisalnya, semua ini benar dan memiliki
dalil shahih. Tetapi, puasa dengan maksud agar memiliki kesaktian,
membaca surat tertentu agar kebal, maka ini semua tidak berdasar.
Bahaya - Bahaya Bid’ah
Bahaya-bahaya bid’ah sangat banyak dan akan
menimpa pelakunya, orang lain, dan agama. Oleh karena itu, ini haru dikaetahui
oleh segenap kaum muslimin, khususnya para da’i Islam.
1.
Bahaya bagi pelakunya
a.
Ditolak amalannya
Betapa melelahkan dia ibadah, namun itu sia-sia
baginya. Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallalahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي
أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-ngada dalam urusan
(agama) kami ini, dengan apa-apa yang bukan darinya maka itu
tertolak.” (HR. Bukhari No. 2550 dan Muslim No. 1718)
Dalam riwayat lain, juga dari ‘Aisyah Radhiallahu
‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
وَمَنْ عَمِلَ عَمَلًا
لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Dan barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak terdapat dalam
urusan (agama) kami maka itu tertolak.” (HR. Bukhari, Bab An najsyi man
qaala laa yajuz Dzalika al Bai’u, dan Muslim No. 1718)
b.
Disebut sebagai pelaku kesesatan dengan ancaman neraka
Dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ أَصْدَقَ
الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ
الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ
ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
“Sesungguhnya, sebenar-benarnya perkataan adalah kitabullah,
dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruknya
perkara adalah hal yang diada-adakan, dan setiap yang diada-adakan adalah
bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan adalah di neraka.”
(HR. An Nasa’i No. 1578, Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, No. 8441,
Ibnu Khuzaimah No. 1785, dan sanadnya shahih, Lihat Shahih wa
Dhaif Sunan An Nasa’i No. 1578)
c.
Tidak
dterima tobatnya kecuali dia meninggalkan bid’ahnya
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu,
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إن الله حجب التوبة عن صاحب كل بدعة
“Sesungguhnya Allah menutup taubat dari
pelaku setiap bid’ah.” (HR. Ath
Thabarani, Al Mu’jam Al Awsath, No. 4353. Al Baihaqi, Syu’abul Iman,
No. 9137. Ibnu Abi ‘Ashim, As Sunnah, No. 30. Al Haitsami mengatakan
perawi hadits ini adalah perawi hadits shahih, kecuali Harun bin Musa Al
Farawi, dia tsiqah (bisa dipercaya). Majma’ Az Zawaid, 10/189.
Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Zhilalul Jannah, No. 37. Al Maktab
Al Islami)
d.
Dia akan terus mendapatkan dosa jika bid’ahnya itu diikuti orang
lain
Dari Jarir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu,
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
وَمَنْ سَنَّ فِي
الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ
وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa dalam Islam membuat kebiasaan buruk, maka
tercatat baginya dosa dan dosa orang yang mengikutinya setelahnya, tanpa
mengurangi dosa-dosa mereka.” (HR. Muslim, No. 1017, At tirmidzi No. 2675,
An Nasa’i No. 2554, Ibnu Majah No. 203)
2.
Bahaya Bagi Agama
a.
Membuat
bid’ah berarti membuat hukum syariat baru, padahal yang berwenang secara mutlak
dalam membuat hukum dan syariat hanyalah Allah dan RasulNya Shallallahu
’Alaihi wa Sallam. Dengan demikian pembuat bid’ah telah memposisikan
diri sebagai pesaing dan perampas hak mutlak Allah dan Rasul-Nya dalam
membuat hukum dan syariat.
b.
Membuat
bid’ah berarti mengada-ada dan berdusta atas nama Allah dan RasulNya.
c.
Setiap
bid’ah mengandung muatan tuduhan bahwa syariat Allah masih kurang, sehingga
harus ditambah dengan ”syariat” baru yang dibuat-buat oleh pencetus dan pelaku
bid’ah.
d.
Setiap
bid’ah mengandung muatan pendustaan terhadap Al Qur’an (QS. 5 : 3)
e.
Setiap
bid’ah mengandung muatan tuduhan bahwa Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa
Sallam itu bodoh karena ada yang luput dari perhatian Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam sehingga harus ditambahkan, dan mengesankan seakan
ahli bid’ah itu lebih mengetahui syariat daripada beliau Shallallahu ’Alaihi
Wa Sallam.
f.
Ada
dan maraknya bid’ah mengakibatkan umat Islam merasa tidak butuh kepada Al
Qur’an dan sunnah Rasul Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam
Macam – Macam Bid’ah
Pembagian bid’ah menurut
asal terjadinya.
1.
Bid’ah Haqiqiyah
Biasa juga disebut bid’ah ashliyah yaitu
amalan bid’ah yang sama sekali tidak memiliki dasar dalam agama, baik Al Quran,
As Sunah, ijma’, dan qiyas. Juga tidak bersandar kepada dalil-dalil global atau
rinci, dengan kata lain, bid’ah haqiqiyah sama sekali tidak ada
hubungan dengan semua dasar-dasar dan pijakan syariat.
Contoh: apa-apa yang dilakukan oleh kaum quburiyun
mereka meminta-minta kepada penghuni kubur, dan thawaf di kuburan. Sengaja
tidak mau nikah atau membujang, menambah jumlah waktu shalat wajib menjadi enam
waktu misalnya, dan lainnya.
2.
Bid’ah Idhafiyah
Yaitu bid’ah karena penambahan dari syariat yang
pokok. Pada satu sisi nampak tidak bid’ah karena memiliki dasar dalam agama,
tetapi dari sisi lain dia bertentangan dengan agama, khususnya terkait pada hai’ah
(bentuk) dan tata cara ibadahnya, baik dilihat dari sisi waktu, jumlah
aktifitasnya, keyakinan atas fadhilahnya, dan lainnya.
Contoh: berdzikir adalah masyru’ (disyariatkan)
baik oleh Al Quran maupun As Sunah. Tetapi, berdzikir dengan cara memukul
gendang, atau menggelengkan kepala, atau menari-nari seperti kaum darwisy,
atau secara berjamaah dengan satu pola suara, atau mengucapkan dzikir dengan
jumlah tertentu yang tanpa dalil, maka ini termasuk bid’ah idhafiyah.
Bersalawat atas nabi adalah disyariatkan, tetapi
bersalawat dengan dikaitkan pada ibadah lainnya, maka itu bid’ah idhafiyah.
Seperti merutinkan bersalawat sebelum azan yang dilakukan oleh muazin.
Bersalawat memakai gendang-gendang dengan maksud dzikir, dan lainnya.
Maka, dilihat dari asal kejadiannya, maka bid’ah
haqiqiyah lebih besar dosanya dibanding bid’ah idhafiyah lantaran bid’ah
idhafiyah masih ada keterkaitannya dengan dalil, walau keliru
dalam pelaksanaannya.
Pembagian bid’ah menurut Implikasi Hukum Bagi
Pelakunya
Dalam kitab Al Bida’ wal Mukhalafat Al Hajj
disebutkan:
انقسامها باعتبار إخلالها بدين
المبتدع ، فتنقسم بهذا الاعتبار إلى قسمين :
1 - البدعة المكفرة :
وهي التي تخرج صاحبها من دين اللّه ،
وهي ما كانت كفرا صريحا كالطواف بالقبور تقربا إلى أصحابها وتقديم الذبائح والنذور
لهم ودعائهم والاستغاثة بهم .
2 - البدع المفسقة :
وهي التي لا تخرج صاحبها من دائرة
الإسلام لكنه يكون فاسقا بها وتتفاوت في شدة حرمتها ، فمنها ما هو من وسائل الشرك
: كالبناء على القبور والصلاة والدعاء عندها ومنها ما هو معصية كبدعة التبتل عن
الزواج والصيام قائما في الشمس .
Pembagian bid’ah dilihat berdasarkan kategori kondisi
keagamaan pelakunya, maka bid’ah terdiri atas dua macam:
1.
Bid’ah Mukaffirah
Yaitu bid’ah yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama
Allah Ta’ala. Yaitu perbuatan yang jelas kufurnya, seperti thawwaf di kuburan
dalam rangka taqarrub kepada penghuninya, mempersembahkan sembelihan dan nadzar
untuk mereka, berdoa dan minta pertolongan kepada mereka.
2.
