Ayat-ayat Yang Memuat Kata Al-Khalifah
“Dan ketika Tuhanmu telah berkata kepada para malaikat,’Sesungguhnya Aku
akan menjadikan seorang khalifah di bumi”. (QS Al-Baqarah : 30).
“Wahai Dawud ! Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu sebagai seorang khalifah
di bumi. Maka hukumilah manusia dengan haq. Dan janganlah memperturutkan hawa
nafsu sehingga ia menyesatkan kamu dari jalan Allah”. (QS Shaad: 26)
Ayat-ayat Yang Memuat Kata Al-Khala-if
“Dan Dia-lah yang telah menjadikan kalian (manusia) khalifah-khalifah
di bumi, dan telah mengangkat sebagian kalian diatas sebagian yang lain,
untuk menguji kalian atas apa-apa yang Dia berikan kepada kalian”. (QS
Al-An’am: 165)
“Dan sungguh telah Kami hancurkan generasi-generasi sebelum kalian ketika
mereka berlaku zhalim, dan para rasul telah datang kepada mereka dengan
keterangan yang nyata akan tetapi mereka tidak beriman. Demikianlah Kami
membalas kaum yang suka berbuat jahat. Kemudian Kami telah menjadikan kalian
sebagai khalifah-khalifah di bumi sesudah mereka agar Kami melihat
bagaimana kalian beramal”. (QS (QS Yunus: 14)
“Maka mereka mendustakan Nuh, maka Kami selamatkan Nuh dan orang-orang
yang bersamanya dalam sebuah perahu, dan Kami jadikan mereka sebagai khalifah-khalifah,
dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka
perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang diberi peringatan”. (QS
Yunus: 73)
“Dialah yang telah menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah di
bumi. Maka barangsiapa kufur, niscaya kekufurannya itu akan menimpa dirinya
sendiri ….. (QS Fathir: 39)
Ayat-ayat Yang Memuat Kata Al-Khulafa’
“…. Dan ingatlah ketika Dia telah menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah
sesudah kaum Nuh, dan Dia telah melebihkan perawakan tubuh kalian ….” (QS
Al-A’raf: 69) [ucapan Huud as. kepada kaumnya]
“…. Dan ingatlah ketika Dia telah menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah
sepeninggal kaum ‘Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi …” (QS Al-A’raf:
74) [ucapan Shalih as. kepada kaumnya]
“Atau siapakah yang memperkenankan do’a orang yang terjepit apabila ia
berdo’a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan , dan yang menjadikan
kalian sebagai khalifah-khalifah bumi (khulafa’ al-ardh) .. “ (QS
Al-Naml: 62)
Ayat-ayat Yang Memuat Kata Al-Istikhlaf
“Dan Allah telah menjanjikan bagi orang-orang yang beriman diantara
kalian dan orang-orang yang beramal shalih, bahwa Dia sungguh akan meng-istikhlaf
mereka (menjadikan mereka sebagai khalifah) di bumi sebagaimana Dia
telah meng-istikhlaf (menjadikan sebagai khalifah) orang-orang sebelum
mereka, dan (janji) bahwa Dia sungguh akan meneguhkan bagi mereka din yang
telah diridhai-Nya bagi mereka …..”. (QS Al-Nur: 55)
“Berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan nafkahkanlah sebagian dari
apa-apa yang Dia telah menjadikan kalian mustakhlaf (yang
dijadikan sebagai khalifah) terhadapnya”. (QS Al-Hadid: 7)
“Dan Rabb-mu Maha Kaya dan Yang Memiliki Rahmat. Jika Dia berkehendak
maka Dia akan memusnahkan kalian dan akan meng-istikhlaf (menjadikan
sebagai khalifah) apa yang dikehendakinya setelah kemusnahan kalian,
sebagaimana Dia telah menjadikan kalian dari keturunan kaum yang lain
(sebelum kalian)”. (QS Al-An’am: 133)
“Jika kalian berpaling maka sungguh aku telah menyampaikan kepada kalian
apa-apa (ajaran) yang aku diutus (untuk menyampaikan)nya kepada kalian. Dan
Rabb-ku akan meng-istikhlaf (menjadikan sebagai khalifah) kaum selain
kalian ….” (QS Huud: 57)
“Mereka (kaum Musa) berkata (kepada Musa),’Kami telah ditindas (oleh Fir’aun)
sebelum kamu datang dan sesudah kamu datang’. Musa menjawab,’Mudah-mudahan
Allah membinasakan musuh kalian dan meng-istikhlaf kalian (menjadikan
kalian sebagai khalifah) di bumi, maka Dia akan melihat bagaimana kalian
beramal”. (QS Al-A’raf: 129)
Ayat-ayat Yang Memuat Kata
Kerja kh-l-f
”Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun,’Gantikanlah aku (ukhlufniy)
dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, …” (QS Al-A’raf: 142)
Penjelasan mengenai kata al-khilafah dalam kamus Lisan al-‘Arab
- Al-khalf : belakang, lawan dari depan (muka)
- Al-khalaf : yang datang belakangan sebagai ganti dari
yang sebelumnya.
- Al-takhalluf : terlambat
- Al-khaalif
(Jmk: khawaalif) :
yang datang terlambat (ketinggalan)
- Al-khaliifah : yang terbelakang, yang datang kemudian sehingga
terlambat, yang mengikuti apa yang lebih dahulu, yang menggantikan apa
yang lebih dahulu.
Ibn
al-Atsir mengatakan: al-khaliifah (lam panjang) artinya orang yang
menggantikan (menduduki posisi) pendahulunya dan menjalankan fungsi
pendahulunya itu. Huruf ta’ marbuthah disitu adalah untuk tujuan mubalaghah
(dan bukan untuk menunjukkan muannats). Bentuk jamaknya ada dua.
Pertama, al-khulafaa’ (seperti pada al-zhariif – al-zhurafaa’).
Kedua, al-khalaa-if (seperti pada zhariifah – zharaa-if).
Sementara al-khaalifah (kha’ panjang) menunjukkan ketercelaan
seseorang (orang yang ketinggalan, orang yang banyak khilaf).
Oleh
karena itu Ibn ‘Abbas meriwayatkan hadits: “Bahwasanya seorang Arab Badui
bertanya pada Abu Bakr ra.,’Anda khaliifah Rasulullah ?’ Maka Abu
Bakr menjawab,’Tidak’. ‘Lalu apakah Anda ini ?’. ‘Saya
adalah khaalifah sepeninggal beliau’. Agaknya jawaban Abu Bakr
diatas muncul karena ke-tawadhu’-an beliau.
Dari
beberapa keterangan diatas, kita bisa menyimpulkan bahwa makna khaliifah
ialah:
Pertama, khaliifah
berarti seorang pengganti Allah di muka bumi, dalam rangka menunaikan
amanat-Nya dan menegakkan hukum-hukum-Nya di muka bumi. Ini tidak berarti
bahwa Allah lemah dan tidak berkuasa sehingga membutuhkan bantuan. Bukankah
Allah juga menciptakan para malaikat yang dibebani tugas-tugas tertentu ?
Sesungguhnya Allah menciptakan manusia sebagai pengganti-Nya adalah sebagai wasilah
sunnatullah bagi kemahakuasaan-Nya. Bukankah Allah mengalahkan
orang-orang yang ingkar melalui tangan-tangan orang-orang yang beriman
(mujahidin) ? Apakah ini berarti Allah tidak mampu membasmi mereka sendirian
? Sebenarnya secara hakiki Allah-lah yang melakukan itu semua, karena
kekuasaan-Nya meliputi segala sesuatu. “Bukanlah kamu yang memanah ketika
kamu memanah, akan tetapi Allah-lah yang memanah”(QS Al-Anfal: 17).
Manusia juga disebut sebagai khalifah-khalifah bumi (khulafa’ al-ardh)
karena telah menjadi kepanjangan tangan bagi kekuasaan Allah –dalam
batas-batas tertentu- di bumi. Berangkat dari sini kita akan memahami bahwa
pada dasarnya tugas manusia untuk menggantikan-Nya merupakan ujian bagi
manusia, bagaimanakah perbuatan mereka di muka bumi ini, apakah mencerminkan
posisinya sebagai pengganti-Nya ataukah tidak. Untuk itulah kita wajib me-ma’rifat-i
nama-nama dan sifat-sifat Allah, agar kita bisa merefleksikan nama-nama dan
sifat-sifat-Nya itu dalam kehidupan kita di bumi, sehingga kita seolah-olah
merupakan pengganti-Nya. “Takhallaquu bi akhlaaqil-Laah (Berakhlaqlah
dengan akhlaq Allah)”.
Khaliifah dalam
pengertian ini secara spesifik dinisbatkan kepada Adam as (QS. Al-Baqarah:
30) dan Dawud as (QS. Shaad: 26).
Namun,
sebagian ulama (antara lain Ibn Taimiyyah) melarang keras penggunaan istilah khalifat
al-Lah, sebab istilah khalifah hanya layak diberikan kepada sesuatu
yang menggantikan sesuatu yang telah mati atau telah tidak ada di tempat,
padahal Allah selalu hidup dan selalu ada menyertai dan mengawasi para
hamba-Nya. Ibn Taimiyyah kemudian menguatkan pendapatnya tersebut dengan
riwayat yang menyatakan bahwa seseorang berkata pada Abu Bakr,’Wahai
khaliifah al-Lah’. Maka beliau menjawab,’Aku bukan khaliifah al-Lah
melainkan khaliifah al-Rasul’. Beliau juga mengatakan bahwa barangsiapa
menjadikan bagi Allah seorang khalifah, maka dia telah telah
menyekutukan-Nya.
Sebetulnya,
kontradiksi diatas timbul karena perbedaan definisi dan persepsi. Apabila
kita kembali kepada esensi dan mengabaikan ungkapan-ungkapan (simbol-simbol)
bahasa, maka pada dasarnya kontradiksi itu tidak ada. Apalagi kalau kita bisa
memahami bahwa pendapat Ibn Taimiyyah diatas merupakan sanggahan terhadap
pendapat para sufi dan filosof, yang memang sudah melampaui batas, misalnya
dengan mengatakan bahwa raja (sultan), atau manusia pada umumnya, merupakan
bayang-bayang Allah (zhill al-Lah).
Kedua, khaliifah berarti
pengganti dari yang sebelumnya karena telah tiada, seperti pada kaum yang
menggantikan kaum Nuh dan kaum ‘Aad setelah musnah dihancurkan oleh Allah.
Demikian pula Banu Israil yang menggantikan kaum Fir’aun yang telah
ditenggelamkan. Abu Bakr disebut sebagai khaliifah al-Rasul karena
telah menggantikan Rasulullah sepeninggal beliau. (Sesuai dengan riwayat yang
menyatakan bahwa seseorang berkata pada Abu Bakr,’Wahai khaliifah al-Lah’.
Maka beliau menjawab,’Aku bukan khaliifah al-Lah melainkan khaliifah
al-Rasul’.)
Oleh karena itu, secara umum bisa
dikatakan bahwa khaliifah berarti pengganti dari sesuatu yang sedang
ghaib (tidak hadir). Manusia disebut sebagai khaliifah Allah karena
–seolah-olah- telah menggantikan Allah di bumi selama kehidupan dunia fana,
dimana selama itu Allah menyembunyikan diri dari penglihatan makhluk-Nya (ghaib
‘inda al-nazhr al-zhahiriy). Di akhirat nanti, Allah akan menampakkan
diri-Nya, sehingga pada saat itu berakhirlah kekhalifahan manusia dan
berakhirlah masa ujian bagi manusia.
Harun as
disebut sebagai khalifah Musa as karena Harun harus menggantikan Musa selama
kepergiannya (keghaibannya). Kaum-kaum yang menggantikan kaum ‘Aad dan kaum
Nuh, Banu Israil yang menggantikan kaum Fir’aun, serta Abu Bakr yang
menggantikan Rasulullah, disebut sebagai khaliifah karena telah menggantikan
generasi sebelumnya yang telah lenyap (ghaib).
Manusia Wajib Berhukum dengan Hukum Allah
Berangkat
dari misi manusia sebagai khalifah Allah (pengganti Allah) di muka bumi, maka
manusia harus beramal sesuai dengan apa yang dikehendaki (diridhai) oleh-Nya.
Segala amal manusia yang selaras dengan kehendak Allah sehingga mendatangkan
keridhaan-Nya itulah yang dinamakan sebagai ibadah.
Salah satu
sifat Allah yang terpenting adalah keadilan. Karena manusia merupakan
pengganti Allah di bumi maka manusia wajib menegakkan keadilan di bumi.
Keadilan akan tercapai apabila manusia menegakkan hukum-hukum Allah. Keadilan
yang dilandaskan pada hukum-hukum Allah merupakan keadilan yang hakiki karena
Allah merupakan dzat yang mengetahui hakikat segala sesuatu. Allah menurunkan
hukum-hukum-Nya melalui utusan-utusan-Nya, yang membawa ajaran-ajaran dan
kitab-kitab-Nya. Oleh karena itu, berhukum dengan kitab Allah merupakan
satu-satunya jalan mencapai keadilan hakiki.
Interpretasi terhadap Hukum-hukum dalam Kitab Allah.
Sebagai
pemikul amanat Allah, manusia telah dibekali dengan akal. Dengan akal itulah
manusia memahami isi kitab Allah. Tanpa akal, manusia tidak mungkin dapat
memahami isi kitab Allah. Akal yang bisa memahami adalah akal yang
difungsikan. Jadi, akal itu bersifat potensial. Ia akan menjadi aktif setelah
disinari oleh hidayah Allah.