Bid’ah Mufassiqah
Yaitu bid’ah yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama
Islam, tetapi dia menjadi fasiq, dan dan keharamannya sangat keras. Di
antaranya adalah sesuatu yang bisa menjadi sarana kesyirikan:
seperti membangun bangunan pada kubur, shalat dan doa di kuburan, juga termasuk
di antaranya adalah maksiat seperti bid’ahnya tidak mau menikah, dan puasa
sambil berdiri di bawah terik matahari. (Syaikh Abdul Muhsin bin Muhammad As
Samih, Syaikh Khalid bin ‘Isa al ‘Asiri, Syaikh Yusuf bin Abdullah al
Hathi, Al Bida’ wal Mukhalafat fil Haj, Hal. 8. Wizarah Asy
Syu’un Al Islamiyah Wal Awqaf wad Da’wah wal Irsyad – Mamlakah As Su’udiyah,
Cet.1, 1423H)
Namun, demikian tidak serta merta pelaku bid’ah dihukumi
sebagai ahlul bid’ah , fasiq, atau kafir, ketika dia melakukan kebid’ahannya.
Harus dilihat dari latar belakang pelakunya; apakah sekedar ikut-ikutan karena
kebodohannya, ataukah memang dengan pemahamannya yang menyimpang dia
menghalalkannya, bahkan menjadi pembelanya. Sebab menghukumi orang bodoh
tidaklah sama dengan orang yang sudah mengetahui hukum. Atau, apakah dia
melakukannya karena memahami bahwa perbuatan itu bukan bid’ah dengan
dalil-dalil yang dia ketahui, dan sebagian ulama pun ada yang
menyetujui. Ini pun tidak langsung disebut sebagai pelaku bid’ah, karena yang
dia lakukan adalah bid’ah yang masih diperselisihkan seperti dzikir dengan
tasbih, bersedakap ketika i’tidal, memperingati maulid nabi, dan lain
sebagainya.
Yang jelas untuk menyebut seseorang sebagai ahli bid’ah
harus dipenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada penghalang (mawani’)
yang membuatnya bebas dari vonis tersebut.
Pembagian Bid’ah Dilihat Sisi Bobot Bahayanya
Ini juga terbagi menjadi dua bagian:
1.
Bid’ah Kubra (bid’ah besar)
Yaitu bid’ah dalam bidang aqidah (teologi),
ideologi, dan pemikiran, baik klasik maupun modern. Inilah yang disebut sebagai
ahlul bid’ah dan ahlul ahwa’. Contohnya adalah paham wihdatul
wujud (bersatunya Allah dengan wujud makhluk), paham yang mengatakan Al
Quran bukan Kalamullah (firman Allah) tetapi makhluk, dan yang seperti
ini.
Secara massiv, bid’ah ini ditampilkan
oleh berbagai sekte (firaq adh dhalalah), seperti khawarij
(mengkafirkan pelaku dosa besar), syi’ah (mengkafirkan para sahabat
nabi, kecuali Ali dan ahlul bait), murji’ah (menganggap amal shalih dan
maksiat sama sekali tidak mempengaruhi keimanan), jahmiyah (mengingkari
sifat-sifat Allah), mujassimah (meyakini Allah memiliki jism/ tubuh
sebagaimana makhluk), mu’tazilah (rasionalis ekstrim
yang menolak banyak rukun-rukun agama), qadariyah (paham yang meyakini
Allah tidak ada peran apa-apa dalam kehidupan selain menciptakan saja), jabbariyah
(paham yang meyakini manusia sama sekali tidak memiliki kehendak untuk
berbuat), dan yang semisalnya. Atau, isme-isme modern seperti komunisme,
sekulerisme, liberalisme, pluralisme, sosialisme, kapitalisme, dan atheisme.
Jenis-jenis bid’ah ini ada yang sekedar
dosa besar, dan ada pula yang sudah taraf kafir.
2.
Bid’ah Sughra (bid’ah kecil)
Ini juga terbagi atas beberapa bagian. Pertama,
bid’ah amaliyah yaitu bid’ah pada bidang amaliyah ibadah, seperti
melaksanakan tata cara amalan ibadah yang diyakini sebagai ajaran agama,
padahal tidak memiliki dasar sama sekali dalam syariat. Misal, menentukan
jumlah dzikir sebanyak ribuan dengan fadhilah ini dan itu. Atau, amalannya
sudah sesuai sunah, tetapi niatnya tidak benar, misalnya berdzikir dengan niat
memiliki kesaktian, menyembelih hewan dengan niat sebagai sesajen. Kedua,
bid’ah tarkiyah yaitu kesengajaan meninggalkan hal-hal yang dihalalkan
dengan tujuan ‘ibadah tanpa memiliki dasar dalam agama. Misalnya sengaja
meninggalkan nikah dengan niat ibadah, meninggalkan makan daging (vegetarian)
dengan alasan mendekatkan diri kepada Allah, dan yang semisalnya.
Jenis bid’ah ini, walau secara tampilan
lahiriyah adalah ibadah, namun membawa pelakunya pada kefasikan dan maksiat
kepada Allah Ta’ala, tetapi tidak sampai keluar dari agama.
Pembagian Bid’ah Berdasarkan Sikap Ulama
Terhadap Status Bid’ahnya
Dalam hal ini, bid’ah juga terbagi atas dua kelompok, yaitu
bid’ah yang muttafaq ‘alaih (disepakati kebid’ahannya) dan mukhtalaf
fih (diperselisihkan kebid’ahannya).
1. Bid’ah yang
Disepakati (muttafaq ‘alaih)
Ini adalah bid’ah yang disepakati para imam kaum muslimin.
Seperti bid’ah dalam masalah aqidah, ideology, dan pemikiran yang membawa
pelakunya kepada dosa besar bahkan kafir. (lihat Bid’ah Kubra)
Juga termasuk di dalamnya, adalah amalan ibadah yang sama
sekali tidak ada dasarnya dalam semua dasar-dasar agama, baik Al Quran, As
Sunnah, dan ijma’. Contohnya adalah tawaf di kubur, menambah jumlah rakaat
shalat secara sengaja, merubah arah kiblat secara sengaja dengan tanpa uzur
syar’i, mempelajari ilmu hitam (sihir dan perdukunan), berdoa meminta kepada
mayat, dan yang semisalnya.
Sikap terhadap bid’ah yang disepakati ini adalah harus tegas
dan iqamatul hujjah (menegakkan hujjah) agar pelakunya bertobat dan
penyebarannya terhenti. Tentu dilakukan dengan cara hikmah agar tidak
melahirkan kerusakan yang lebih besar.
2. Bid’ah yang
Diperselisihkan (mukhtalaf fih)
Jenis ini sangat banyak, yaitu amal yang dianggap bid’ah
oleh sekelompok ulama dengan hujjah mereka, namun dianggap boleh bahkan sunah
oleh ulama lain dengan hujjah yang mereka punya juga. Walhasil, bagian
ini sebagaimana jenis khilafiyah ijtihadiyah para ulama (baik dalam
ibadah dan muamalah), maka sikap kita adalah toleran dan tidak
bertindak keras dalam mengingkarinya. Sebagaimana yang dilakukan oleh
para salaf, dan ditegaskan oleh para ulama muta’akhirin seperti Imam As
Suyuthi, Imam An Nawawi, dan lainnya.
Contoh:
-
Qunut
Shubuh
Imam Malik dan Imam Syafi’i mengatakan sunah, sementara Imam
Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal mengatakan bid’ah.
Berkata Al ‘Allamah Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin Rahimahullah
sebagai berikut:
فقد كان الإمام أحمدُ رحمه الله يرى أنَّ
القُنُوتَ في صلاة الفجر بِدْعة، ويقول: إذا كنت خَلْفَ إمام يقنت فتابعه على
قُنُوتِهِ، وأمِّنْ على دُعائه، كُلُّ ذلك مِن أجل اتِّحاد الكلمة، واتِّفاق
القلوب، وعدم كراهة بعضنا لبعض.
“
Adalah Imam Ahmad Rahimahullah berpendapat bahwa qunut dalam shalat
fajar (subuh) adalah bid’ah. Dia mengatakan: “Jika aku shalat di belakang imam
yang berqunut, maka aku akan mengikuti qunutnya itu, dan aku aminkan doanya,
semua ini lantaran demi menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghilangkan
kebencian antara satu dengan yang lainnya.” (Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Syarhul
Mumti’, 4/25. Mawqi’ Ruh Al Islam) Inilah bijaknya Imam Ahmad bin
Hambal.
Imam Asy Syaukani, menyebutkan dari Al Hazimi tentang
siapa saja yang berpendapat bahwa qunut subuh adalah masyru’
(disyariatkan), yakni kebanyakan manusia dari kalangan sahabat, tabi’in,
orang-orang setelah mereka dari kalangan ulama besar, sejumlah sahabat
dari khalifah yang empat, hingga sembilan puluh orang sahabat nabi, Abu Raja’
Al ‘Atharidi, Suwaid bin Ghaflah, Abu Utsman Al Hindi, Abu Rafi’ Ash
Shaigh, dua belas tabi’in, juga para imam fuqaha seperti Abu Ishaq Al Fazari,
Abu Bakar bin Muhammad, Al Hakam bin ‘Utaibah, Hammad, Malik, penduduk Hijaz,
dan Al Auza’i. Dan, kebanyakan penduduk Syam, Asy Syafi’i dan sahabatnya, dari
Ats Tsauri ada dua riwayat, lalu dia (Al Hazimi) mengatakan: kemudian banyak
manusia lainnya. Al ‘Iraqi menambahkan sejumlah nama seperti Abdurraman bin
Mahdi, Sa’id bin Abdul ‘Aziz At Tanukhi, Ibnu Abi Laila, Al Hasan bin Shalih,
Daud, Muhammad bin Jarir, juga sejumlah ahli hadits seperti Abu Hatim Ar Razi,
Abu Zur’ah Ar Razi, Abu Abdullah Al Hakim, Ad Daruquthni, Al Baihaqi, Al
Khathabi, dan Abu Mas’ud Ad Dimasyqi. (Nailul Authar, 2/345-346)
Itulah nama-nama yang meyetujui qunut subuh pada rakaat
kedua, mereka sangat banyak dan mereka adalah para ahli ilmu dari kalangan
sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, fuqaha dan ahli hadits.
-
Membaca Taswid (Sayyidina) Dalam Shalat
Sebagian ulama membolehkannya, bahkan menilainya sebagai
sunah dan adab terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
seperti Imam Syihabuddin Ar Ramli (lihat kitab Nihayatul Muhtaj,
4/329. Mawqi’ Al Islam) , Imam Ibnu ‘Abidin (lihat kitab Hasyiyah Radd
Al Muhtar, 1/26. Darul Fikr), Imam Al Hashfaki (lihat kitab Ad
Durrul Mukhtar 1/553. Darul Fikr), Imam Al Haththab dan Imam ‘Izzuddin
bin Abdussalam (lihat kitab Mawahib Al Jalil, 1/70. Mawqi’ Al Islam),
dan lainnya.
Sedangkan yang lain mengatakan bahwa membaca sayyidina
dalam shalat (ketika shalawat pada tasyahud) adalah tidak disyariatkan.
-
Berdzikir Dengan Biji tasbih (sub-hah)
Sebagian besar ulama membolehkannya bahkan ada yang
mengatakan baik dan sunah, tetapi mereka juga menyatakan bahwa menghitung
dzikir dengan ruas jari kanan adalah lebih utama. Mereka adalah
Imam Ibnu Taimiyah (lihat Majmu’ Fatawa 5/225, Mawqi’ Al Islam),
Imam As Suyuthi dan Imam Asy Syaukani (lihat Nailul Authar,
2/316-317. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah), Imam Ibnu Hajar Al Haitami
(lihat Al Fatawa Al Fiqhiyyah Al
Kubra, 1/219. Cet. 1. 1417H-1997M. Darul kutub Al ‘Ilmiyah), Imam Ibnu
Abidin (Raddul
Muhtar, 5/54.
Mawqi’ Al Islam), Imam Al Munawi (lihat
Faidhul Qadir, 4/468. Cet. 1, 1415H-1994M. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah), Imam Abul
‘Ala Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri (lihat Tuhfah Al Ahwadzi,
9/458. Cet. 2, 1383H-1963M. Al Maktabah As Salafiyah, Madinah), Syaikh
‘Athiyah Shaqr (Fatawa Al Azhar), Syaikh Abdul Aziz bin Abdulah bin Baz (lihat
Majmu’ Fatawa wa Maqallat, 29/318. Mawqi’ Ruh Al Islam), Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin (lihat Fatawa Nur ‘alad Darb, Bab Mutafariqah, No. 708. Mawqi’ Ruh Al Islam), Syaikh Shalih
Fauzan (lihat Al
Mulakhash Al Fiqhi,
1/159. Mawqi’ Ruh Al Islam) , Syaikh Ali Jum’ah, para ulama di Al Azhar, pakistan,
dan lain sebagainya, bahkan Imam As Suyuthi mengatakan tak ada yang mengingkari
kebolehannya baik kaum salaf maupun khalaf.
Disebutkan oleh Imam Asy Syaukani
sebagai berikut:
وقد ساق السيوطي آثارًا
في الجزء الذي سماه المنحة في السبحة وهو من جملة كتابه المجموع في الفتاوى وقال
في آخره : ولم ينقل عن أحد من السلف ولا من الخلف المنع من جواز عد الذكر
بالسبحة بل كان أكثرهم يعدونه بها ولا يرون في ذلك مكروهًا انتهى .
Imam As Suyuthi telah mengemukakan berbagai atsar dalam juz yang dia
namakan Al Minhah fi As Subhah, yang merupakan bagian dari kumpulan
fatwa-fatwa, dia berkata pada bagian akhirnya: “Tidaklah ada
nukilan seorang pun dari kalangan salaf dan tidak pula khalaf yang
melarang kebolehan menghitung dzikir dengan subhah (biji tasbih), bahkan
justru kebanyakan mereka menghitung dengannya, dan mereka tidak memandangnya
sebagai perbuatan yang dibenci. Selesai” (Imam Asy Syaukani, Nailul
Authar, Hal. 317. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)
Tetapi faktanya, zaman ini ada ulama yang melarangnya bahkan menganggap itu
adalah bid’ah. Mereka adalah Syaikh Al Abani (As
Silsilah Adh Dhaifah 3/47, No. 1002), Syaikh Abdul Muhsin Al
Abbad Al Badar (Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr, Syarh Sunan Abi
Daud No. 44 dan 180. Maktabah Misykah), bahkan Syaikh Bakr Abu Zaid
membuat kitab tersendiri untuk membid’ahkannya.
-
Ritual
Nishfu Sya’ban
Sebagian ada yang membolehkan, yakni para tabi’in seperti
Khalid bin Mi’dan, Makhul, dan Ishaq bin Rahawaih. Mereka memakai pakain bagus,
wangi-wangian, lalu menghidupkan malam nishfu sya’ban ke masjid dan shalat
berjamaah. (Al Qasthalani, Al Mawahib Al Laduniyah, 2/259)
Namun, kebanyakan ulama memakruhkan dan membid’ahkan,
Mereka adalah para imam di hijaz, yakni Imam ‘Atha, Imam Ibnu Abi
Malikah, para ahli fiqih Madinah (sahabatnya Imam Malik dan pengikutnya), Imam
Al Auza’i (imamnya penduduk Syam). (Fatawa Al Azhar, 10/131) juga
Syaikh bin Baz. (Fatawa al Lajnah ad Daimah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’,
4/281)
Bahkan Imam An Nawawi menyebutnya sebagai bid’ah munkar yang
buruk .(Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 2/379. Dar ‘Alim Al Kitab)
-
Peringatan
Maulid
Sebagian ulama ada yang membolehkannya, selama tidak diisi
dengan cara yang munkar, tidak melalaikan shalat, dan tidak campur baur laki
dan wanita. Bahkan mereka menamakannya dengan bid’ah hasanah, yakni Imam As
Suyuthi (dia mengatakan maulid sebagai min ahsani maa ubtudi’a/termasuk
bid’ah yang terbaik, beliau menyusun kitab Husnul Maqshud fi ‘Amalil
Maulud), Imam Ibnu Hajar, Imam Abu Syamah, Syaikh ‘Athiyah Shaqr, Syaikh
Yusuf Al Qaradhawi, dan lainnya. Tetapi, pembolehan mereka ini hanya sebatas
pemanfaatan momen maulid untuk menapaktilasi dan mengkaji kehidupan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Bukan acara ritual khusus, bacaan-bacaan khusus, yang
jika tidak dilakukan maka maulidnya kurang afdhal. Tidak demikian.
Sedangkan ulama lain, seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu
Al Haj, para ulama Saudi, dan lain-lain membid’ahkan peringatan maulid, apa pun
bentuknya.
-
Membaca
Al Quran (Yasin atau lainnya) Untuk Mayit, Baik Sebelum Atau Sesudah di Kubur
Sebagian ulama memakruhkan dan membid’ahkannya karena hal
ini tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah, para sahabat, dan salafush shalih,
mereka adalah seperti Imam Malik dan sebagian pengikutnya (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 16/8.