Allah Maha
Adil. Setiap manusia yang bermujahadah untuk memfungsikan (mengaktifkan)
akalnya pasti akan diberi hidayah oleh Allah. “ Dan orang-orang yang
bermujahadah dalam (mencari jalan) Kami, pasti akan Kami tunjukkan kepada
mereka jalan-jalan Kami” (QS. Al-‘Ankabut: 69). Jadi setiap orang yang
belum menemukan jalan Tuhannya pastilah orang yang belum bermujahadah
(berusaha sekuat tenaga) dalam mencari jalan-Nya. Ingatlah bagaimana Ibrahim
telah bermujahadah dalam mencari Tuhannya, sehingga setelah pencarian yang
panjang akhirnya Allah memberikan petunjuk kepadanya.
Akal yang
berada dibawah sinar hidayah Allah itulah yang akan mampu memahami isi kitab
Allah. Namun perlu disadari bahwa kualitas sinar hidayah itu bisa
berbeda-beda pada tiap manusia, sehingga kualitas pemahaman yang dihasilkan
pun berbeda-beda. Sinar hidayah yang paling kuat adalah sinar nubuwwah
(kenabian), sehingga seorang nabi akan mampu memahami hal-hal yang sama
sekali tidak bisa dipahami oleh orang biasa. Dengan sinar kenabian itu, Allah
telah mengkaruniakan ilmu yang hakiki dan hikmah tertinggi kepada para
nabi-Nya. Oleh karena itu, nabi memiliki otoritas penuh dari Allah untuk
meng-interpretasikan isi kitab Allah yang dibawanya. Kebenaran interpretasi
nabi bersifat pasti, sehingga segala keterangan yang datang dari nabi harus
diterima sebagai kebenaran absolut yang datang dari Allah.
Sinar
hidayah yang derajatnya berada setingkat dibawah nabi adalah sinar hidayah
yang diterima oleh para ulama. Dengan sinar hidayah ini, seorang ulama akan
mampu memahami hal-hal yang belum bisa dipahami oleh kebanyakan orang. Oleh
karena itu, para ulama merupakan referensi sekunder dalam mencari
interpretasi isi kitab Allah. Dari sini kita bisa memahami sabda Rasulullah,”Ulama
merupakan pewaris para nabi”.
Perbedaan
pendapat dalam interpretasi pada dasarnya disebabkan oleh sudut pandang yang
berbeda, keluasan pandangan yang berbeda, atau kedalaman pandangan yang
berbeda. Barangsiapa mampu memandang suatu persoalan dari segala sudut
pandang, meliputi segenap dimensinya, dan menyentuh bagian-bagian
terdalamnya, maka dia telah mampu memahami persoalan tersebut dengan
pemahaman yang terbaik. Marilah kita mengambil gambaran dari sebuah obyek
tiga dimensi. Seseorang yang mengamati salah satu atau sebagian proyeksi dari
obyek tersebut sebenarnya telah memahami obyek tersebut, hanya saja tidak
secara utuh. Namun jika dia mampu mengamati obyek tersebut secara menyeluruh
(dari segenap proyeksinya) maka dia telah mampu memahami obyek tersebut
secara utuh. Demikian pula apabila seseorang hanya mampu memahami bagian luar
obtek tersebut maka dia juga telah memahami obyek tersebut, hanya saja tidak
sempurna. Namun apabila dia mampu memahami obyek tersebut sampai ke
relung-relungnya yang paling dalam, maka dia telah mampu memahami obyek
tersebut secara sempurna.
Aspek-aspek
teknis dalam masalah interpretasi kitab Allah dibahas secara panjang lebar
dalam kajian ushul fiqh. Untuk menghemat ruang dan waktu, penulis tidak ingin
membahasnya disini.
Sunnatullah: Segala Sesuatu Membutuhkan Sang Pengatur (Pemimpin)
Allah
merupakan Sang Pengatur Tertinggi atas segala sesuatu. Seandainya tidak ada
Sang Pengatur Tertinggi, niscaya alam akan rusak binasa. Bahkan kalaupun ada
pengatur, namun jumlahnya ada dua dan sederajat, maka alam akan rusak binasa
pula. “Andaikan di langit dan bumi ada banyak ilah selain Allah, tentu
keduanya akan rusak binasa” (QS. Al-Anbiya’: 22).
Keberadaan
manusia sebagai pengganti Allah di bumi berarti bahwa manusia merupakan
pengatur bagi segenap yang ada di bumi agar tidak rusak binasa. Apabila bumi
mengalami kerusakan maka yang bertanggung jawab adalah manusia. Oleh karena
itu, segenap kerusakan yang ada di bumi akan dinisbatkan kepada sikap dan
tingkah laku manusia. “Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan
akibat tingkah laku manusia” (QS. Al-Ruum: 41).
Setiap
manusia merupakan pengatur (al-raa’y), hanya saja ruang lingkupnya
bisa beragam. “Setiap kalian adalah pengatur (al-raa’y, penggembala) dan
setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepengaturannya
(kepemimpinannya). Setiap manusia bertanggung jawab atas kelestarian
alam, karena alam merupakan obyek bumi yang mengelilingi manusia. Komunitas
sesama manusia pun memerlukan pengaturan, karena setiap individu memiliki
kepentingan yang berbeda-beda, yang mungkin akan kontraproduktif terhadap
kepentingan individu yang lain. Jika berbagai kepentingan individu ini tidak
diatur oleh seorang pengatur maka kepentingan-kepentingan tersebut akan
saling bertabrakan sehingga akan terjadi kerusakan. Tabrakan-tabrakan
kepentingan inilah yang dalam Al-Qur’an dinyatakan sebagai sesuatu yang harus
ditengahi dengan hukum (al-hukm), yang tidak lain adalah hukum Allah.
Hukum Allah inilah yang akan bisa menengahi pertikaian kepentingan secara
adil (bi al-‘adl, bi al-qisth), sehingga segala sesuatu akan berada
pada tempat yang semestinya, sehingga keseimbangan alam pun akan tetap
terjaga.
Hukum Menegakkan Khilafah (Negara)
Secara
umum terdapat dua arus pemikiran utama mengenai hukum menegakkan negara.
Golongan pertama mengatakan bahwa negara wajib ditegakkan. Diantara
mereka ada yang mengatakan bahwa wajibnya penegakan negara didasarkan pada
nash. Sebagian yang lain mengatakan bahwa pewajiban itu didasarkan pada akal.
Sebagian yang lainnya lagi mengatakan bahwa pewajiban itu didasarkan oleh
nash sekaligus akal.
Golongan
kedua mengatakan bahwa negara boleh ditegakkan, namun tidak harus.
Yang harus adalah tegaknya hukum-hukum Allah dan tercapainya ketertiban dalam
kehidupan manusia. Golongan ini memiliki pola berpikir yang sangat idealis.