Wizarah Al Awqaf Asy Syu’un Al Islamiyah, lihat juga Syarh Mukhtashar
Khalil, 5 /467), Imam Abu Hanifah (Fatawa
Al Azhar, 7/458).
Dari madzhab Hambali, yaitu Imam Ibnul Qayyim (Zaadul
Ma’ad, 1/527. Muasasah Ar Risalah), Imam Muhammad bin Abdul Wahhab (Al
Bayan Li Akhtha’i Ba’dhil Kitab, Hal. 171. Mawqi’ Ruh Al Islam),
Syaikh Shalih Fauzan (lihat Al Mulakhash Al Fiqhi, 1/296-297.
Mawqi’ Ruh Al Islam), Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr (Syaikh
Abdul Muhsin Al ‘Abbad, Syarh Sunan Abi Daud No. 363. Maktabah Misykat),
dan lainnya.
Sedangkan Imam As Syafi’i ada dua riwayat tentang beliau,
yakni beliau menganjurkan membaca Al Quran di sisi kubur, bahkan jika sampai
khatam itu bagus. (Imam An Nawawi, Riyadhus
Shalihin, Hal.
117. Mawqi’ Al Warraq)
Tetapi, dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir, Imam Asy
Syafi’i menyatakan bahwa pahala bacaan Al Quran kepada mayit tidaklah sampai. (Imam
Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, Juz.7, Hal. 465. Dar Thayyibah
Lin Nasyr wat Tauzi’. Cet. 2, 1999M-1420H) dan ini menjadi pendapat
mayoritas madzhab Asy Syaf’i
Imam Asy Syaukani menyatakan keterangan sebagai
berikut:
والمشهور من مذهب الشافعي وجماعة من
أصحابه أنه لا يصل إلى الميت ثواب قراءة القرآن
“Yang masyhur dari madzhab Asy Syafi’i dan jamaah para sahabat-sahabatnya
adalah bahwa pahala membaca Al Quran tidaklah sampai ke mayit.”
Imam Asy Syaukani juga mengutip perkataan Imam Ibnu Nahwi, seorang ulama
madzhab Asy Syafi’i, dalam kitab Syarhul Minhaj, sebagai berikut:
لا يصل إلى الميت عندنا ثواب القراءة
على المشهور
“Yang masyhur menurut madzhab kami, pahala bacaan Al Quran tidaklah sampai ke
mayit.” (Nailul Authar, 4/142. Maktabah Ad da’wah Al Islamiyah)
Alasannya adalah surat An Najm ayat
39: “Manusia tidaklah mendapatkan kecuali apa yang diusahakannya.”
Ada pun yang membolehkan adalah seorang sahabat Nabi, yakni Abdullah bin Amr
bin Al ‘Ash, yang berwasiat jika dia dikuburkan hendaknya dibaca
awal surat Al Baqarah dan akhirnya.
(Imam
Al Bahuti, Syarh Muntaha Al Iradat, 3/16. Mawqi’ Al Islam) ini juga
pendapat Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Ibnu Qudamah. (Imam Ibnu Qudamah, Syarh
Al Kabir, 2/305. Darul Kitab Al ‘Arabi). Imam Ahmad menganjurkan
jika memasuki komplek pekuburan hendaknya membaca Yasin tiga kali, Al
Ikhlas, dan membaca: Allahumma inna fadhlahu li Ahlil Maqabir.” (Al
Mughni, 5/78)
Selain mereka, juga Imam Asy
Syaukani. (lihat Nailul Authar, 4/92. Maktabah Ad Da’wah Al
Islamiyah), dari ulama madzhab Hanafi, yaitu Al Hafizh Al
Imam Az Zaila’i (lihat Tabyin Al Haqaiq Syarh Kanzu Ad Daqaiq,
5/132), Imam Ibnu Nujaim (Al Bahrur Raiq Syarh Kanz Ad Daqaiq,
3/84. Dar Ihya At Turats), Imam Kamaluddin bin Al Humman (Fathul
Qadir, 6/134).
Dari madzhab Maliki, yaitu Imam Ibnu
Rusyd (Imam Muhammad Al Kharasyi, Syarh Mukhtashar Khalil,
5/467), dan Imam Al Qarrafi (Imam Ahmad An Nafrawi, Al Fawakih Ad
Dawani, 3/283).
Dari Madzhab Syafi’i, yaitu Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki. (Tuhfatul
Muhtaj fi Syarhil Minhaj, 10/371), dan Imam Syihabuddin Ar ramli (Nihayatul
Muhtaj, 2/428)
Juga kalangan ulama kontemporer,
seperti Syaikh Hasanain Makhluf. (Fatawa Al Azhar, 5/471), dan
Syaikh ‘Athiyah Shaqr. (Fatawa Al Azhar, 8/295). Keduanya adalah
mantan mufti Mesir.
Mereka membantah dalil yang digunakan oleh Imam Asy Syafi’I
(An najm: 39). Ayat itu menurut Ibnu Abbas telah dimansukh
(dihapus). Dalam Tafsir Ibnu Jarir tentang An Najm ayat 39: “Manusia
tidaklah mendapatkan kecuali apa yang diusahakannya.” Disebutkan dari
Ibnu Abbas bahwa ayat tersebut mansukh (dihapus, yang dihapus
bukanlah teksnya, tetapi hukumnya, pen) oleh ayat lain yakni, “Dan
orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam
keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka ..” maka
anak-anak akan dimasukkan ke dalam surga karena kebaikan yang dibuat
bapak-bapaknya. (Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Jami’ul
Bayan fi Ta’wilil Quran, 22/546-547)
Sementara dalam kitab Tabyin Al Haqaiq Syarh Kanzu Ad
Daqaiq, disebutkan bahwa An Najm ayat 39 tersebut dikhususkan
untuk kaum Nabi Musa dan Ibrahim, karena di dalam rangkaian ayat
tersebut diceritakan tentang kitab suci mereka berdua,
firmanNya: “Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-
lembaran Musa? dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji?”
(QS. An Najm (53): 36-37)
Ada juga yang mengatakan, maksud ayat tersebut (An Najm 39)
adalah untuk orang kafir, sedangkan bagi orang beriman, maka baginya juga
mendapatkan manfaat usaha dari saudaranya. (Imam Fakhruddin Az Zaila’i, Tabyin
Al Haqaiq Syarh Kanzu Ad Daqaiq, 5/132)
Masih banyak lagi amal yang masih diperselisihkan bid’ah
atau tidaknya, seperti membaca Shaddaqallahul ‘Azhim setelah membaca Al
Quran, dzikir berjamaah setelah shalat, berdoa setelah shalat, berjabat tangan
setelah shalat, dan lainnya.
-
Adakah
Bid’ah Hasanah?
Diskusi tentang pembagian ini telah
mejadi perdebatan hangat antara ulama kita sejak dahulu hingga sekarang. Di
antara mereka ada yang membagi bid’ah menjadi dua, yakni bid’ah hasanah dan dhalalah,
sebagaimana pandangan Imam Asy Syafi’i dan pengikutnya, seperti Imam An Nawawi,
Imam Abu Syamah.. Bahkan Imam Al ‘Izz bin Abdussalam dan Imam An Nawawi
membagi bid’ah menjadi lima, sebagaimana pembagian dalam ketentuan syara’,
yakni bid’ah wajib, bid’ah sunah, bid’ah makruh, bid’ah haram, dan bid’ah
mubah. Selain itu juga Imam Ibnul Jauzi, Imam Ibnu Hazm, Imam Al Qarrafi dan
Imam Az Zarqani.
Namun, tidak sedikit ulama yang menolak keras pembagian itu, bagi mereka
tidak ada bid’ah hasanah, apalagi hingga lima pembagian. Bagi mereka semua
bid’ah adalah sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, Kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat). Mereka
adalah Imam Malik, Imam Asy Syatibi, Imam Ibnu Hajar Al Asqalani, Imam Abu
Bakar At Thurtusy, Imam al Baihaqi, Imam Ibnu Hajar Al Haitami, Imam Al Aini, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu
Rajab, dan umumnya para ulama kontemporer, termasuk ulama moderat Syaikh Yusuf
Al Qaradhawy.
Kelompok pertama, Para Ulama yang Mengakui adanya Bid’ah Hasanah
Para ulama yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah,
bukan tanpa alas an. Di antara hujjah mereka adalah hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim, sebagai berikut:
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa dalam Islam membuat kebiasan baik, maka tercatat baginya pahala dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahaala mereka yang mengikutinya. Barangsiapa dalam Islam membuat kebiasaan buruk, maka tercatat baginya dosa dan dosa orang yang mengikutinya setelahnya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka.” (HR. Muslim, No. 1017, At tirmidzi No. 2675, An Nasa’i No. 2554, Ibnu Majah No. 203)
Imam Asy
Syafi’i dan Imam As Suyuthi Rahimahumallah
Berkata Imam As Suyuthi Rahimahullah sebagai berikut:
والحوادث تنقسم إلى: بدعة
مستحسنة، وإلى بدع مستقبحة، قال الإمام الشافعي رضي الله عنه: البدعة بدعتان: بدعة
محمودة، وبدعة مذمومة، فما وافق السنة فهو محمود، وما خالف السنة فهو مذموم. واحتج
بقول عمر رضي الله عنه: نعمت البدعة هذه. وقال الإمام الشافعي أيضاً رضي الله
تعالى عنه: المحدثات في الأمور ضربان: أحدهما ما حدث يخالف كتاباً أو سنة أو أثراً
أو إجماعاً فهذه البدعة الضلالة. والثاني: ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من
هذا فهي محدثة غير مذمومة.
"Perkara-perkara
yang baru terbagi atas bid’ah yang baik dan bid’ah yang buruk. Berkata Imam
Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu: “Bid’ah itu ada dua; bid’ah terpuji
dan bid’ah tercela. Maka, apa-apa saja yang sesuai dengan sunah maka itu
terpuji, dan apa-apa saja yang menyelisihi sunah maka itu tercela.” Beliau
beralasan dengan ucapan Umar Radhiallahu ‘Anhu: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah
ini.” Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu juga berkata: “Hal-hal yang baru itu
ada dua segi; pertama, apa-apa saja yang menyelisihi Al Quran, As Sunnah,
Atsar, Ijma’, maka inilah bid’ah dhalalah (sesat). Kedua, apa-apa saja
perbuatan baru yang baik, yang tidak menyelisihi satu saja dari sumber itu,
maka perkara baru tersebut tidaklah tercela.” (Imam
As Suyuthi, Al Amru ‘bil Ittiba’ wan Nayu ‘anil Ibtida’, Hal. 6. Juga
Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 13/253. Darul Fikr)
Imam Al
Qurthubi Rahimahullah
Berkata Imam Al Qurthubi Al Maliki Rahimahullah tentang
hadits Imam Muslim di atas:
وهذا إشارة إلى ما ابتدع من قبيح
وحسن، وهو أصل هذا الباب، وبالله العصمة والتوفيق، لا رب غيره.
“Ini adalah isyarat bahwa apa-apa yang baru (bid’ah), di
antaranya ada yang buruk dan ada yang baik, dan itulah asal dari masalah ini.
Dan kepada Allah memohon penjagaan dan taufiq, dan Tiada Rabb selainNya.” (Imam Al Qurthubi, Jami’ul Ahkam,
2/87. Dar Ihya’ At Turats Al ‘Arabi)
Imam Al Ghazali
Ath Thusi Rahimahullah
فكم من محدث حسن كما قيل
في إقامة الجماعات في التراويح إنها من محدثات عمر رضي الله عنه وأنها بدعة حسنة.
إنما البدعة المذمومة ما يصادم السنة القديمة أو يكاد يفضي إلى تغييرها.
“Maka, betapa banyak perbuatan baru yang baik,
sebagaimana dikatakan tentang berjamaahnya shalat tarawih, itu adalah di antara
perbuatan barunya Umar Radhiallahu ‘Anhu, dan itu adalah bid’ah hasanah.
Sesungguhnya bid’ah tercela itu hanyalah apa-apa yang bertentangan dengan sunah
terdahulu atau yang membawa kepada perubahan terhadap sunah.”(Imam Al
Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, 1/286, Mawqi’ Al Warraq)
Imam An Nawawi Rahimahullah
Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah ketika
menjelaskan hadits di atas:
وَفِي هَذَا الْحَدِيث تَخْصِيص قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " كُلّ مُحْدَثَة بِدْعَة وَكُلّ بِدْعَة ضَلَالَة " ، وَأَنَّ الْمُرَاد بِهِ الْمُحْدَثَات الْبَاطِلَة وَالْبِدَع الْمَذْمُومَة ، وَقَدْ سَبَقَ بَيَان هَذَا فِي كِتَاب صَلَاة الْجُمُعَة ، وَذَكَرْنَا هُنَاكَ أَنَّ الْبِدَع خَمْسَة أَقْسَام : وَاجِبَة وَمَنْدُوبَة وَمُحَرَّمَة وَمَكْرُوهَة وَمُبَاحَة
“Pada hadits ini terdapat takhsis
(spesifikasi/pengkhususan/penyempitan) dari hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam: “Setiap yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah
sesat.” Yang dimaksud oleh hadits ini adalah hal-hal baru yang batil dan bid’ah
tercela. Telah berlalu penjelasan tentang ini pada pembahasan “Shalat Jum’at”.
Kami menyebutkan di sana , bahwa bid’ah ada lima bagian: Wajib, sunah, haram,
makruh, dan mubah.” (Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,
3/461. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Jadi, menurut pemahaman Imam An Nawawi, hadits ‘Kullu
bid’atin dhalalah’ maknanya masih umum, yang telah dipersempit oleh hadits
Imam Muslim di atas, sehingga tidak setiap bid’ah itu sesat.
Imam Abul Hasan
As Sindi Rahimahullah
Hal ini juga dikuatkan oleh Imam Abul Hasan
Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi, penulis Hasyiah ‘ala Ibni Majah,
ketika mengomentari hadits Kullu bid’atin dhalalah sebagaiberikut
ini:
قِيلَ أُرِيد بِهَا مَا
لَيْسَ لَهُ أَصْل فِي الدِّين وَأَمَّا الْأُمُور الْمُوَافِقَة لِأُصُولِ
الدِّين فَغَيْر دَاخِلَة فِيهَا وَإِنْ أُحْدِثَتْ بَعْده صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قُلْت هُوَ الْمُوَافِق لِقَوْلِهِ وَسُنَّة الْخُلَفَاء
فَلْيَتَأَمَّلْ .
“Dikatakan, yang dikehendaki oleh hadits ini adalah
apa-apa yang tidak memiliki dasar dalam agama, sedangkan perkara yang
bersesuaian dengan dasar-dasar agama bukanlah termasuk di dalam maksud hadits
tersebut, walau pun hal itu baru ada setelah masa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Aku berkata: hal itu sesuai dengan sunahnya dan sunah al
Khulafa’, maka perhatikanlah.” (Imam Abul
Hasan As Sindi, Hasyiah ‘ala Ibni Majah, No. 42. Mawqi’ Ruh Al
Islam)
Imam Al lusi Rahimahullah
Imam Al Alusi berkata:
وقال صاحب جامع الأصول : الابتداع من المخلوقين إن كان في خلاف ما أمر الله تعالى به ورسوله صلى الله عليه وسلم فهو في حيز الذم والإنكار وإن كان واقعاً تحت عموم ما ندب الله تعالى إليه وحض عليه أو رسوله صلى الله عليه وسلم فهو في حيز المدح وإن لم يكن مثاله موجوداً كنوع من الجود والسخاء وفعل المعروف ، ويعضد ذلك قول عمر بن الخطاب رضي الله تعالى عنه في صلاة التراويح : نعمت البدعة هذه .
Berkata penulis Jami’ al Ushul:
“Perkara baru yang diada-adakan oleh manusia, jika berselisih dengan apa-apa
yang Allah Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
perintahkan, maka itu tercela dan harus diingkari. Namun, jika masih
bersesuaian dengan keumuman apa-apa yang Allah Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam anjurkan, maka itu termasuk terpuji, walau
pun belum ada yang semisalnya, yang mendukung hal itu adalah ucapan Umar bin al
Khathab Radhiallahu ‘Anhu tentang shalat tarawih: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah
ini.” (Imam Al
Alusi, Ruhul Ma’ani, 20/346 Mawqi’ At Tafasir)
Dalam catatan kaki kitab Al
Ibanah Al Kubra karya Ibnu Baththah,
disebutkan:
البدعة بِدْعَتَان : بدعة
هُدًى، وبدعة ضلال، فما كان في خلاف ما أمَر اللّه به ورسوله صلى اللّه عليه وسلم
فهو في حَيِّز الذّم والإنكار، وما كان واقعا تحت عُموم ما نَدب اللّه إليه وحَضَّ
عليه اللّه أو رسوله فهو في حيز المدح، وما لم يكن له مثال موجود كنَوْع من الجُود
والسخاء وفعْل المعروف فهو من الأفعال المحمودة، ولا يجوز أن يكون ذلك في خلاف ما
وَردَ الشرع به
“Bid’ah ada dua: bid’ah petunjuk dan bid’ah sesat.