Mereka berpikir bahwa apabila semua manusia memiliki kebijaksanaan maka
secara otomatis tatanan masyarakat akan tertib dan hukum-hukum Allah akan
tegak. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah mungkinkah itu terjadi ?
Mungkinkah setiap manusia akan memiliki kebijaksanaan tanpa ada satupun yang
berperangai dan berbuat jahat ?
Titik temu
diantara kedua golongan diatas ialah bahwa tegaknya hukum-hukum Allah
merupakan suatu keharusan. Setelah kita memahami bahwa hukum-hukum Allah
tidak akan mungkin bisa tegak dengan sendirinya tanpa adanya kepemimpinan
(negara), maka kita pun sampai pada kesimpulan bahwa negara wajib ditegakkan.
Alasannya, negara merupakan wasilah menuju tegaknya hukum-hukum Allah.
Apabila suatu kewajiban tidak bisa dicapai kecuali melalui suatu wasilah yang
pada asalnya tidak wajib sekalipun, maka wasilah itu menjadi wajib.
Kriteria Seorang Pemimpin
Karena
seorang pemimpin merupakan khalifah (pengganti) Allah di muka bumi, maka dia
harus bisa berfungsi sebagai kepanjangan tangan-Nya. Allah merupakan Rabb semesta
alam, yang berarti dzat yang men-tarbiyah seluruh alam. Tarbiyah berarti
menumbuhkembangkan menuju kepada kondisi yang lebih baik sekaligus memelihara
yang sudah baik. Karena Allah men-tarbiyah seluruh alam, maka seorang
pemimpin harus bisa menjadi wasilah bagi tarbiyah Allah tersebut terhadap
segenap yang ada di bumi. Jadi, seorang pemimpin harus bisa menjadi murabbiy
bagi kehidupan di bumi.
Karena
tarbiyah adalah pemeliharaan dan peningkatan, maka murabbiy (yang
men-tarbiyah) harus benar-benar memahami hakikat dari segala sesuatu yang
menjadi obyek tarbiyah (mutarabbiy, yakni alam). Pemahaman terhadap
hakikat alam ini tidak lain adalah ilmu dan hikmah yang berasal dari Allah.
Pemahaman terhadap hakikat alam sebetulnya merupakan pemahaman (ma’rifat)
terhadap Allah, karena Allah tidak bisa dipahami melalui dzat-Nya dan hanya
bisa dipahami melalui ayat-ayat-Nya. Kesimpulannya, seorang pemimpin haruslah
seseorang yang benar-benar mengenal Allah, yang pengenalan itu akan tercapai
apabila dia memahami dengan baik ayat-ayat Allah yang terucap (Al-Qur’an) dan
ayat-ayat-Nya yang tercipta (alam).
Bekal
pemahaman (ilmu dan hikmah) bagi seorang pemimpin merupakan bekal paling
esensial yang mesti ada. Bekal ini bersifat soft, yang karenanya
membutuhkan hardware agar bisa berdaya. Ibn Taimiyyah menyebut hardware
ini sebagai al-quwwat, yang bentuknya bisa beragam sesuai dengan
kebutuhan. Dari sini bisa disimpulkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki
dua kriteria: al-‘ilm dan al-quwwat.
Yang
dimaksud dengan al-‘ilm (ilmu) tidaklah hanya terbatas pada al-tsaqafah
(wawasan). Wawasan hanyalah sarana menuju ilmu. Ilmu pada dasarnya adalah
rasa takut kepada Allah. Karena itulah Allah berfirman,”Yang takut kepada
Allah diantara para hamba-Nya hanyalah para ulama” (QS. Faathir: 28).
Ibnu Mas’ud pun mengatakan,”Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat,
akan tetapi ilmu adalah rasa takut kepada Allah”. Namun bagaimana rasa
takut itu bisa muncul ? Tentu saja rasa itu muncul sesudah
mengenal-Nya, mengenal keperkasaan-Nya, mengenal kepedihan siksa-Nya. Jadi
ilmu itu tidak lain adalah ma’rifat kepada Allah. Dengan mengenal
Allah, akan muncul integritas pribadi (al-‘adalat wa al-amanat) pada
diri seseorang, yang biasa pula diistilahkan sebagai taqwa. Dari sini, dua
kriteria pemimpin diatas bisa pula dibahasakan sebagai al-‘adalat wa
al-amanat (integritas pribadi) dan al-quwwat.
Selanjutnya,
marilah kita tengok bagaimanakah kriteria para penguasa yang digambarkan oleh
Allah dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini kita akan mengamati sosok Raja Thalut (QS.
Al-Baqarah: 247), Nabi Yusuf (QS. Yusuf: 22), Nabi Dawud dan
Sulaiman (Al-Anbiya’: 79, QS Al-Naml: 15).
Raja
Thalut:
“Sesungguhnya Allah telah memilihnya (Thalut) atas kalian dan telah
mengkaruniakan kepadanya kelebihan ilmu dan fisik (basthat fi al-‘ilm wa
al-jism)” (QS. Al-Baqarah: 247).
Nabi
Yusuf:
“Dan ketika dia (Yusuf) telah dewasa, Kami memberikan kepadanya hukm
dan ‘ilm” (QS. Yusuf: 22).
Nabi Dawud
dan Sulaiman:
“Maka Kami telah memberikan pemahaman tentang hukum (yang lebih tepat)
kepada Sulaiman. Dan kepada keduanya (Dawud dan Sulaiman) telah Kami berikan hukm
dan ‘ilm” (QS. Al-Anbiya’: 79).
“Dan sungguh Kami telah memberikan ‘ilm kepada Dawud dan Sulaiman”
(QS. Al-Naml: 15).
Thalut
merupakan seorang raja yang shalih. Allah telah memberikan kepadanya
kelebihan ilmu dan fisik. Kelebihan ilmu disini merupakan kriteria pertama (al-‘ilm),
sementara kelebihan fisik merupakan kriteria kedua (al-quwwat). Al-quwwat
disini berwujud kekuatan fisik karena wujud itulah yang paling dibutuhkan
saat itu, karena latar yang ada adalah latar perang.
Yusuf,
Dawud, dan Sulaiman merupakan para penguasa yang juga nabi. Masing-masing
dari mereka telah dianugerahi hukm dan ‘ilm. Dari sini kita
memahami bahwa bekal mereka ialah kedua hal tersebut. Apakah hukm dan ‘ilm
itu ?
Hukm berarti jelas dalam melihat yang
samar-samar dan bisa melihat segala sesuatu sampai kepada hakikatnya,
sehingga bisa memutuskan untuk meletakkan segala sesuatu pada tempatnya
(porsinya). Atas dasar ini, secara sederhana hukm biasa diartikan
sebagai pemutusan perkara (pengadilan, al-qadha’). Adanya hukm
pada diri Dawud, Sulaiman, dan Yusuf merupakan kriteria al-quwwat,
yang berarti bahwa mereka memiliki kepiawaian dalam memutuskan perkara
(perselisihan) secara cemerlang. Al-quwwat pada diri mereka berwujud
dalam bentuk ini karena pada saat itu aspek inilah yang sangat dibutuhkan.