Bid’ah sesat adalah apa-apa yang berselisih dengan yang Allah dan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam perintahkan. Namun, jika masih bersesuaian dengan
keumuman apa-apa yang Allah Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam anjurkan, maka itu termasuk terpuji, walau pun belum ada
yang semisalnya dan tidak boleh dalam hal itu adanya pertentangan dengan
syara’.” (Imam Ibnu Bathah, Al Ibanah Al Kubra,
1/13 . Mawqi’ Jami’ Al Hadits)
Imam Izzuddin
bin Abdussalam Rahimahullah
فَصْلٌ فِي الْبِدَعِ الْبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ
يُعْهَدْ فِي عَصْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .
وَهِيَ مُنْقَسِمَةٌ إلَى : بِدْعَةٌ
وَاجِبَةٌ ، وَبِدْعَةٌ مُحَرَّمَةٌ ، وَبِدْعَةٌ مَنْدُوبَةٌ ، وَبِدْعَةٌ
مَكْرُوهَةٌ ، وَبِدْعَةٌ مُبَاحَةٌ ، وَالطَّرِيقُ فِي مَعْرِفَةِ ذَلِكَ أَنْ
تُعْرَضَ الْبِدْعَةُ عَلَى قَوَاعِدِ الشَّرِيعَةِ : فَإِنْ دَخَلَتْ فِي
قَوَاعِدِ الْإِيجَابِ فَهِيَ وَاجِبَةٌ ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ
التَّحْرِيمِ فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمَنْدُوبِ
فَهِيَ مَنْدُوبَةٌ ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمَكْرُوهِ فَهِيَ
مَكْرُوهَةٌ ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمُبَاحِ فَهِيَ مُبَاحَةٌ ،
وَلِلْبِدَعِ الْوَاجِبَةِ أَمْثِلَةٌ .
أَحَدُهَا : الِاشْتِغَالُ بِعِلْمِ
النَّحْوِ الَّذِي يُفْهَمُ بِهِ كَلَامُ اللَّهِ وَكَلَامُ رَسُولِهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَذَلِكَ وَاجِبٌ لِأَنَّ حِفْظَ الشَّرِيعَةِ
وَاجِبٌ وَلَا يَتَأَتَّى حِفْظُهَا إلَّا بِمَعْرِفَةِ ذَلِكَ ، وَمَا لَا
يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ .
الْمِثَالُ الثَّانِي : حِفْظُ
غَرِيبِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ مِنْ اللُّغَةِ .
الْمِثَالُ الثَّالِثُ : تَدْوِينُ
أُصُولِ الْفِقْهِ .
الْمِثَالُ الرَّابِعُ : الْكَلَامُ
فِي الْجُرْحِ وَالتَّعْدِيلِ لِتَمْيِيزِ الصَّحِيحِ مِنْ السَّقِيمِ ، وَقَدْ
دَلَّتْ قَوَاعِدُ الشَّرِيعَةِ عَلَى أَنَّ حِفْظَ الشَّرِيعَةِ فَرْضُ كِفَايَةٍ
فِيمَا زَادَ عَلَى الْقَدْرِ الْمُتَعَيَّنِ ، وَلَا يَتَأَتَّى حِفْظُ
الشَّرِيعَةِ إلَّا بِمَا ذَكَرْنَاهُ .
Pembahasan tentang Macam bid’ah-bid’ah
Bid’ah adalah perbuatan yang belum pernah ada pada masa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Bid’ah terbagi atas: bid’ah wajib, bid’ah haram,
bid’ah mandub (sunah), bid’ah makruh, dan bid’ah mubah. Untuk memahami ini,
kita mengembalikannya sebagaimanan kaidah-kaidah syar’iyyah; jika bid’ah itu
masuk prinsip kaidah kewajiban maka dia wajib, jika dia masuk prinsip kaidah
pengharaman maka dia haram, jika dia masuk prinsip kaidah anjuran maka dia
sunah, jika dia masuk prinsip kaidah kemakruhan maka dia makruh, jika dia
masuk prinsip kaidah pembolehan maka dia mubah.
Contoh bid’ah wajib adalah pertama, menyibukkan dari
dalam ilmu nahwu yang dengannya kita bisa memahami firman Allah dan perkataan
Rasulullah, demikian itu wajib karena menjaga syariat adalah wajib, dan tidak
bisa menjaga syariat kecuali dengan memahami hal itu (nahwu). Tidaklah sempurna
kewajiban kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib.
Kedua, menjaga perbendarahaan kata asing pada Al Quran
adan As Sunnah. Ketiga, pembukuan disiplin ilmu usuhl fiqih. Keempat, perkatan
dalam ilmu jarh wa ta’dil, yang dengannya bisa membedakan mana hadits yang
shahih dan cacat
. Kaidah-kaidah syar’iyyah telah menunjukkan bahwa
menjaga syariat adalah fardhu kifayah, sejauh bekal dan kemampuan masing-amsing
secara khusus. Dan tidaklah mudah urusan penjagaan syariah kecuali dengan
apa-apa yang telah kami sebutkan.
Sedangkan bid’ah yang haram contohnya adalah pemikiran
qadariyah, jabriyah, murji’ah, dan mujassimah, semuanya adalah lawan
dari bid’ah wajib.
Adapun bid’ah yang sunah, contohnya adalah
menciptakan jalur penghubung, sekolah-sekolah, dan jembatan, termasuk juga
semua kebaikan yang belum ada pada masa awal, seperti shalat tarawuih,
perkataan hikmah para ahli tasawwuf, dan perkataan yang mampu mengikat beragam
perhimpunan dan bisa menjelaskan berbagai permasalahan, jika dimaksudkan karena
Allah Ta’ala semata.
Adapun bid’ah makruhah (dibenci), contohnya adalah
menghias mesjid, menghias Al Qur’an, dan sedangkan melagukan Al Qur’an sehingga merubah lafazh, maka yang benar adalah itu bid’ah yang
haram. Sedangkan bid’ah mubahah (boleh), contohnya adalah bersalaman setelah
shalat subuh dan ashar, juga memperluas kesenangan dalam urusan makanan,
minuman, pakaian, dan tempat tinggal, pakaian kebesaran ulama, dan melebarkan
lengan baju. Telah terjadi perselishan dalam hal ini, sebagian ulama ada yang
memakruhkan, sebagian lain mengatukan bahwa itu adalah kebiasaan yang sudah
dikerjakan pada masa Rasulullah dan setelahnya, perseleisihan ini seperti
masalah pembacaan isti’adzah dan basmalah dalam shalat. (Imam Izzudin bin
Abdussalam, Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam, 2/380-384. Mawqi’ Al Islam)
Demikian keterangan dari beberapa Imam yang mewakili
kelompok yang menyetujui pembagian bid’ah menjadi dua bagian; bid’ah hasnah dan
bid’ah sayyi’ah (kadang juga disebut bid’ah dhalalah, atau bid’ah madzmumah).
Bahkan ada pula yang mengatakan lima macam bid’ah. Menurut mereka, hal-hal baru
yang memiliki dasar dalam agama, atau tidak bertentangan denga Al Qur’an, As Sunnah,
Atsar sahabat, dan Ijma’, maka itulah bid’ah hasanah.
Kelompok kedua, Para Ulama yang menilai Semua bid’ah
adalah sesat
Kelompok ini berdalil dengan keumuman hadits yang sangat terkenal dan sering
diulang-ulang dalam perkara ini:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru, karena setiap yang baru adalah bid’ah, dan sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Ahmad, No. 16521. Ibnu Majah, No. 42. Imam al Hakim berkata: hadits ini shahih tidak ada cacat, lihat Al Mustadrak ‘Alas Shahihain, No. 329, dan dishahihkan pula oleh Syaikh al Albany dalam kitab Shahih wa Dhaif Sunan Ibnu Majah, No. 42)
Mereka adalah:
Abdullah bin
Umar Radhiallahu
‘Anhu
Dari hadits ini seorang sahabat
Nabi, yakni Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘Anhu berkata:
وعن ابن عمر رضي الله عنه، قال: كل
بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة.
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia
memandangnya baik (hasanah).” (Imam Ibnu Baththah, Ibanatul
Kubra, No. 213. Imam As Suyuthi, Al Amru ‘bil Ittiba’ wan Nayu ‘anil Ibtida’, Hal. 3. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Imam Malik bin
Anas Rahimahullah
Berkata Imam Malik bin Anas Radhiallahu ‘Anhu:
من ابتدع فى الإسلام بدعة يراها حسنة فقد زعم أن محمدا صلى الله عليه وسلم خان الرسالة ، لأن اللّه قال {اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتى ورضيت لكم الإسلام دينا} المائدة : 3
“Barangsiapa yang berbuar bid’ah dalam Islam, dan dia memandangnya itu hasanah (baik), maka dia telah menuduh bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengkhianati risalah, karena Allah Ta’ala telah berfirman: “Hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan dan aku sempurnakan nikmaku atas kamu, dan Aku ridha Islam sebagai agamamu.” (Fatawa Al Azhar, 10/177)
Imam Ibnu
Taimiyah Rahimahullah
Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata:
وَمَنْ تَعَبَّدَ بِعِبَادَةِ لَيْسَتْ وَاجِبَةً وَلَا مُسْتَحَبَّةً ؛ وَهُوَ يَعْتَقِدُهَا وَاجِبَةً أَوْ مُسْتَحَبَّةً فَهُوَ ضَالٌّ مُبْتَدِعٌ بِدْعَةً سَيِّئَةً لَا بِدْعَةً حَسَنَةً بِاتِّفَاقِ أَئِمَّةِ الدِّينِ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُعْبَدُ إلَّا بِمَا هُوَ وَاجِبٌ أَوْ مُسْتَحَبٌّ
“Dan barangsiapa yang beribadah, dengan peribadatan yang tidak diwajibkan,
tidak pula disunnahkan, dan dia meyakini itu adalah wajib atau sunah, maka dia
sesat dan mubtadi’ (pelaku bid’ah) dengan bid’ah yang buruk, tidak ada bid’ah
hasanah dengan kesepakatan para imam agama. Sesungguhnya Allah tidaklah disembah
kecuali dengan apa-apa yang diwajibkan dan disunahkan.” (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu’
Fatawa, 1/38. Mawqi’ Al Islam)
Selain itu, beliau juga berkata:
وَكُلُّ بِدْعَةٍ لَيْسَتْ وَاجِبَةً وَلَا مُسْتَحَبَّةً فَهِيَ بِدْعَةٌ سَيِّئَةٌ وَهِيَ ضَلَالَةٌ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ وَمَنْ قَالَ فِي بَعْضِ الْبِدَعِ إنَّهَا بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ فَإِنَّمَا ذَلِكَ إذَا قَامَ دَلِيلٌ شَرْعِيٌّ أَنَّهَا مُسْتَحَبَّةٌ فَأَمَّا مَا لَيْسَ بِمُسْتَحَبِّ وَلَا وَاجِبٍ فَلَا يَقُولُ أَحَدٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ إنَّهَا مِنْ الْحَسَنَاتِ الَّتِي يُتَقَرَّبُ بِهَا إلَى اللَّهِ . وَمَنْ تَقَرَّبَ إلَى اللَّهِ بِمَا لَيْسَ مِنْ الْحَسَنَاتِ الْمَأْمُورِ بِهَا أَمْرَ إيجَابٍ وَلَا اسْتِحْبَابٍ فَهُوَ ضَالٌّ مُتَّبِعٌ لِلشَّيْطَانِ وَسَبِيلُهُ مِنْ سَبِيلِ الشَّيْطَانِ كَمَا { قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ : خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا وَخَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَشِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ : هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ وَهَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إلَيْهِ ثُمَّ قَرَأَ : { وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
“Setiap bid’ah yang tidak ada kewajiban dan sunahnya,
maka itu adalah bid’ah yang jelek, dan itu adalah sesat menurut kesepakatan
kaum muslimin. Barangsiapa yang mengatakan bahwa pada sebagian bid’ah ada
bid’ah hasanah. Maka, jika dalam perbuatan itu terdapat dalil syar’i, maka itu
adalah sunah. Adapun apa-apa yang tidak ada sunahnya atau
kewajibannya, maka tidak ada satu pun kaum muslimin yang mengatakan itu
adalah kebaikan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Barangsiapa
yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan kebaikan yang tidak
diperintahkan, baik perkara wajib atau sunah, maka dia sesat dan telah
mengikuti syetan, dan jalannya adalah jalan syetan, sebagaimana yang dikatakan
Abdullah bin Mas’ud: “Rasulullah membuat garis kepada kami dengan garis yang
lurus. Lalu dia membuat garis dibagian kanan dan kirinya, lalu dia bersabda: ‘Inilah
jalan Allah, sedangkan ini adalah jalan-jalan lain yang setiap jalan itu ada
syetan yang senantiasa mengajak kepadanya,’, lalu Beliau mebaca ayat: “Dan
sesungguhnya inilah jalanku yang lurus, maka ikutilah, dan jangan ikuti
jalan-jalan lain yang mencerai-beraikanmu dari jalanNya.” (Ibid, 1/40)
Imam Ibnu Rajab
Al Hambali Rahimahullah
Imam Ibnu Rajab Rahimahullah berkata:
فكلُّ من أحدث شيئاً ، ونسبه إلى الدِّين ، ولم يكن له أصلٌ من الدِّين يرجع إليه ، فهو ضلالةٌ ، والدِّينُ بريءٌ منه ، وسواءٌ في ذلك مسائلُ الاعتقادات ، أو الأعمال ، أو الأقوال الظاهرة والباطنة
“Maka, setiap sesuatu yang baru, dan disandarkan kepada agama, padahal tidak ada dasarnya dalam agama, maka itu adalah sesat, dan agama berlepas diri darinya. Sama saja dalam hal ini, apakah masalah aqidah, amal-amal perbuatan, ucapan yang nampak atau tersembunyi.” (Jami’ al Ulum wal Hikam, 28/25. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Para Ulama di Lajnah
Daimah Saudi Arabia
Dalam Fatwa Lajnah
Da’imah no. 2467:
والبدع كلها ضلالة، كما قال النبي صلى الله عليه وسلم. أما تقسيم البدعة في الدين إلى خمسة أقسام فلا نعلم له أصلا في الشرع
“Semua bid’ah adalah sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Ada pun pembagian bid’ah menjadi lima bagian, maka kami
tidak mengetahui asalnya dari syara’.” (Lajnah Da’imah Lil Buhuts wal Ifta’, 4/83)
Dalam teks fatwanya yang lain:
ولا أقسام للبدعة في الدين من حيث الحكم عليها، بل كل بدعة ضلالة؛
لما ثبت عن
النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: «
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد » رواه البخاري ومسلم وفي راية « من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد » رواه مسلم
“Tidak ada pembagian bagi bid’ah dalam agama sebagaimana pembagian hukum
agama, bahkan seluruh bid’ah adalah sesat, sebagaimana telah kukuh dari
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa dia bersabda: “Barangsiapa yang
membuat perkara baru dalam urusan kami ini (agama Islam), yang bukan bagian
darinya, maka dia tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain:
“Barangsiapa yang beramal yang kami tidak pernah perintahkan, maka tertolak.”
(HR. Muslim).” (Ibid, 4/93)
Syaikh Dr.
Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah
Fatwa Asy Syaikh al ‘Allamah Dr. Yusuf al Qaradhawy hafizhahullah:
البدعة الحسنة والبدعة السيئ
ما هي أقسام البدعة ، وهل صحيح هناك
بدعة حسنة وبدعة سيئة ؟
الدكتور الشيخ يوسف عبد الله القرضاوي
بسم الله ، والحمد لله، والصلاة
والسلام على رسول الله ، وبعد:
فقد تباينت آراء العلماء في تقسيم
البدعة ، فمنهم من قسمها إلى بدعة حسنة ، وبدعة سيئة ، ومنهم من جعلها خمسة أقسام
مثل الحكم الشرعي ، وهذه التقسيمات لا أصل لها ، لأن الحديث جاء فيه :"وكل
بدعة ضلالة "، وهي البدعة المخترعة التي لا تندرج تحت أي أصل أو مصدر من
مصادر التشريع أو شيء من أدلة الأحكام .