Disamping al-hukm
sebagai kriteria kedua (al-quwwat), ketiga orang tersebut juga memiliki
bekal al-‘ilm sebagai kriteria pertama (al-‘ilm). Jadi,
lengkaplah sudah kriteria kepemimpinan pada diri mereka.
Pada
dasarnya, kriteria-kriteria penguasa yang dikemukakan oleh para ulama
bermuara pada dua kriteria asasi diatas. Meskipun demikian, sebagian ulama
terkadang menambahkan beberapa kriteria (yang sepintas lalu berbeda atau jauh
dari dua kriteria asasi diatas), dengan argumentasi mereka masing-masing.
Namun, jika kita berusaha memahami hakikat dari kriteria-kriteria tambahan
tersebut, niscaya kita dapati bahwa semua itu pun tetap bermuara pada dua
kriteria asasi diatas.
Imam
Mawardi menyebut golongan penguasa sebagai ahlul imamah, yang harus
memenuhi tujuh kriteria, yaitu:
- Al-‘adalat.
- Ilmu
ijtihad.
- Memiliki
kesehatan indera pendengaran, penglihatan, dan lisan.
- Memiliki
kesehatan anggota badan yang memungkinkan baginya bergerak dengan baik.
- Memiliki
kapasitas intelektual yang melimpah, yang memungkinkan baginya untuk
mengatur negara dalam mencapai maslahat.
- Memiliki
heroisme yang memungkinkan baginya menjaga kedaulatan negara.
- Nasab:
harus dari kabilah Quraisy.
Kalau kita
mengamati kriteria Mawardi, maka kita dapati bahwa kriteria ke-1 dan ke-2
merupakan kriteria al-‘ilm, sementara kriteria ke-3 sampai dengan
kriteria ke-6 masuk kedalam kriteria al-quwwat. Kriteria ke-3 dan ke-4
merupakan kekuatan fisik (al-quwwat al-jasadiyyat), sedangkan kriteria
ke-5 dan ke-6 merupakan kekuatan non fisik (al-quwwat al-ma’nawiyyat).
Satu
kriteria yang sepintas lalu tidak termasuk kedalam dua kriteria asasi adalah
kriteria ke-7 (nasab). Namun kalau dicermati, kriteria nasab pada dasarnya
masuk kedalam kriteria al-quwwat. Sebagaimana dikatakan oleh beberapa
pakar sosiologi Islam, keharusan nasab Quraisy bagi seorang khalifah
(pemimpin tertinggi dunia Islam) pada hakikatnya bertujuan untuk menggalang
legitimasi dan dukungan dari segenap lapisan rakyat, karena pada masa-masa
awal Islam kabilah Quraisy merupakan kabilah yang paling dihormati dan
disegani oleh semua pihak. Dengan demikian apabila sang khalifah berasal dari
Quraisy, maka legitimasi dan dukungan akan mudah didapat, sehingga stabilitas
pemerintahan bisa dicapai. Jadi, nasab ke-Quraisy-an disini merupakan
kekuatan legitimasi bagi seorang penguasa. Kekuatan legitimasi sendiri
merupakan salah satu bentuk kekuatan (al-quwwat).
Kita bisa
mengatakan bahwa kriteria Mawardi diatas tidak lagi dikemukakan dalam tataran
esensial, namun sudah berada dalam tataran derivatif. Sesuatu yang derivatif
tidak bersifat mutlak. Ia bisa berubah sedemikian rupa dalam rangka memenuhi
tujuan-tujuan esensialnya.
Ada
baiknya jika kita mencoba untuk merumuskan kembali kriteria Mawardi dalam
tataran pertengahan, tidak terlampau esensial (sebagaimana tampak pada dua
kriteria asasi) sehingga terkesan mengawang-awang, namun juga tidak terlampau
derivatif (sebagaimana tampak pada formulasi Mawardi) sehingga bersifat
kondisional (tidak selalu relevan dengan segala kondisi).
Kriteria
pertama (al-‘adalat, integritas pribadi) tidak membawa persoalan.
Kriteria kedua juga merupakan suatu kepastian. Ilmu ijtihad merupakan
kecerdasan teoritis-transendental (al-kais al-nazhariy al-syar’iy)
yang merupakan instrumen yang wajib dimiliki oleh seorang khalifah, agar ia
bisa menetapkan kebijakan yang sesuai dengan hukum-hukum Ilahi. Tanpa
kriteria kedua ini, kepemimpinan seseorang akan terlepas dari kerangka Ilahi,
yang berarti menyalahi fungsi manusia sebagai khalifat al-Lah.
Kriteria
ketiga pada dasarnya lebih mengarah pada fungsi dari indera-indera
fisiknya ketimbang jasad fisik dari indera-indera fisik itu. Indera
penglihatan dan penglihatan merupakan alat eksternal untuk memperoleh
pengetahuan secara sempurna. Indera lisan merupakan alat yang paling cepat
dan efektif untuk menyampaikan informasi (pengetahuan). Jadi ketiga indera
tersebut merupakan hardware untuk input dan output dari suatu “CPU”
yang bernama akal. Andaikan ada alat artificial yang bisa menggantikan
fungsi input dan output pengetahuan dengan kualitas yang sama dengan yang
dilakukan oleh ketiga alat indera tersebut, niscaya keberadaan alat artificial
tersebut bisa memenuhi kriteria ketiga. Namun, adakah ciptaan manusia yang
bisa menyamai ciptaan Allah ?
Kriteria
keempat (kelengkapan anggota badan yang memungkinkan gerak yang baik) pada
dasarnya ditetapkan untuk menjamin kemampuan dalam melakukan berbagai
aktivitas yang harus dilakukan oleh seorang khalifah. Betapa banyak aktivitas
yang membutuhkan gerak, baik gerak anggota badan relatif terhadap badan
maupun gerak badan relatif terhadap bumi. Di masa silam, semua tuntutan
tersebut hanya mungkin dilaksanakan dengan anggota badan yang lengkap. Namun
di era informasi-globalisasi sekarang ini, berbagai aktivitas yang layaknya
dilakukan oleh seorang khalifah tidaklah secara mutlak mensyaratkan
kelengkapan anggota badan. Jadi, kriteria keempat Mawardi, dengan formulasi
beliau, tidak lagi relevan untuk saat ini. Yang masih relevan adalah jiwa
dari formulasi beliau, yaitu jaminan kemampuan untuk menunaikan segenap
aktivitas seorang khalifah.
Kriteria
kelima (kapasitas intelektual) tidak membawa persoalan baru. Yang dimaksud
dengan kapsitas intelektual disini ialah kecerdasan praktis (al-dzaka’
al-‘amaliy) atau kebijaksanaan praktis (al-hikmat al-‘amaliyat)
mengenai segenap masalah yang berkaitan dengan usaha untuk mengatur negara
dalam mencapai maslahat. Masalah-masalah tersebut beragam sesuai dengan
tuntutan realitas (mathlub al-waqi’).
Kriteria
keenam (heroisme) berarti ketegasan mengambil sikap dalam segala usaha untuk
menjaga kedaulatan negara. Jika kriteria ini tidak terpenuhi maka musuh akan
memandang rendah negara dan mudah merongrong kedaulatan negara. Seorang
khalifah haruslah seorang mujahid, yang tidak segan-segan mengangkat pedang
menghadapi orang-orang yang berbuat zhalim dan orang-orang yang menghalangi
dakwah agama Allah.
Kriteria ketujuh
(nasab) sudah penulis singgung didepan. Jiwa dari kriteria ini adalah
kekuatan legitimasi dalam rangka menjaga kesatuan umat dan stabilitas negara.
Apabila
kita rangkum, jiwa dari kriteria Mawardi adalah sebagai berikut:
- Integritas
pribadi.
- Kecerdasan
teoritis-transendental.
- Sanggup
menerima dan menyampaikan informasi / pengetahuan secara sempurna.
- Jaminan
kemampuan untuk melakukan segenap aktivitas seorang khalifah.
- Kapasitas
intelektual.
- Heroisme
(ruhul jihad).
- Kekuatan
legitimasi.
Begitulah
Mawardi telah mengemukakan kriteria yang harus dimiliki oleh seorang
khalifah. Ibn Taimiyyah, sebagaimana kita lihat sejak awal, agaknya memiliki
pandangan yang lebih sederhana namun lebih esensial dibandingkan Mawardi.
Yang perlu ditambahkan disini ialah bahwa dalam masalah kriteria al-quwwat,
Ibn Taimiyyah berpandangan bahwa wujudnya bisa berbeda-beda sesuai dengan
tuntutan realitas. Dalam negara yang menghadapi krisis pertahanan/keamanan, al-quwwat
yang paling dibutuhkan ialah keberanian, ketegasan, dan pengetahuan
pertahanan/keamanan yang mumpuni. Dalam negara yang sedang menghadapi
masalah-masalah ekonomi yang pelik, al-quwwat yang paling dibutuhkan
ialah wawasan ekonomi yang cemerlang. Dalam negara yang menghadapi krisis
moral, al-quwwat yang paling dibutuhkan ialah ketaqwaan dan
kebijaksanaan. Demikian seterusnya.
Macam-macam Kepemimpinan: Khilafah dan Kerajaan (Mulk)
Menurut
Ibn Taimiyyah, para nabi Allah dibedakan atas tiga kategori dalam kaitannya
dengan kekuasaan (al-mulk). Pertama, nabi yang didustakan dan tidak
diikuti oleh kebanyakan kaumnya, dimana dia merupakan seorang nabi yang tidak
dianugerahi kekuasaan oleh Allah (nabi tanpa singgasana), seperti Nuh,
Ibrahim, Musa, ‘Isa. Kedua, nabi yang sekaligus penguasa (nabiyy malik),
seperti Dawud, Sulaiman, dan Yusuf. Indikasi keberkuasaannya ialah bahwa
mereka memerintahkan hal-hal yang sifatnya mubah. Ketiga, nabi yang tidak
dianugerahi kekuasaan namun ditaati dan diikuti oleh kebanyakan kaumnya,
yakni Muhammad saw. Indikasi ketidakberkuasaannya ialah bahwa beliau tidak
akan memerintahkan sesuatupun kecuali dengan perintah Allah (wahyu). Ketika
Rasulullah saw. ditanya oleh Allah,”Pilihlah, apakah engkau ingin menjadi
hamba dan rasul (‘abd rasul), ataukah engkau ingin menjadi nabi
sekaligus raja (nabiyy malik)”. Maka beliau memilih menjadi hamba
dan rasul, dengan meninggalkan kerajaan. Jadi, Nabi Muhammad bukanlah seorang
raja, namun beliau adalah pemimpin umat. Kepemimpinan Rasulullah yang
demikian ini disebut sebagai khilafat al-nubuwwat (kepemimpinan Nabi).
Dengan posisi inilah beliau telah memimpin Negara Madinah.
Karena
kita adalah umat Muhammad yang harus ber-uswah kepada beliau, maka kita
dituntut untuk bisa mewujudkan kembali kepemimpinan model Rasulullah
sepeninggal beliau. Kepemimpinan ini sering disebut sebagai khilafat
al-nubuwwat atau khilafat ‘ala minhaj al-nubuwwat, atau biasa
disingkat dengan sebutan khilafah saja.
Durasi
khilafah segera sepeninggal Nabi dinyatakan dalam banyak hadits.
“Khilafah Nabi berlangsung selama tiga puluh tahun, kemudian (setelah
itu) Allah memberikan kerajaan (al-mulk) kepada siapa yang dikehendakinya”
(HR. Abu Dawud, dari Abdul Warits dan Al-‘Awwam).
“Khilafah berlangsung selama tiga puluh tahun, kemudian akan berubah
menjadi kerajaan (al-mulk)" ” (hadits masyhur riwayat ahlu Sunan dan
dijadikan pegangan oleh Imam Ahmad).
Nabi saw.
wafat pada Rabi’ul Awwal tahun 11 H. Genap tiga puluh tahun sesudahnya
bertepatan dengan peristiwa Tahun Persatuan (‘Aam al-Jama’at) yaitu
pada Jumadil Awwal tahun 41 H dimana Hasan ibn Ali menyerahkan kekuasaan
kepada Muawiyah. Jadi pemerintahan Muawiyah merupakan awal dari masa kerajaan
(al-mulk).
Nabi juga
telah memberikan prediksi mengenai periodisasi kekuasaan sepeninggal beliau
sampai datangnya hari kiamat.
“Akan datang khilafah Nabi bersama dengan rahmat, kemudian disusul dengan
kerajaan (mulk) bersama dengan rahmat, kemudian disusul dengan kerajaan
bersama dengan otoritarianisme (jabbariyyat), kemudian disusul dengan
kerajaan yang ‘menggigit’ (lalim)” (HR. Muslim).
Riwayat
lain yang sangat masyhur mengurutkan periodisasi kepemimpinan tersebut
dimulai dengan kepemimpinan Nabi (zaman Nabi), kemudian khilafat ‘ala
minhaj al-nubuwwat, kemudian kerajaan yang “menggigit” (mulk ‘adhudh),
kemudian kerajaan yang otoriter (mulk jabbariy), dan akhirnya
muncullah lagi khilafat ‘ala minhaj al-nubuwwat. Yang menarik pada
riwayat yang belakangan ini adalah prediksi Nabi bahwa khilafat ‘ala
minhaj al-nubuwwat akan muncul lagi di akhir zaman. Atas dasar hadits
prediktif inilah, kebangkitan Islam dan pergerakan Islam semakin menggelora
untuk meraih cita-cita yang pasti tersebut. Adapun yang menarik dari riwayat
pertama ialah bahwa sebelum tegaknya khilafat ‘ala minhaj al-nubuwwat,
akan tegak tiga model kerajaan (bukan dua sebagaimana pada riwayat yang
kedua).