يقول الدكتور الشيخ يوسف القرضاوي :
هناك بعض العلماء قسَّموا البدعة إلى: بدعة حسنة، وبدعة سيئة، وبعضهم قسَّمها إلى
خمسة أقسام، بأقسام أحكام الشريعة الخمسة: بدعه واجبة، وبدعة مستحبة، وبدعة
مكروهة، وبدعة محرمة، وبدعة مباحة،وقد ناقشهم الإمام الشاطبي مناقشة مفصَّلة،
أثبتَ من خلالها: أن هذا التقسيم أمر مُخْتَرع لا يدلُّ عليه دليل شرعي بل هو في
نفسه مُتدافَع؛ لأن من حقيقة البدعة أن لا يدل عليها دليل شرعي لا من نصوص الشرع
ولا من قواعده، إذ لو كان هنالك ما يدل من الشرع على وجوب أو ندب أو إباحة لَمَا
كان ثَمَّ بدعة، ولكان العمل داخلًا في عموم الأعمال المأمور بها أو المُخَيَّر
فيها.
والقول الأصوب في هذا: أن الكلام واحد
في النهاية. النتيجة واحدة؛ لأنهم يجعلون ـ مثلاًـ كتابة القران وجمعه في مصحف
واحد، وتدوين علم النحو،وتدوين علم أصول الفقه والعلوم الإسلامية الأخرى، من البدع
الواجبة، ومن فروض الكفاية.
أما الآخرون فإنهم ينازعون في تسمية
هذه (بدعًا)، يقولون: هذا التقسيم للبدعة بالمعني اللغوي، ونحن نريد بالبدعة
(المعنى الشرعي)، أما هذه الأشياء فنحن نُخْرِجها من البدعة، وليس من الحسن أن
يُسَمَّى مثل هذا بدعة، والأولى أن نقف عند الحديث الشريف؛ لأن الحديث الشريف جاء
بهذا اللفظ الواضح الصريح: "فإن كل بدعة ضلالة" بهذا العموم ... بهذه
الكلية، فإذا كان الحديث يقول:"فإنَّ كل بدعة ضلالة" فلا داعي إلي أن
نقول: إن من البدع ما هو حسن، ومنها ما هو سيئ، أو منها ما هو واجب وما هو
مستحب....الخ، لا داعي لمثل هذا التقسيم.
والصواب أن نقول ما قاله الحديث
الشريف: "فإن كل بدعة ضلالة"، ونَقْصِد بالبدعة المعنى الذي حققَّه
الإمام الشاطبي في هذا التعريف: (البدعة طريقة في الدين مخترعة) ولا أصل لها في
الشرع، ولا أساس لها، لا من كتاب، ولا من سنة، ولا من إجماع، ولا من قياس، ولا من
مصلحة مرسلة، ولا من دليل من هذه الأدلة التي قال بها فقهاء المسلمين.
Pertanyaan: Apakah ada pembagian bid'ah? Adakah benar di sana terdapat bid'ah hasanah (baik) dan bid'ah sayyi'ah (keji)?
Jawab: Ulama berbeda pendapat dalam hal pembagian bid'ah.
Sebagian mereka membagikan menjadi bid'ah hasanah dan bid'ah sayyi'ah.
Sebagiannya bahkan menjadikan bid'ah kepada lima bagian seperti hukum syar'i.
Semua pembagian ini tidak ada asalnya. Karena hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam menyatakan: "Setiap bid'ah itu dhalalah." Ia adalah sesuatu
yang diada-adakan yang tidak memiliki asal atau sumber dari sumber-sumber
tasyri' (pensyariatan) atau ia bukanlah perkara yang ada dalilnya
dalam-dalam dalil hukum.
Syaikh Dr.
Syaikh Yusuf Al Qaradhawy hafizhahullah menyatakan:
Di sana sebagian ulama membagikan bid'ah kepada: Hasanah
dan Sayyi'ah. Sebagian dari mereka membagikannya kepada lima bagian,
sebagaimana pembagian dalam hukum-hukum syara’: Bid'ah wajib, sunah, makruh,
haram dan mubah.
Al Imam Asy Syathibi telah membahas masalah ini
secara terperinci, dan beliau menegaskan: Bahwa pembagian ini hanyalah
persangkaan belaka yang tidak ditunjukkan oleh satu pun dalil syar’i,
malah pembagian itu sendiri saling bertolak belakang. Karena hakikat bid'ah itu
adalah sesuatu yang tidak ditunjuki oleh dalil syara’ manapun, tidak juga
oleh nash syara’ dan tidak dari kaidah-kaidahnya. Karena jika di sana
terdapat suatu dalil syara’ yang menunjukkan atas wajibnya sesuatu,
sunahnya, atau harus, mengapa pula perkara tersebut dikatakan bid'ah
(hasanah). Ia sebenarnya (bukanlah bid'ah hasanah) tetapi perkara yang masuk
di bawah keumuman amal yang diperintahkan atau perkara yang dibolehkan.
Perkataan yang benar dalam hal ini akhirnya
hasilnya adalah satu, karena mereka menjadikan –misalnya- bahwa penulisan
Al Quran, menghimpunkannya dalam satu mushaf, menyusun ilmu nahwu, ushul fiqh
dan ilmu-ilmu Islam lain adalah sebagai bid'ah wajib dan sebagai fardu kifayah.
Adapun sebagian yang lain, mereka mendebat apa-apa yang
dinamakan bid’ah ini. Kata mereka: "Pembagian ini adalah pembagian
untuk bid'ah dari sudut bahasa saja. Sedang yang kami maksud dengan bid'ah di
sini adalah bid'ah dari sudut syara’. Tentang perkara-perkara di atas, kami mengeluarkannya
dari kategorii bid'ah. Adalah tidak baik jika ia disebut sebagai sesuatu yang
bid'ah. Yang utama adalah kita berpegang kepada Hadis yang mulia; karena hadis
datang dengan lafaz berikut dengan terang dan nyata: "Maka sesungguhnya
setiap bid'ah itu dhalalah (menyesatkan)."
Dengan keumuman lafaz hadis di atas,
maka apabila dikatakan: "Setiap bid'ah itu dhalalah" maka tidak perlulah
kita katakan lagi: "bid'ah itu ada yang baik, ada yang keji, ada yang
wajib, ada yang sunat dan seterusnya...." Pembagian seperti ini adalah
tidak perlu.
Maka yang benar ialah, bahwa kita
katakan apa yang telah disabdakan oleh Rasulullah di dalam hadisnya: "Maka
sesungguhnya setiap bid'ah adalah dhalalah." Yang dimaksudkan adalah
bid'ah sebagaimana yang telah ditahqiq oleh Al-Imam Asy Syathibi: "Bid'ah
ialah jalan di dalam agama yang diada-adakan." yaitu yang tidak ada
asal-usulnya dari syara’, tidak juga dari al-Quran, as-Sunnah, ijma’, qiyas,
mashlahah mursalah, dan tidak ada di kalangan fuqaha' yang menyatakan
dalil mengenainya.”
Demikian dari Syaikh Yusuf Al
Qaradhawy Hafizhahullah.
Demikianlah dua kelompok para imam
kaum muslimin, antara yang menyetujui adanya pembagian bid’ah menjadi beberapa
bagian sebagaimana dalam hukum syar’i, dengan pihak yang menolak pembagian
bid’ah, sebab bagi mereka semua bid’ah adalah tercela.
Jika kita kaji lagi, sebenarnya ada
titik temu di antara beragam perbedaan mereka, yaitu mereka sama-sama
menyepakati bahwa, bid’ah dalam urusan ritual adalah haram dan sesat, sedangkan
bid’ah dalam urusan dunia adalah boleh. Yang membuat mereka berbeda sikap
adalah bid’ah dalam perkara agama yang bukan ritual khusus (mahdhah), yang
tidak memiliki dalil langsung (khusus), namun ada dalil umumnya.
Contohnya peringatan Maulid Nabi.
Jika dicari dalil khusus tentang acara Maulid Nabi, maka kita tidak akan
menemukannya baik Al Qur’an dan As Sunnah, juga perilaku sahabat dan dua
generasi terbaik setelahnya. Namun, dilihat dari sisi dalil umum, kita memang
diperintahkan untuk memuji Rasulullah, bergembira atas kelahirannya, dan
diperintahkan banyak bershalawat atasnya.. Akhirnya, ada pihak yang
berinisiatif melaksanakan peringatan Maulid sebagai upaya menapaktilasi
kehidupan Rasulullah, berdalil dari dalil-dalil umum tersebut. Namun, ada juga yang menolaknya karena
secara khusus acara tersebut tidak pernah di adakan pada zaman generasi
terbaik Islam. Akhirnya terjadilah perselisihan di antara para Imam dan ulama kaum
muslimin setelahnya. Wallahu A’lam
Selesai. Walhamdulillahirabbil ‘alamin ……….
0 Comments