Kalau kita
amati matan hadits-hadits prediktif tersebut, kita dapati bahwa Nabi selalu
menggunakan kata mulk untuk menyatakan model kekuasaan selain khilafat
‘ala minhaj al-nubuwwat. Ini menunjukkan bahwa makna kata mulk
dalam hadits-hadits tersebut jauh lebih luas daripada makna kerajaan yang
kita pahami dewasa ini (kerajaan monarki atas dasar pewarisan kekuasaan),
karena dalam kenyataan sejarah terdapat banyak negara besar yang tidak
menerapkan model kerajaan monarkis. Oleh karena itu, makna yang tepat untuk
kata mulk tersebut ialah segala jenis model kekuasaan selain khilafat
‘ala minhaj al-nubuwwat.
Terlepas
dari kepastian terlaksananya prediksi Nabi diatas, kita akan membahas
bagaimanakah hukum menunaikan kepemimpinan dalam bentuk mulk dan
khilafah. Ibn Taimiyyah menyatakan bahwa dalam syariat sebelum Muhammad saw,
menegakkan mulk itu boleh, sebagaimana yang dilakukan oleh Dawud,
Sulaiman, Yusuf, dan Dzul Qarnain. Adapun dalam syariat Muhammad saw, maka pada
asalnya, menegakkan mulk itu tidak boleh, sementara menegakkan
khilafah itu wajib. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi, “ Wajib bagi
kalian melaksanakan sunnahku dan sunnah al-khulafa’ al-rasyidun sesudahku.
Berpegang teguhlah dengannya meskipun (untuk itu) kalian harus menggigitnya
dengan gigi geraham. Dan jauhilah perkara-perkara yang baru karena setiap
bid’ah itu sesat”. Kita baru boleh meninggalkan model khilafah (berarti
menegakkan mulk) apabila ada kebutuhan untuk itu, sebatas kebutuhan
itu pula. Demikianlah pendapat yang paling moderat menurut Ibn Taimiyyah
mengenai penegakan mulk dan khilafah.
Lebih
rinci lagi, Ibn Taimiyyah mengatakan bahwa penegakan mulk karena
kebutuhan itu bisa terjadi dalam beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama,
mulk tegak karena ketidakmampuan menegakkan khilafah. Dalam hal ini,
hukumnya adalah ma’fuw (dimaafkan). Kemungkinan kedua, mulk tegak
sebagai hasil ijtihad. Maksudnya, kemampuan untuk menegakkan khilafah itu
ada, namun ijtihad yang dilakukan mengatakan bahwa khilafah itu mustahab
saja (tidak wajib) dan mulk itu boleh sebagaimana bolehnya mulk pada
syariat sebelum Muhammad. Dalam hal ini, tidak ada dosa apabila sang
penguasa (malik) memerintah dengan adil. Perlu diketahui, bahwa
pendapat yang demikian ini dikemukakan oleh Ibn Taimiyyah dalam latar
diskusi panjang menyikapi kepemimpinan Muawiyah, yang termasuk salah seorang
sahabat Nabi.
Diskusi Ekstensif Mengenai Bentuk Negara
Dari
pendapat yang dikemukakan oleh Ibn Taimiyyah, kita mencatat bahwa apabila
beliau konsisten, maka disana masih tertinggal perbedaan pendapat mengenai
bentuk negara. Disatu sisi ada pendapat yang mengatakan bahwa khilafah itu
wajib dan hanya boleh ditinggalkan dengan sebab-sebab tertentu. Namun disisi
lain ada pendapat yang mengatakan bahwa adanya ijtihad yang memperbolehkan
penegakan mulk itu juga tidak mengakibatkan dosa, apabila negara
diselenggarakan dengan adil. Dari sini kita dapati bahwa titik temu
yang pasti hanyalah keadilan. Dan memang poin inilah yang disebutkan dalam
Al-Qur’an.
Kalau
memang kata kuncinya adalah keadilan, maka dengan menghubungkan antara kata
ini dengan periodisasi kekuasaan yang disebutkan Nabi, kita akan mendapatkan
bahwa mulk ‘adhudh dan mulk jabbariy tidak termasuk kedalam
bentuk negara yang diperbolehkan oleh syariat. Sebabnya tidak lain adalah
karena sifat ‘adhudh (lalim) dan jabbariy (otoriter) itu
sendiri bertentangan dengan sifat keadilan. Dengan demikian, hanya mulk wa
rahmat sajalah yang merupakan mulk yang diperbolehkan oleh
syariat, karena makna rahmat selaras dengan makna keadilan.
Pemerintahan Muawiyah termasuk kedalam mulk wa rahmat, sehingga
karenanya absah menurut syariat.
Dengan
demikian kita memahami bahwa segala bentuk pemerintahan saat ini pada
asalnya tidak dibenarkan oleh syariat (karena sudah lewat dari mulk wa
rahmat), sehingga kita harus berusaha untuk menegakkan suatu pemerintahan
yang adil, yang berdasarkan periodisasi Nabi tidak lain adalah khilafat
‘ala minhaj al-nubuwwat.
Namun
tentu saja, basis dari semua pemikiran ini adalah keyakinan terhadap hadits
sebagai sumber syariat. Tanpa keyakinan tersebut, niscaya segala pandangan
diatas tidak ada artinya sama sekali.
Diskusi
mengenai bentuk negara juga tidak bisa dipisahkan dari pembahasan tentang
mekanisme pemilihan seorang khalifah. Beberapa terminologi modern mengenai
bentuk-bentuk negara dibuat berdasarkan pada mekanisme pemilihan kepala
negaranya, misalnya negara demokrasi, negara monarki, negara teokrasi, atau
negara teo-demokrasi (istilah yang diperkenalkan oleh Maududi). Untuk itu,
berikut ini kita akan membahas tentang mekanisme pemilihan khalifah.
Mekanisme Pemilihan Khalifah
Terdapat
banyak pendapat mengenai bagaimanakah seorang khalifah ditetapkan.
Pertama, khalifah
ditetapkan dengan nash. Ini merupakan pendapat kaum Syi’ah.
Kedua, khalifah
ditetapkan dengan pemilihan (al-ikhtiyar).
Pendapat
kedua inipun masih terbagi-bagi menjadi berbagai pandangan. Sebagian
membolehkan penetapan khalifah dengan ikhtiyar (penetapan) khalifah
sebelumnya. Sebagian yang lain mengatakan bahwa khalifah harus dipilih oleh
rakyat banyak.
Penetapan
khalifah dengan nash akan memunculkan suatu negara teokrasi, apabila disertai
dengan keyakinan bahwa khalifah merupakan wakil Tuhan di bumi, yang memegang
kebenaran absolut.
Penetapan
khalifah atas dasar ketetapan khalifah sebelumnya semata akan memunculkan
negara monarki. Sementara penetapan khalifah atas dasar pilihan rakyat banyak
akan memunculkan negara demokrasi. Istilah negara teo-demokrasi muncul
belakangan dengan makna negara demokrasi yang dibingkai oleh norma-norma
Ilahi, sehingga tidak sepenuhnya tergantung pada kehendak rakyat. Dalam
konteks ini, istilah negara demokrasi (lebih tepatnya demokrasi liberal)
kemudian diartikan sebagai negara yang sepenuhnya tergantung pada rakyatnya,
tanpa dibatasi oleh otoritas transendental.
Keharusan
penetapan khalifah dengan nash hanya diyakini oleh kaum Syi’ah. Ahlus Sunnah
wal Jama’ah (Sunni) beranggapan bahwa penetapan khalifah dilakukan dengan
pemilihan. Pemilihan khalifah oleh rakyat merupakan suatu bentuk akad antara
dua pihak, yakni antara pihak khalifah dan pihak rakyat. Dr. Sanhoury (dalam
bukunya Le Califat) menegaskan bahwa akad khilafah merupakan akad yang
hakiki, sehingga memiliki rukun-rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi,
sebagaimana lazimnya akad dalam kajian fiqih. Salah satu rukun yang beliau
sebutkan ialah keridhaan dari kedua belah pihak. Keridhaan rakyat berarti
legitimasi mereka atas khalifah, sementara keridhaan khalifah berarti
kesediaan dan keikhlasan khalifah. Jadi, khilafah pada dasarnya
merupakan suatu kontrak sosial.
Secara
lebih spesifik, sebagian ulama mengatakan bahwa akad khilafah merupakan akad wikalah
(perwakilan, pemindahan kuasa), suatu jenis akad yang sangat populer
dalam kajian fiqih. Mereka mengatakan demikian karena khilafah tidak bisa
ditetapkan oleh seseorang pada dirinya sendiri, sebagaimana seseorang tidak
mungkin mengambil kuasa tanpa pemberian kuasa dari pemilik kuasa. Karena
khilafah merupakan akad wikalah, maka segenap konsekuensi wikalah
juga berlaku pada khilafah. Diantara konsekuensi tersebut ialah bahwa
khilafah tidak serta-merta diwariskan berdasarkan keturunan. Konsekuensi yang
lain ialah bahwa turunnya sang khalifah tidak serta-merta menyebabkan
turunnya segenap pejabat khalifah yang diangkat oleh rakyat, karena jabatan
mereka merupakan akad antara mereka dan rakyat dan bukan antara mereka dan
sang khalifah.
Sebagian
ulama yang lain mengatakan bahwa akad khilafah tidak bisa dikatakan sebagai
akad wikalah. Alasannya, rakyat tidak bisa seenaknya mencabut kuasanya
atas sang khalifah sebagaimana seorang pemberi kuasa bisa sesuka hati
mencabut kuasanya. Disamping itu, khalifah dituntut untuk menunaikan
prinsip-prinsip Ilahi yang mana rakyat tidak bisa mengkuasakan kepada
khalifah untuk menunaikan prinsip-prinsip yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip Ilahi tersebut.
Dari
perdebatan diatas, pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang mengatakan
bahwa khilafah merupakan suatu akad namun tidak sepenuhnya bisa dikatakan
sebagai akad wikalah. Meskipun demikian, tidak bisa diingkari bahwa
khilafah merupakan perwakilan (niyabah) kaum muslimin, sehingga
kekuasaan seorang khalifah pada dasarnya berasal dari kaum muslimin itu
sendiri.
Dari
berbagai pendapat para ulama, penetapan khalifah bisa dilakukan melalui
berbagai mekanisme sebagai berikut.
Pertama, dengan
pemilihan langsung oleh setiap orang (demokrasi langsung).
Kedua, khalifah
ditetapkan oleh ahlul hall wal ‘aqd yang mewakili rakyat.
Ketiga, khalifah
ditetapkan oleh khalifah sebelumnya.
Mekanisme
kedua dan ketiga harus diikuti dengan baiat ‘ammat, yaitu baiat yang
dilakukan oleh segenap rakyat terhadap khalifah. Baiat ini merupakan bukti
atas keridhaan rakyat terhadap sang khalifah. Jadi, mekanisme apapun yang
dipakai harus bisa menjamin bahwa kekuasaan sang khalifah berasal dari
rakyat. Lain lagi halnya jika khalifah ditetapkan dengan nash. Karena
penetapan ini dianggap sebagai otoritas Tuhan maka rakyat pun tidak berhak
untuk campur tangan didalamnya.
Hal
penting yang harus dicamkan ialah bahwa orang-orang yang menetapkan sang
khalifah harus memenuhi beberapa persyaratan. Inilah yang membedakan antara
sistem politik Islam dengan sistem demokrasi liberal. Orang-orang yang
dimaksud disini ialah setiap pemilih pada sistem demokrasi langsung, anggota ahlul
hall wal ‘aqd, atau khalifah sebelumnya. Imam Mawardi menetapkan tiga
persyaratan untuk orang-orang tersebut: 1)Al-‘adalat. 2) Ilmu
tentang siapakah yang secara mu’tabar / syar’i berhak menjadi khalifah. 3)
Kapasitas intelektual yang memungkinkan seseorang untuk
menetapkan siapakah yang paling tepat secara politis (berdasarkan
pertimbangan maslahat ) untuk menjadi khalifah.
Istilah
yang juga penting untuk dibahas disini adalah ahlul hall wal ‘aqd. Para
ulama mempunyai pandangan yang beragam tentang lembaga ini. Dari berbagai
pandangan yang ada, bisa disimpulkan bahwa ahlul hall wal ‘aqd ialah
suatu lembaga yang berisi sekelompok orang yang adil yang mewakili segenap
wilayah geografis dan keahlian yang relevan. Representasi wilayah geografis
dibutuhkan untuk menggalang aspirasi rakyat, sementara representasi keahlian
dibutuhkan dalam kaitannya dengan ijtihad kolektif yang berlangsung pada
lembaga ini.
Secara
etimologis, ahlul hall wal ‘aqd berarti lembaga yang mengurai dan
mengikat. Artinya, lembaga inilah yang mengikat (mengangkat) seorang khalifah
sekaligus yang mengurai (menurunkan) khalifah apabila perlu. Lembaga ini
merupakan kombinasi antara representasi rakyat dan otoritas syariat. Kombinasi
inilah yang menjadikan negara Islam berbeda dengan negara demokrasi liberal
ataupun negara teokrasi.
|